Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki.Â
Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.
~Pramoedya Ananta Toer~
Hari ini kita Memperingati Hari Kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April, banyak cerita soal perjuangan Raden Adjeng Kartini sebagai sosok perubahan yang membawa pergerakan emansipasi perempuan pada abad ke-19. Mungkin sebagian dari kita sudah tahu, seperti apa cerita perjuangan Kartini demi memajukan para perempuan pada kala itu yang sangat menginspirasi.Â
Selain cerita perjuangannya memajukan pemikiran perempuan dengan niat mulia mendirikan sekolah khusus perempuan, ada juga cerita menarik tentang Kartini. Yakni, cerita tentang Kartini yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Kisah ini terjadi pada tahun 1903, saat Kartini berusia 24 tahun. Kala itu, usia 24 tahun sudah dianggap perawan tua bila tidak segera menikah.Â
Sebagai perempuan yang lahir di kalangan bangsawan (ayah Kartini adalah Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat), Kartini diharuskan menikah dengan seseorang yang juga berdarah bangsawan.Â
Maka itulah, sang ayah memaksanya menikah dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang saat itu menjabat sebagai Bupati Rembang. Kabarnya, Kartini dan sang suami memiliki perbedaan usia yang cukup jauh. (Kumparan 21/04/2021)
Karena ia menaruh hormat dan ingin berbakti pada sang ayah, akhirnya Kartini menerima pernikahan tersebut dengan syarat. Salah satunya syaratnya adalah ia tak ingin melakukan prosesi adat pernikahan dengan berjalan jongkok, berlutut dan mencium kaki suami. Hal ini adalah bentuk keputusannya yang menginginkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.Â
Selain itu, Kartini juga ingin tetap diperbolehkan mengejar cita-cita memajukan para perempuan Hindia Belanda. Ia ingin dibuatkan sekolah khusus perempuan dan meminta untuk mengajar sebagai guru di Rembang.Â