Mohon tunggu...
Natalia Nainggolan
Natalia Nainggolan Mohon Tunggu... -

Accounting

Selanjutnya

Tutup

Trip

Wisata ke Candhi Cetho

4 Juli 2018   18:18 Diperbarui: 4 Juli 2018   18:33 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sewaktu saya melaksanakan PKL di PTPN IX Kebun Batujamus di daerah karanganyar, solo, jawa tengah saya menyempakan untuk keliling ke tempat tempat wisata di daerah Karanganyar, salah satunya adalah candi Cetho. Candi Cetho letaknya di lereng barat Gunung Lawu, di desa Gumeng, Kecamatan Jenawi Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

dokpri
dokpri
Candi Cetho memiliki ukuran panjang 190 meter dan lebar 30 meter, di area tanah dengan kemiringan sekitar 50 derajat yang di buat secara berundak dan berada pada ketinggian 1496 meter dari permukaan laut. Dengan posisi ketinggian 1496 meter candi Cetho dari permukaan laut pastinya memiliki suhu yang dingin apalagi jika kabut turun dari atas gunung pada jam jam tertentu.

Candi Cetho adalah candi agama Hindu, tersusun dalam 13 susunan serupa dengan teras siring di permukaan tanah yang miring atau mirip punden berundak pada masa jaman prasejarah.   Pada teras ke VII dapat dilihat sebuah prasasti pada dindingnya yang tertulis " Pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397", bila di tafsirkan dalam bahasa sekarang adalah sebuah peringatan pendirian tempat peruwatan atau tempat membebaskan dari kutukan yang didirikan pada tahun 1397 Saka (1475 Masehi).

dokpri
dokpri
Simbol simbol dan mitologi arca arca yang terdapat pada candi Cetho menunjukkan fungsi utama pembangunan candi Cetho sebagai tempat ruwatan. Mitologi yang di sampaikan adalah berupa cerita Samudramanthana dan Garudeya. Sedangkan simbol penggambaran pallus dan vagina sebagai tafsiran lambang penciptaan atau dalam hal ini adalah kelahiran kembali setelah dibebaskan dari kutukan

Riwayat kompleks percandia

Pemugaran pada akhir 1970-an yang dilakukan sepihak oleh Sudjono Humardani, asisten pribadi Suharto (presiden kedua Indonesia) mengubah banyak struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak tetap dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh para pakar arkeologi, mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa studi yang mendalam. 

Beberapa objek baru hasil pemugaran yang dianggap tidak original adalah gapura megah di bagian depan kompleks, bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-patung yang dinisbatkan sebagai Sabdapalon, Nayagenggong, Brawijaya V, serta phallus, dan bangunan kubus pada bagian puncak punden.Ketika ditemukan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada 14 teras/punden bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada saat ini tinggal 13 teras, dan pemugaran dilakukan pada sembilan teras saja. 

dokpri
dokpri
Strukturnya yang berteras-teras ("punden berundak") memunculkan dugaan akan sinkretisme kultur asli Nusantara dengan Hinduisme. Dugaan ini diperkuat oleh aspek ikonografi. Bentuk tubuh manusia pada relief-relief menyerupai wayang kulit, dengan wajah tampak samping tetapi tubuh cenderung tampak depan. Penggambaran serupa, yang menunjukkan ciri periode sejarah Hindu-Buddha akhir, ditemukan di Candi Sukuh.

Selanjutnya, Bupati Karanganyar periode 2003-2008, Rina Iriani, dengan alasan untuk menyemarakkan gairah keberagamaan di sekitar candi, menempatkan arca Dewi Saraswati, sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian timur kompleks candi, pada punden lebih tinggi daripada bangunan kubus. 

Susunan bangunan

dokpri
dokpri

Sebelum memasuki aras kelima (teras ketujuh), pada dinding kanan gapura terdapat inskripsi (tulisan pada batu) dengan aksara Jawa Kuna berbahasa Jawa Kuna berbunyi pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397[1]. 

Tulisan ini ditafsirkan sebagai fungsi candi untuk menyucikan diri (ruwat) dan penyebutan tahun pembuatan gapura, yaitu 1397 Saka atau 1475 Masehi. Di teras ketujuh terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya Majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan simbol phallus (penis, alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang. 

Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta sedangkan penis merupakan simbol penciptaan manusia. Terdapat penggambaran hewan-hewan lain, seperti mimi, katak, dan ketam. Simbol-simbol hewan yang ada, dapat dibaca sebagai suryasengkala berangka tahun 1373 Saka, atau 1451 era modern. Dapat ditafsirkan bahwa kompleks candi ini dibangun bertahap atau melalui beberapa kali renovasi.

Pada keadaannya yang sekarang, kompleks Candi Ceto terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk (yaitu teras ketiga) merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman. Pada aras ketiga terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho.

dokpri
dokpri
Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudamala, seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh. Kisah ini masih populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar upacara ruwatan. 

Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara keagamaan. Pada aras ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan selatan. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon dan di selatan Nayagenggong, dua tokoh setengah mitos (banyak yang menganggap sebetulnya keduanya adalah tokoh yang sama) yang diyakini sebagai abdi dan penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V.

dokpri
dokpri
Pada aras kedelapan terdapat arca phallus (disebut "kuntobimo") di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Pemujaan terhadap arca phallus melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi setempat. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus.

Di bagian teratas kompleks Candi Ceto terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan). Di timur laut bangunan candi, dengan menuruni lereng, ditemukan sebuah kompleks bangunan candi yang kini disebut sebagai Candi Kethek ("Candi Kera").

Ini adalah foto- foto saya sewaktu berkunjung ke Wisata Candi Cetho udaranya yang segar dan anggin yang kencang semakin menambah sejuknya lokasi candi cetho, dan sebelum memasukin candi  areal cetho terlebih dahulu akan melewati kebun teh yang indah dan udarah yang sejuk serta pegunungan- pegunungan yang bagus-bagus.


So, bagi kalian-kalian yang ingin berkunjung ke wisata candi cetho jangan lupa berfoto-foto juga yah., he..he...he...he :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun