Teori Komunikasi Digital
Teori komunikasi digital dikembangkan oleh Manuel Castells dan Marshall McLuhan serta berbagai pakar lainnya. Di mana dalam teori ini mereka membahas bagaimana teknologi digital mempengaruhi pola komunikasi, struktur sosial, dan budaya dalam masyarakat modern. Castells fokus pada konsep "komunikasi jaringan" dan dampaknya terhadap pembentukan identitas, sementara McLuhan dikenal dengan frase "the medium is the message," yang menekankan peran media komunikasi dalam membentuk persepsi dan pengalaman.
Teori komunikasi digital juga membahas beberapa prinsip yang digunakan untuk memahami interaksi, transmisi, dan dampak komunikasi dalam lingkungan digital. Ini mencakup studi tentang bagaimana teknologi digital, seperti internet, media sosial, dan perangkat mobile, mempengaruhi cara kita berkomunikasi, membangun hubungan, dan membentuk budaya secara keseluruhan.
Teori ini melibatkan aspek-aspek seperti konvergensi media, interaktivitas, dan transformasi informasi dalam era digital:
- Komunikasi Jaringan: Meneliti bagaimana cara jaringan digital dapat mempengaruhi pola interaksi sosial dan komunikasi antar individu.
- Dampak Teknologi: Memahami bagaimana teknologi digital seperti internet dan media sosial dapat mempengaruhi cara informasi disampaikan, diterima, serta diproses.
- Identitas Digital: Memahami bagaimana individu membentuk identitas mereka secara online dan bagaimana hal ini dapat berdampak pada dunia digital.
- Media Konvergensi: Memahami bagaimana berbagai bentuk media seperti teks, audio, video, dapat dikonvergensi dalam lingkungan digital.
- Pengaruh Budaya: Meneliti perubahan budaya yang disebabkan oleh teknologi digital, termasuk trend, norma, dan nilai-nilai yang berkembang di media sosial.
Vigilantism
Salah satu gerakan yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini adalah main hakim sendiri secara digital. Hal ini erat kaitannya dengan tingginya kasus kekerasan seksual, dan didukung penuh oleh gerakan tumpahan yang meningkatkan kewaspadaan digital. Digital vigilantism adalah tindakan main hakim sendiri yang didukung oleh teknologi dan internet. Tindakan ini seringkali dipicu oleh kemarahan terkait kasus-kasus tertentu dan dapat melibatkan publikasi nama dan alamat tersangka, penyebaran foto, dan bukti-bukti di ruang digital.Â
Di Indonesia, tindakan ini mudah ditemukan di linimasa Twitter dengan kata kunci paling populer yaitu spill the tea. Meskipun seringkali dilakukan untuk mencari keadilan terhadap korban yang terpinggirkan, tindakan ini tidak sepenuhnya dibenarkan karena rentan terhadap keberpihakan dan penghakiman yang salah sasaran, serta dapat melibatkan pelanggaran terhadap hukum seperti UU ITE. Vigilantisme digital juga erat kaitannya dengan kasus kekerasan seksual karena dominasi dukungan yang menciptakan adanya validasi terhadap korban kekerasan sehingga penerimaan yang dirasakan menjadi lebih besar.
Â
Namun, cara ini tidak sepenuhnya aman dari masalah karena dapat memicu keberpihakan dan penghakiman yang salah sasaran. Oleh karena itu, penting untuk mengingat nasehat untuk tidak main hakim sendiri dan membiarkan penegak hukum melakukan tugasnya.
Kasus Vigilantism
Digital vigilantisme juga marak terjadi di salah satu platform media sosial yang populer digunakan, yaitu Twitter atau saat ini kerap disebut X. Kasus Vigilantisme seringkali terjadi bermula ketika seorang individu mengungkapkan pendapat negatif hingga mengarah kepada ujaran kebencian terhadap seorang artis Kpop di platform Twitter. Pendapat tersebut dinilai berupa kritik yang berlebihan atau komentar yang dianggap menghina atau merendahkan artis tersebut.