Mohon tunggu...
nataliadias
nataliadias Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kunjungan ke Vihara Jetavana

20 Desember 2015   18:17 Diperbarui: 20 Desember 2015   19:48 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hallo teman-teman.

Kali ini kami akan membagikan pengalaman kami ke tempat ibadah agama lain. Sebetulnya kami belum pernah mendatangi tempat ibadah agama lain bersama-sama. Namun Dosen memberikan kita tugas ini. Saat pertama kali diberitahu untuk mengunjungi tempat ibadah agama lain kita merasa tertantang, tertarik sekaligus ada rasa takut. Kenapa takut? Karna kita baru kali ini datang ke tempat ibadah agama lain, dan takut akan susah untuk meminta ijin. Namun kenyataan nya berbeda! 

Tugas ini sangat membantu kita dalam memahami agama lain seperti bagaimana cara mereka beribadah? Bagaimana cara mereka membentuk organisasi didalamnya? Siapa saja orang-orang yang terlibat di tempat ibadah tersebut? Dan, apa yang menjadi ciri khas dalam agama tersebut? 

Kelompok kami yang terdiri dari agama Islam, Kristen dan Katholik ini tidak boleh ke Masjid atau ke Gereja lagi. Melainkan harus ketempat ibadah agama yang lain yaitu antara Vihara, Pura dan Klenteng. Lalu kelompok kami memutuskan untuk pergi ke Vihara (tempat ibadah agama buddha). Dan, kebetulan salah satu teman kami mengetahui Vihara yang ada di daerah lingkungan kampus kami (Universitas Buddhi Dharma).

Lalu kami akhirnya mendatangi Vihara tersebut. Vihara Jetavana , itu namanya. Kami disambut baik dan ramah oleh pengurus Vihara disana. Kami meminta ijin untuk bertanya seputar sejarah dan kegiatan di Vihara Jetavana sendiri. Lalu pengurus tersebut menjawab " Ya, silahkan". Mereka benar-benar terbuka terhadap kami, dan seketika rasa takut kami hilang saat itu. Ternyata tidak sesusah yang kita difikirkan. Hahaha. 

Setelah kami berbincang-bincang mengenai sejarah Vihara Jetavana. Kami pun meminta ijin untuk berkeliling dan meminta foto bersama karena itu juga termasuk didalam tugas untuk memberikan bukti nyata bahwa kami benar-benar datang kesana. Lalu pengurus tersebut memberikan kami waktu 10 menit karna setelah itu dia memiliki acara lain. Dan setelah kami berkeliling kami meminta ijin untuk pulang. 

Lalu kami berkemas-kemas ingin pulang. Namun, kami ada sedikit masalah. Ternyata kelompok kami ini ada orang yang berbeda kelas. Dua orang dari kelompok kami ini ternyata kelas pagi, saya dan 3orang lainnya masuk kelas siang. Wahhh wah wah, begitu cerobohnya kami, sehingga tidak mengetahui bahwa dua orang tersebut seharusnya bukan dikelompok kami. Dan, akhirnya mau tidak mau kami harus mengulang lagi.

Ya akhirnya kami membentuk kelompok yang benar. Dan kami memutuskan untuk pergi ke Vihara Jetavana lagi bersama anggota yang benar. Nah dari pengalaman kami diatas intinya kami merasa senang karena yang kami takutkan selama ini ternyata tidak benar, mereka sangat terbuka + ramah. Kami berterima kasih kepada pengurus-pengurus Vihara Jetavana yang memberi kesempatan kepada kami untuk mengetahui sejarah-sejarah yang ada di Vihara Jetavana secara terbuka tanpa ada halangan :) dan disini saya akan lampirkan sedikit tentang sejarah Vihara Jetavana. 

  • Sejarah vihara jetavanna

Vihara Jetavana merupakan sebuah tempat ibadah umat Budha yang berada di Jalan Iman Bonjol, gang vihara 1 Karawaci. Saat ini, vihara Jetavana telah memiliki kurang lebih sebanyak 600 umat, dari 600 umat itu dikategorikan berdasarkan umurnya yang terdiri dari 120 umat lansi (lanjut usia), 125 umat muda mudi, 120 umat sekolah minggu, dan sisanya adalah umat umum. Saat ini vihara Jetavana diketuai oleh romo Jura wangulimala.

Asal mula berdirinya vihara Jetavana ini berawal dari seorang ibu yang bernama Maya Wangulimala yang memiliki keyakinan kepada Budha Dharma. Dari situlah ibu yang memiliki enam orang anak ini mulai mengajak suami dan anak-anaknya untuk berdoa setiap malam kepada Sang Budha Dharma. Hingga pada suatu malam ketika ibu Maya beserta suami dan anak-anaknya sedang berdoa, mereka didatangi oleh warga sekitar yang merupakan teman-teman dari keluarga ibu Maya itu. kemudian teman-teman ibu Maya itu mulai mengikuti acara berdoa yang dilakukan setiap hari oleh keluarga ibu Maya.

Dari situ lah ibu yang memiliki keyakinan pada Budha Dharma ini mengajak keluarga serta teman-temannya untuk melakukan puja bhakti atau berdoa setiap hari dirumahnya. Ternyata semakin lama semakin banyak umat yang datang untuk puja bhakti bersama dirumah ibu Maya ini, kemudian suami dari ibu Maya yang bernama O’wangulimala memutuskan untuk mendirikan sebuah Cetya (vihara kecil).

Akhirnya pada 10 November 1975 dibuatlah sebuah Cetya di rumah romo O’wangulimala yang cetya tersebut diberi nama Jetavana Rama. Cetya itu berhasil cepat dibuat berkat bantuan dan dukungan dari para rohaniwan agama Budha, yang salah satu dari mereka adalah Biksu Vijananda dan biksu Gemiyo. Setelah enam tahun melakukan kebaktian dirumah ibu maya dan romo O’wang, mereka memutuskan untuk membeli sebidang tanah di Jalan Iman Bonjol, gang vihara 1 dengan tanah seluas 100 meter persegi. Kemudian tanah itu dibangunlah sebuah bangun berbentuk Cetya. Ternyata sejak adanya bangunan Cetya di gang vihara 1 itu membuat banyak umat Budha yang datang kesana sehingga suami ibu Maya yaitu romo O’wangulimala berusaha untuk membeli tanah lagi sehingga dapat memperluas bangunan Cetya tersebut.

Setelah mengumpulkan dana dan dana telah terkumpul, dua tahun kemudian romo O’wangulimala beserta istrinya membeli lagi sebidang tanah dengan luas 150 meter persegi yang berada disamping bangunan Cetya mereka. Sehingga total tanah untuk bangunan Cetya itu sebesar 250 meter persegi. Karena tanah untuk bangunan tersebut sudah semakin besar, maka romo O;wangulimala beserta istrinya dan para perintis lainnya memutuskan untuk membangun bangunan berupa vihara, vihara ini diberi nama vihara Jetavana yang hingga sekarang masih tetap berada.

Tahun makin tahun vihara Jetavana ini semakin berkembang berkat usaha kerja kerasa para umat dan pengurus vihara Jetavana untuk meningkatkan dan memajukan vihara ini. Umat yang datang ke vihara ini juga semakin meningkat.

Kemudian pada tahun berikutnya tepat pada saat memperingati hari Tri Suci Waisak, vihara Jetavana ini dikunjungi oleh banyak umat Budha di Tangerang. Dengan dihadirin oleh banyak umat di Tangerang, para pengurus kemudian nelakukan satu rencana untuk mendirikan sebuah bangunan vihara secara permanen. Akhirnya pada tahun 1985 vihara Jetavana berhasil memiliki bangunan vihara yang permanen dengan luas bangunan seluas 8x22 meter persegi.

Dengan adanya bangunan vihara yang sudah permanen ini, membuat para umat menjadi semakin rajin untuk berdoa di sini dan selain itu dari bulan ke bulan umat yang datang ke vihara ini semakin banyak. Dari situ lah kemudian umat yang bergabung divihara itu secara rutin melakukan kebaktian terutama Puja Bhakti pada Cet It Cap Go malam sabtu dan hari minggu. Dengan seiring berjalannya waktu, vihara ini memiliki semakin banyak kegiatan mulai dari bakti sosial, lomba antar viahara lain, generasi olah raga antar vihara, dan sebagainya.

Kemudian pada tahun 1990an  vihara Jetavana mendapatkan sebuah bantuan dana dan dukungan dari Dimas Hindu dan Budha Jawa Barat dan para donatur lainnya. Bantuan dana tersebut kemudian dipergunakan untuk membuat gedung serba guna. Gedung serba guna itu kemudian digunakan untuk para umat melakukan kegiatan-kegiatan pada saat hari raya atau saat ada keperluan keperluan tertentu. Bahakan gedung serba guna ini juga diperbolehkan untuk digunakan oleh warga sekitar apabila ingin melakukan rapat atau kepentingsn bersama.

Vihara  Jetavana ini terus semakin berkembang, bangunannya pun semakin bagus dan luas. Umat dan kegiatan yang dilakukan di vihara ini juga semakin banyak, itu semua terjadi karena kerja sama antara umat dengan para pengurus yang memiliki tujuan yang sama untuk terus meningkatkan dan mengembangkan vihara Jetavana ini.

Hingga pada akhirnya, pada tahun 1995 vihara Jetavana dijadikan sebuah yayasan. Yayasan ini dikelolah oleh bebrapa umat yang dijadikan pengurus sebanyak lima orang yang salah satu dari pengurusnya itu sendiri adalah romo O’wangulimala. Pengurus pengurus lainnya juga dianataranya adalah ibu Maya Wangulimala, bapak Wing Wahyudi, bapak Jokolana, dan bapak Gunawan.

Selain dibentuknya pengurusan, yayasan vihara Jetavana juga memiliki aturan aturan mengenai anggaran dana dan anggaran rumah tangga. Dimana setiap pengurus yayasan ini harus mampu bekerja sesuai dengan visi dan misi yang telah tercantum dalam anggaran dana dan anggaran rumah tangga yayasan ini sendiri. Selain itu, yayasan ini juga memiliki ketentuan ketentuan, antara lain seperti pergantian pengurus yang dilakukan setiap tiga tahun sekali dan semua penghasilan yang didapat oleh vihara Jetavana harus diatur dan dikelolah oleh yayasan.

Dan tentunya juga apabila ada penggunaan dana dalam yayasan itu harus diketahui oleh tiga orang pengurus yayasan tersebut yang terdiri dari ketua, bendahara, dan seketaris.

Hal itu dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan dana yayasan. Semenjak vihara Jetavana ini menjadi yayasan, kegiatan yang dilakukannya pun juga semakin beragam dari mulai aktif dalam kegiatan sosial juga aktif dalam program program yang diadakan oleh pemerintah seperti aktif menjadi anggota forum umat beragama. Selain itu para pengurusnya juga aktif dimajelis majelis umat beragama Budha. Contohnya seperti menjadi ketua maju putih dan ketua Walubi pada tahun 2012 seprovinsi Banten.

Walubi itu sendiri merupakan perwakilan umat Budha Indonesia yang menjadi wadah  kebersamaan organisasi umat Budha Indonesia yang terdiri dari majelis majelis agama Budha. Selain itu, Walubi juga merupakan lembaga agama Budha dan badan kehormataan serta menjadi wadah untuk masyarakat yang bernapaskan Budha di Indonesia. Walubi itu sendiri juga sudah ada sejak 20 Agustus 1998 yang didirikan di DKI Jakarta.

Sejak tahun 1995 ketika vihara Jetavana disahkan menjadi sebuah yayasan, saat itu lah terbentuk sebuah visi dan misi yayasan vihara Jetavana yang dari visi misinya itu adalah yang pertama, untuk mengembangkan Budha Dharma, yang kedua adalah untuk  membantu pemerintah dalam kegiatan kegiatan keagamaan dan sosial, yang ketiga, melakukan kegiatan sosial, membantu fakir miskin, dan mendidik anak asuh yang tidak mampu utnuk dijadikan anak asuh vihara Jetavana, dan yang keempat adalah dapat bekerja sama dengan seluruh unsur agama yang lain untuk membantu pemerintah dalam kehidupan beragama.

Vihara Jetavana ini masih tetap berada di Jalan Iman Bonjol, gang vihara 1. Saat ini vihara yang sudah berdiri sejak lama dikelolah oleh romo Jura Wangulimala yang merupakan anak dari ibu Maya Wangulimala dan bapak O’wangulimala. “Vihara Jetavana ini sudah berada sejak saya kecil, vihara merupakan bagian hidup dari saya dan peninggalan dari kedua orang tua saya. Memang sejak SMA saya sudah memiliki cita cita dan keinginan untuk menjadi seorang pendeta di vihara ini. Maka dari itu saya saat ini sudah mencapai keinginan saya yaitu menjadi seorang pendeta di vihara Jetavana dan vihara ini saya yang mengurus beserta istrinya,” ungkap romo Jura Wangulimala sambil merangkul sang istri yang berada disebelahnya.

Romo Jura Wangulimala beserta istrinya memang sangat terlihat senang dalam mengelolah vihara peninggalan orang tuanya itu. setiap hari mereka berdua datang kevihara itu untuk melihat dan mengecek kondisi vihara tersebut, padahal divihara itu sudah ada penjaganya yang bertugas utnuk mengurus dan membersihkan vihara tersebut, tetapi beliau beserta istrinya yang bernama Entjap selalu menyempatkan waktu untuk mendatangi vihara yang tak  jauh dari rumahnya itu. Segala sesuatu semua mereka urus untuk kemajuan vihara ini.

Pada setiap tahunnya juga pada tanggal 10 November, vihara Jetavana pasti selalu merayakan hari ulang tahun vihara tersebut, yang pada tanggal itu juga secara bersamaan merupakan hari ulang tahun romo Jura wangulimala yang merupakan pendeta vihara Jetavana dan juga anak kedua dari enam bersaudara pasangan ibu Maya Wangulimala dan romo O’wangulimala yang merupakan pendiri dan perintis vihara Jetavana tersebut. Pada setiap tahunnya seluruh keluarga Wangulimala beserta umat datang ke vihara untuk melakukan puja Bhakti dan merayakan hari ulang tahun pendeta nya dengan melakukan tumpengan.

Kegiatan seperti ini selalu dilakukan setiap tanggal 10 November tiap tahun. Hal ini selain untuk memperingati hari ulang tahun vihara, bertujuan juga untuk saling berbagi kepada seluruh umat vihara Jetevana sambil mengenang berdirinya vihara tersebut yang hanya berawal dari sebuah Cetya sederhana.

  • Sejarah interior vihara

Roda Dhamma, semenjak Sang Buddha membabarkan kebenaran (Dhamma) untuk pertama kalinya, Dhamma akan terus-menerus menyebar keseluruh dunia hingga semua makhluk terbebas dari Dukkha. Roda Dhamma merupakan symbol dari perputaran ajaran Sang Buddha yang terus berlanjut demi kebahagiaan semua makhluk. Selain itu, roda Dhamma juga dilambangkan sebagai senjata yang dapat menghancurkan ketidak tahuan dan kegelapan batin dalam diri manusia. Simbol ini juga menggambarkan khotbah Sang Buddha  yang pertama kalinya di Taman RusaI sipatana, Sarnath, India.

Teratai adalah lambang kesucian. Teratai memiliki warna bermacam-macam, al: Warna Putih (Pundarika), warna biru (Upala), Warma merah (Lohita).

Stupa melambangkan Nibbana (Kebebasan) yang merupakan dasar utama dari seluruh rasa Dhamma yang diajarkan oleh Guru Agung Buddha Gotama dan menjadi tujuan setiap umat Buddha.

 

 

Penjelasan : gambar ini merupakan altar yang berada di vihara Jetavana, biasanya altar ini di gunakan untuk kebaktian remaja, di altar ini ada beberapa simbol yang di sucikan untuk agama buddha seperti Buddha Rupang, Bunga, Lilin, Air, Dupa, Pohon Bodhi

  • Buddha Rupang.

Simbol dari ketenangan batin seseorang. Buddha rupang bukan berhala yang harus disembah oleh umat Buddha, namun Buddha rupang adalah simbol dari ketenangan batin.

Simbol dari ketidak-kekalan. Bunga segar yang diletakkan di altar setelah berganti waktu dan hari akan menjadi layu. Begitu pula dengan badan jasmani kita, suatu waktu kelak pasti akan menjadi tua, sakit, lapuk akhirnya meninggal.

Simbol dari cahaya atau penerangan batin yang akan melenyapkan kegelapan batin dan mengusir ketidaktahuan (avijja)

  • Air

Simbol dari kerendahan hati. Dikatakan demikian karena air selalu mencari tempat yang lebih rendah dimanapun mengalir

Simbol dari keharuman nama baik seseorang. Bau wangi dupa yang dibawa angin akan tercium di tempat yang jauh, namum tidak dapat tercium di tempat yang berlawanan dengan arah angin. Begitu juga dengan perbuatan manusia yang baik akan diketahui oleh banyak orang, tetapi perbuatan tidak baik dimanapun berada juga akan diketahui oleh orang lain.

  • Pohon Bodhiadalah lambang kebijaksanaan atau kesadaran agung dari pertapa Gautama. Karena dibawah pohon inilah Pertapa Gautama mencapai kesempurnaan.

penjelasan : altar ini sama seperti altar yang sebelumnya yang membedakan hanya di gunakan untuk acara khusus untuk lansia, biasanya altar ini di sediakan kursi dan altar ini tidak cukup orang yang menempatinya sekitar 100 orng

Ini merupakan kegiatan dari keagamaan dari vihara jetavanna seperti bakti sosial, acara waisak dan sila carini yaitu kegiatan untuk remaja yang melakukan atau menjalankan kehidupan seperti bikkhu.

Sekian artikel kami, Semoga bermanfaat! :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun