Mohon tunggu...
Natalia Turangan
Natalia Turangan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Regular employee with irregular activities. Digital Strategist, somewhat blogger, @TEDxJakarta volunteer, also member of @KopdarJakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pelajaran Berharga dari Nonton di Sebelah Nicholas Saputra

5 November 2017   14:52 Diperbarui: 5 November 2017   19:19 12446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nicholas Saputra. Brilio.net

Saya pernah beruntung (atau sial?) nonton pas banget di sebelah Nicholas Saputra, dan pengalaman itu mengubah hidup saya.

Nonton apaan? Kapan? Di mana? Kok bisa? Terus apa pelajaran hidupnya?

Tenang, semua akan dijawab di bawah ini.

(Oke, sudahlah, cukup dong cari perhatiannya)

Di tahun 2013 lalu saya berkesempatan menonton Twenty Feet From Stardom di sebuah festival film, Erasmusindocs, dan saya tuliskan di tulisan ini. Yang belum saya ceritakan dalam tulisan saya itu, sebenarnya kebetulan banget saya duduk di sebelah kirinya Nicholas Saputra! Huwoohh! Iya, saya ingat banget ada di sebelah kirinya, karena deg-degannya memang patut dikenang di sebelah kiri saya ada seorang teman saya.

Tempat kami menonton adalah ruang auditorium di Erasmus Huis, dan barisan saya menonton adalah barisan tengah, pas setelah ada undakan naik. Buat yang belum tahu seperti apa auditoriumnya Erasmus Huis, kalau saya tidak salah ingat daerah penontonnya menyerupai 'setengah segi enam' dan kursi yang digunakan adalah kursi biasa. Kondisi lantai nyaris rata, tetapi tiap 3-4 baris ada undakan naik. Jadi posisi saya duduk adalah di kursi setelah undakan naik, dan ini memang posisi yang enak sekali buat menonton ke arah panggung karena tidak ada kepala orang (selama bukan manusia yang sangat tinggi) yang akan menghalangi saya.

Saya sudah menulis di tulisan saya bertanggal November 2013 tadi, kalau filmnya mengena banget dan bahkan mengiris hati (bagi saya). Itu adalah kesan akhir setelah nonton film tersebut. Tapi di bagian awal menonton, saya sempat gak enak hati dan kesal sendiri, gara-gara terjadi insiden antara saya dan Nicsap. Tepatnya saya kena teguran dan tatap sinis Nicsap!

Gara-gara apa? Gara-gara saya masih membuka dan mengecek handphone saya padahal film telah dimulai di bagian pembuka, dan Nicsap terganggu dengan pendar sinar layar handphone saya. Padahal saya sudah melakukan pengaturan cahaya agar yang paling minimal lho.

Awalnya saya gondok.
Tapi saya mana berani dong dengan seorang Nicsap (halah). Jadi handphone saya simpan, kondisi silent, dan tidak saya tengok-tengok lagi.

Nah, masih ada lanjutannya. Di tengah-tengah menonton film, gantian teman di sebelah kiri saya yang membuka handphone dan entah scrolling-scrolling apa.

Coba kamu bayangkan seorang Nicholas Saputra menengok ke arah (sebelah) kamu, dalam ruangan bersuasana bioskop yang remang-remang, lalu tatapan matanya dingin menusuk tajam, bahkan sangat tajam dan melelehkan hati (padahal bukan ke arah kamu).

Nicholas Saputra melirik tajam (KapanLagi)
Nicholas Saputra melirik tajam (KapanLagi)
Nih, ada gambar untuk membantu membayangkan lirikan Nicsap.

...

Sebenarnya pandangan menghujam hati itu gak terlalu kelihatan sih di ruangan yang temaram begitu. Tapi anggap saja terlihat, dan terasa banget gitu.

Lalu bayangkan, dia menegur dengan suaranya yang rendah dan ketus, "Mas, tolong ya cahaya handphonenya!" (oke pada bagian ini saya sudah gak ingat sih dia ngomongnya seperti apa hahaha). DEG! Padahal bukan saya yang ditegur kali ini lho.

Sesungguhnya dan sejujurnya, di antara membela teman dan mendukung Nicsap, ya tentu saja dong daku memilih mendukung Nicsap! Jadi karena teman saya itu gak nyadar kalau lagi ditegur (dan masih asik aja scrollingdi handphone), saya mengambil inisiatif untuk meneruskan teguran Nicsap, "Jangan buka handphonenya, cahayanya ngeganggu, mending disimpan saja," kira-kira begitu ujar saya, sambil mulai sebal kok pas banget lagi nonton di sebelah Nicsap, ada insiden-insiden kurang enak yang harus saya alami.

Seterusnya, sambil menonton film Twenty Feet From Stardom itu, saya tidak mengeluarkan apalagi membuka handphone saya sama sekali. Fokus saya ada pada film yang ditayangkan, dan mungkin berkat pikiran yang fokus itulah, cerita dari film semakin merasuk pada saya. Teman saya sih sempat membuka handphone lagi, tapi sudah sangat low light dan dijauhkan dari arah saya. Mungkin dia gak mau ditegur lagi, huehe.

Saya tidak mencantumkan di tulisan dulu itu karena sungkan (alias malu), sebenarnya saya sangat tersentuh menonton film tersebut sampai menangis. Mending ya kalau nangis elegan, ini tak tertahan kayak keran hidung dan mata bocor (bikin malu aja). Teman saya sampai heran (dan mungkin Nicsap juga *geer dikit*) karena saya mencari-cari tissue.

Ya, sebagian pengalaman di film itu saya tahu banget rasanya, Jadi saya bisa membayangkan, dan menghubungkan pengalaman mereka dengan apa yang saya jalani dalam hidup saya. Lelah berjuang, tapi tidak sampai ke posisi 'kesuksesan' yang diinginkan. Hiks. Mungkin hal-hal yang kayak ini juga berkontribusi pada rasa kesepian saya (coba baca 'Terjebak Kesepian').

Setelah hari itu, sikap saya berubah saat menonton film di bioskop.

Memang tidak drastis berubah, tapi bertahap. Awalnya saya kalau terpaksa buka handphone, ya saya umpetin banget dalam tas, dan pengaturan cahaya layar dibuat seminim mungkin. Saat di bioskop, handphone selalu saya atur dalam modus silent atau getar. Lama-kelamaan saya berhenti membuka handphone, DAN ANTI MENERIMA TELEPON, saat menonton di bioskop.

Belakangan ini kalau menonton, saya bahkan mengatur agar handphone saya berada dalam airplane mode. Sikap ini bagi saya adalah wujud penghargaan saya terhadap karya film  dan para pembuatnya, dan sekaligus menjadikan 'menonton' sebagai quality time saya, benar-benar mendedikasikan waktu dan pikiran untuk menikmati tayangan di layar (lupakan kerjaan dulu!).

Oh, dan sekarang saya lebih berani (alias lebih nyolot) untuk menyuarakan rasa terganggu saya kalau ada yang membuka handphone saat menonton di bioskop, apalagi mereka yang membiarkan CAHAYA LAYAR handphonenya terang benderang. Langkah teguran pertama, saya biasanya memberi teguran terbuka yang agak kode "Handphonenya tolong ya digelapin," tapi tidak menujukan khusus kepada yang bersangkutan. Tapi kalau si tersangka tidak 'paham kode' saya, dan masih meneruskan ulahnya, saya tegur ulang dengan benar-benar memanggil orangnya dan memberi tahu kalau cahaya handphone dia itu mengganggu. Baru banget lho saya alami, saat menonton Thor:Ragnarok minggu lalu.

Jadi, kepada mbak-mbak yang kebetulan menonton Thor:Ragnarok di Bintaro Exchange XXI pada suatu malam dan merasa ditegur saat membuka WhatsApp sambil menonton, saya gak meminta maaf ya. Cahaya layar Anda tuh menggangu, apalagi kebetulan terlihat jelas sekali dari posisi duduk saya. Semoga Anda mau menyadarinya dan mengubah kebiasaan, supaya lain kali menonton dengan sikap lebih patut, seperti saya yang telah dibuat bertobat oleh Nicholas Saputra (sayanya ingat, mungkin Nicsap sih gak ingat dengan kejadian ini, haha).

Mau ditegur langsung oleh Nicholas Saputra seperti saya? (mungkin pada mau ya?)

Nicholas Saputra memandang manja (Muvila)
Nicholas Saputra memandang manja (Muvila)
Bonus: Coba bayangkan ditatap Nicsap kayak gini #eaaaaa

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun