Mohon tunggu...
Natalia Br Lumban
Natalia Br Lumban Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Membaca dan Menyanyi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Evaluasi Model Radiolisis Air dan Pengaruhnya dalam Sistem Pendingin IBED PHTS pada Reaktor ITER

11 November 2024   08:41 Diperbarui: 11 November 2024   09:08 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Analisis kritis mengenai masalah radiolisis pada reaktor berpendingin air, yang difokuskan pada teknologi fusi, khususnya ITER. Secara keseluruhan bertujuan untuk mengidentifikasi kelemahan dalam model radiolisis saat ini dan mempertimbangkan pentingnya mengembangkan model yang lebih akurat. Berikut adalah penjelasan dari aspek-aspek yang berhubungan:

Fisika dan Teknologi ITER 

Pemahaman mengenai faktor konversi massa esensial untuk menilai efisiensi teknologi energi nuklir. Pada reaksi fusi, perbedaan massa antara isotop hidrogen dikonversi menjadi energi melalui hukum E=mc.

  • Faktor konversi massa untuk berbagai teknologi produksi energi : Pemahaman mengenai faktor konversi massa esensial untuk menilai efisiensi teknologi energi nuklir. Pada reaksi fusi, perbedaan massa antara isotop hidrogen dikonversi menjadi energi melalui hukum E=mc.
  • Skema reaksi fusi D-T : Reaksi fusi deuterium-tritium (D-T) adalah inti dari produksi energi ITER. Reaksi ini menghasilkan helium dan neutron berenergi tinggi, yang penting untuk pemanasan plasma dan transfer energi.
  • Parameter operasi ITER Tokamak : ITER dioperasikan dalam lingkungan yang sangat terkontrol, dengan parameter seperti suhu elektron (Te), suhu ion (Ti), dan kerapatan elektron (ne), serta konfigurasi plasma. Hal ini penting untuk mencapai kondisi fusi yang stabil dan efisien.
  • Tampilan potongan reactor fusi ITER : Visualisasi susunan komponen reaktor, termasuk kumparan koreksi yang digunakan untuk menjaga kestabilan plasma. Profil distribusi suhu dan kerapatan melalui rongga toroidal juga memberikan wawasan mengenai kondisi operasional ITER.

Sistem Pendingin Air Tokamak dan Konfigurasi Aliran Air IBED PHTS 

Sistem air pendingin tokamak ITER menggunakan sistem pendingin air tokamak untuk menjaga kestabilan termal. Ini melibatkan pengaturan sirkulasi air melalui IBED Primary Heat Transfer System (PHTS) dalam kondisi operasi yang ekstrem, termasuk saat pembakaran plasma standar.

Tingkat Dosis Radiasi di PHTS IBED

Pentingnya memonitor dosis radiasi di PHTS IBED adalah untuk mencegah kerusakan material pendingin dan komponen struktural akibat paparan radiasi berenergi tinggi yang konsisten. Produksi neutron berenergi tinggi dan foton dalam proses fusi menyebabkan terjadinya radiolisis air serta menimbulkan masalah korosi pada sistem pengangkutan panas. Nilai deposisi energi akibat iradiasi neutron dan untuk berbagai komponen pada IBED PHTS. Laju dosis energi untuk iradiasi neutron lebih dari lima kali lipat dibandingkan dengan foton , kecuali pada area colokan port, di mana rasio antara keduanya diperkirakan jauh lebih rendah, dengan laju dosis yang juga diperkirakan lebih rendah.

Bahan Pembuatan IBED PHTS 

Material Terpilih untuk ITER Tokamak: Material yang digunakan pada PHTS harus tahan terhadap suhu tinggi dan radiasi tinggi. Komposisi material ini penting untuk menghindari reaksi radiolitik yang tidak diinginkan. Material-material tersebut umumnya terbagi dalam tiga kategori: baja tahan karat austenitik (seperti baja tahan karat XM-19, Tipe 316L, dan 316L(N)), paduan berbasis nikel yang tahan terhadap korosi (contohnya Inconel 625), serta paduan tembaga (CuCrZr-IG) dan tembaga murni. Baja tahan karat dan paduan nikel dipilih karena ketahanannya terhadap korosi serta kekuatan dan kekakuan mekanisnya, sementara paduan tembaga dipilih karena konduktivitas termalnya yang tinggi.

Radiolisis Air 

  • Tinjauan umum masalah radiolisis air : Radiolisis air adalah proses penguraian molekul air akibat radiasi, menghasilkan spesies kimia aktif. Dalam konteks reaktor, hal ini berpotensi mempengaruhi korosi dan stabilitas kimiawi air pendingin.
  • Pemodelan radiolisis masa lalu pada sirkuit pendingin reaktor fisi : Model radiolisis yang ada cenderung menggunakan reaksi tidak layak yang dapat diurai menjadi reaksi elementer. Reaksi-reaksi ini perlu disesuaikan agar sesuai dengan kondisi aktual pada reaktor fusi.
  • Nilai-G untuk spesies radiolitik : Nilai-G, yang mengukur hasil primer radiasi, digunakan untuk memprediksi konsentrasi spesies radiolitik pada suhu tertentu. Penentuan nilai-G yang akurat penting untuk memastikan hasil prediksi sesuai dengan kondisi operasional.

Model radiolisis sebelumnya untuk ITER 

  • Loop pendingin dan sistem pendingin selimut : Memodelkan aliran pendingin untuk mengantisipasi akumulasi spesies radiolitik di sistem pendingin ITER.
  • Kondisi analitis dan prediksi konsentrasi produk radiolisis : Berdasarkan laju dosis, LET, dan kondisi radiasi, model ini memprediksi konsentrasi spesies radiolitik, yang memungkinkan perkiraan dampak kimia pada korosi dan stabilitas struktural.
  • Penambahan Hidrogen : Menambahkan hidrogen dalam sistem pendingin untuk mengurangi oksidasi berlebih akibat O dan HO yang dihasilkan dari radiolisis. Penambahan ini perlu dihitung agar tidak mengganggu stabilitas kimia pendingin.

Model radiolisis yang digunakan untuk menggambarkan proses radiolisis air dalam sistem pendingin reaktor (PHTS) pada reaktor fisi dan fusi seperti ITER masih memiliki kekurangan yang perlu diperbaiki. Meskipun model-model ini memungkinkan prediksi produk radiolisis yang berpotensi merusak dan kurang tepat  karena banyaknya parameter yang tidak diketahui dan tidak adanya data eksperimental yang cukup. Beberapa asumsi telah diterapkan, seperti penggunaan teori difusi kinetik untuk menentukan konstanta laju reaksi, namun ini belum sepenuhnya menyelesaikan masalah. Selain itu, model-model ini mengandung reaksi yang tidak sesuai secara elementer dan reaksi antara spesies bermuatan sama yang, berdasarkan tolakan coulombik, tidak mungkin terjadi pada suhu sekitar ITER. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan pentingnya mengidentifikasi nilai-G yang akurat untuk hasil radiolitik, serta perlunya menambahkan hidrogen ke dalam sirkuit untuk menekan pembentukan oksigen, yang dapat mencegah korosi dan kerusakan lebih lanjut pada sistem.

Penambahan hidrogen dari sumber eksternal diperkirakan dapat secara signifikan menurunkan konsentrasi oksigen dan hidrogen peroksida dalam sistem. Hal ini penting karena hidrogen peroksida memiliki potensi oksidasi yang lebih kuat daripada oksigen dalam meningkatkan potensi korosi elektroda (ECP) dan memperburuk kondisi korosi. Selain itu, keberadaan ion tembaga (Cu) dan besi (Fe) pada konsentrasi rendah dalam larutan diperkirakan tidak berpengaruh besar pada radiolisis air, namun ion-ion ini dapat mempengaruhi laju reaksi heterogen dan proses korosi di sistem. Secara keseluruhan, perhitungan menunjukkan bahwa produk radiolisis tidak terakumulasi di wilayah aliran plasma (PFA) selama periode pembakaran dan penghentian, dan konsentrasi oksigen tetap di bawah batas yang diizinkan dengan adanya injeksi hidrogen. Meskipun demikian, sistem pembersihan fraksional dan kontrol volume perlu dioperasikan pada mode tertentu untuk mengendalikan konsentrasi Cu, Fe, dan pengotor lainnya. Dengan demikian, penekanan radiolisis tidak cukup hanya dengan memantau oksigen terlarut, mengingat hidrogen peroksida memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap kondisi korosi sistem.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun