Mohon tunggu...
Nasywa Aurelia Mazenda
Nasywa Aurelia Mazenda Mohon Tunggu... Mahasiswa - I'm undergraduate Historical Major Study at Padjajaran University. I loved history since elementary school until now i also won competition and also history olympiads from elementary school until now and i really want to implementation history in my life, not just studied but implemented in our life that's the reason i choose historical major in university

When studying in Padjadjaran University i reached : Mawapres Of The Year 2023 Himse Awards 2023 (2023) Mendali Emas Olimpiade Sains Nusantara (OSN) 2023 Bidang Sejarah Jenjang Perguruan Tinggi (Peringkat 8 Se-Indonesia Mendali Perak Indonesia Youth Science Competition (IYSC) 2024 Bidang Sejarah Jenjang Perguruan Tinggi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gerakan Perempuan Di Jawa Pada Masa Pergerakan Nasional

30 Juni 2024   19:47 Diperbarui: 30 Juni 2024   19:51 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gerakan perempuan di Indonesia pada awalnya untuk memajukan perempuan di bidang pendidikan, sosial, dan politik sebagai usaha untuk melawan penjajahan bangsa Belanda dengan kesadaran nasional dan dengan bersatu serta meraih kemerdekaan yang hakiki. Organisasi-organisasi pergerakan perempuan ini telah membawa perkembangan di dalam sejarah feminisme, yang kemudian dibagi ke dalam dua gelombang. Gelombang pertama terjadi 1860-1920, sedangkan gelombang kedua terjadi sekitar tahun 1960-1970an. Paham feminisme ini berkembang pesat di negara-negara Barat dan lama kelamaan paham ini juga menyebar ke negara-negara lain, termasuk Indonesia dan khususnya pulau Jawa (Noer, 1980, h. 125).

Pergerakan Perempuan di Indonesia memiliki perbedaan dengan feminisme di dunia Barat. Feminisme di dunia Barat bertujuan untuk melawan usaha para lelaki, dan agar dapat mencapai kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan hak-hak perempuan. Sedangkan pergerakan perempuan di Indonesia pada tahap awal lebih mengarah kepada usaha-usaha untuk memajukan perempuan di bidang pendidikan, politik dan sosial sebagai bentuk dari usaha untuk melawan penjajahan bangsa Belanda dengan kesadaran nasional untuk memberikan kesempatan ruang bagi rakyat Indonesia mengelola segala sumber daya yang ada di bumi pertiwi (Noer, 1980, h. 125).

Pada masa pergerakan nasional para perempuan berjuang bersama dengan gerakan nasionalisme untuk menghilangkan ketidak adilan dalam sistem kolonial (Noer, 1980, h. 152). Pada masa awal pergerakan nasional di Indonesia, pergerakan perempuan itu hanya tertuju pada perjuangan untuk mempertinggi kedudukan sosial. Selain menentang ketidakadilan sosial dari sistem kolonial, para perempuan juga membahas masalah perkawinan paksa dan praktek poligami. Masalah itulah yang mengawali pertumbuhan organisasi perempuan pada awal abad ke-20. (Struers, 2008, h. 12).

Dimulainya pergerakan perempuan ini atas dasar inisiatif para wanita pada masa pergerakan nasional tanpa adanya susunan dalam organisasi atau sebuah perkumpulan melainkan karena hati yang tergerak melihat permasalahan yang ada di lingkungan sekitar mereka. Contohnya seperti Raden Ajeng Kartini yang memperjuangkan perempuan dalam surat-suratnya yang disusun rapih kemudia dibukukan yang berjudul 'Habis Gelap Terbitlah Terang" yang mana dalam surat tersebut mengangkat isu perihal kesewenengan para golongan laki-laki dan juga perkawinan paksa, serta poligami.

Tak hanya R.A Kartini, contoh lainnya seperti Dewi Sartika, yang mengagas keutamaan istri yang didirikan di Bandung yang tujuannya untuk mengadakan rumah-rumah sekolah untuk perempuan. Itu adalah contoh dari pergerakan perempuan yang inisiatif tanpa adanya sebuah perkumpulan atau organisasi melainkan dari hati untuk memperjuangkan hak-hak para wanita di daerahnya masing-masing. Selain itu terdapat pula organisasi formal pertama yaitu, Putri Mardika yang didirikan di Jakarta pada tahun 1912, yang mana organisasi ini dibentuk dengan tujuan mendorong kaum wanita untuk memiliki jiwa keberanian di ruang publik, mengangkat harkat, dan martabat perempuan untuk mendapat kedudukan yang sama dengan laki-laki serta memperjuangkan pendidikan di kalangan perempuan.

Kemudian sekitar tahun 1913-1915 sudah mulai bermunculan organisasi perempuan di Pulau Jawa. Organisasi pergerakan wanita di Jawa pada masa awal pada bergerak untuk perbaikan taraf kedudukan perempuan dalam hidup rumah tangga, memperluas kecakapan sebagai ibu dan dan memperbaiki kualitas pendidikan perempuan yang pada waktu itu dianggap termarjinalkan. Gerak maju perempuan ini dilakukan dengan tidak menganggu kedudukan pria, tetapi untuk melawan penjajah yang yang melakukan politik etis atau balas budi.

Pada tahun 1920 kembali bertambah organisasi pergerakan perempuan, kali ini didalam Sarekat Islam yaitu organisasi Perempuan Sosialis Sarekat Rakyat, yang sifatnya merupakan sayap merah, yang mana sebagian anggotanya bergabung dengan PKI. Terdapat beberapa tokoh perempuan yang sangat gigih di antara anggotanya, seperti Raden Sukaesih dan Munapsiah (ANRI, 1981, h. 3). Pada saat diselenggarakannya kongres PKI di Jakarta pada 7-10 Juni 1924, kedua tokoh ini berbicara di depan kongres bahwa perempuan yang tidak berjuang untuk hak-hak mereka pasti akan disisihkan oleh laki-laki dan kapitalis. Kongres PKI tersebut menyediakan satu hari khusus untuk membicarakan gerakan wanita komunis. Akhir pemberontakan PKI pada tahun 1927, Sukaesih dipenjara dan dikirim ke kamp Bogen Digul (Nordholt, Purwanto, 2013, h. 126).

Selain itu juga terdapat organisasi yang berdasarkan keagamaan. Contohnya seperti Aisiyah, Aisiyah sendiri dimulai sejak KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, ia menyadari perlunya bantuan perempuan dalam menyelenggarakan sejumlah kursus mengenai perintah agama. Pada tahun 1914, perempuan Muhammadiyah dihimpun dalam perkumpulan bernama Sopo Treno, dan pada tahun 1917 berubah nama menjadi Aisiyah, dan Nyai Ahmad Dahlan sebagai ketuanya. Pada tahun 1929, Aisiyah telah mempunyai 5.000 anggota, yang tersebar dalam 47 cabang dan 50 ranting, serta mempunyai 32 rumah sekolah perempuan dengan 75 guru putri (Lapian, 2011, h. 368).

Tak hanya dari organisasi pergerakan Muslim Wanita saja, tetapi ada juga dari Katholik, yaitu Wanito Katholik. Sebelum adanya Wanito Katholik ada perkumpulan De Katholieke Vrouwen Bond yang sebagian anggotanya adalah perempuan bangsa Belanda yang beragama Katolik. Wanito Katolik terbentuk berkat adanya usaha Raden Ayu Maria Sulastri Darmoseputro yang berhasil menyusun kepengurusannya dengan ketua Raden Ayu Catharina Harjodiningrat.

Selain itu terdapat Perkumpulan pelajar puteri yang juga mengadakan organisasi pemudi-pemudi pelajar, seperti Puteri Indonesia yang merupakan bagian dari Pemuda Indonesia. Gagasan-gagasan dari para organisasi perempuan tersebut  yang semakin kuat telah mengantarkan organisasi perempuan dalam Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928. Kongres ini diprakarsai oleh tujuh organisasi perempuan yaitu Wanita Aisyiah, Wanito Utomo, Jong Islamicten Bond Domes Afdeeling bagian perempuan (JIBDA) dan Nahdlatul Ulama Musimat (NUM). Kongres ini bertujuan untuk mempersatukan cita-cita dan usaha untuk memajukan perempuan Indonesia serta mengadakan gabungan antara perkumpulan perempuan (Lapian, 2011, h. 369).

Kongres perempuan pertama dihadiri hampir 30 organisasi perempuan di seluruh Jawa dan Sumatera serta pada kongres tersebut diketuai oleh R.A. Sukonto dari Wanito Utomo, wakil ketua Siti Munjiah dari Aisyiah, sekretaris I nya adalah Siti Sukaptinah dari JIBDA, dan bendahara I ada R.A. Harjodiningrat dari Wanita Katolik, serta anggota lainnya dari Wanita Taman Siswa (Nyi Hadjar Dewantara), dll. Jika dilihat dari para pesertanya, diketahui bahwa kebanyakan diantara mereka adalah perempuan-perempuan muda yang berasal dari keluarga Jawa yang tergolong menengah ke atas dan pernah menikmati pendidikan modern. Mereka mewakili kelompok Katolik dan Islam di Indonesia. Setidaknya  dua orang beragama Katolik, dan sisanya beragama Islam, serta lima orang di antaranya memiliki hubungan erat dengan kalangan keagamaan.

Hal yang menarik dalam Kongres Perempuan I adalah pidato-pidato dalam kongres tersebut bukan hanya bahwa isinya yang berbeda-beda, namun juga karena adanya aneka ragam gaya. Hasil dari Kongres Perempuan I yang pertama adalah Mendirikan badan pemufakatan dengan nama Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI), yang kedua adalah Mendirikan studiefonds untuk anak-anak perempuan yang tidak mampu membayar biaya sekolah dan berusaha memajukan kepanduan putri, dan yang terakhir adalah Mencegah pernikahan di bawah umur (Anshory, 2010, h. 120).

Kemudian dilanjutkan dengan Kongres Permufakatan Perikatan Perempuan Indonesia (PPPI), 28-31 Desember 1929 di Jakarta, yang membahas tentang kewajiban perempuan dalam kehidupan sosial, ekonomi, pernikahan, dan keluarga, poligami, nikah paksa, dan pernikahan di bawah umur. Didalam kongres tersebut terjadinya penggabungan beberapa organisasi perempuan dan akhirnya disepakati nama PPPI diubah menjadi Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia (PPII). Dalam kongres ini telah disepakati untuk menerbitkan surat kabar Isteri yang terbit di Jakarta. Selain itu juga didirikan stadiefonds PPII dengan nama Seri Derma.

Dilain hal itu juga berlangsung Kongres Perempuan II yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 20-24 Juli 1935. Hasil dalam kongres ini adalah mendirikan badan penyelidikan perburuhan perempuan yang harus mengamati pekerjaan perempuan Indonesia dan menggalang tiap-tiap perkumpulan untuk bergabung dalam memberantas buta aksara, selain itu didalam Kongres ini juga memutuskan bahwa Kongres Perempuan Indonesia akan dijadikan satu badan tetap dan berkumpul secara berkala.

Selanjutnya dalam Kongres Perempuan Indonesia ketiga yang dilaksanakan pada bulan Juni tahun 1938 yang bertempat di Bandung. Yang membahas permasalahan hak-hak politik kaum perempuan, tetapi melalui peraturan ini kaum wanita masih belum diberi kesempatan untuk turut memilih dan akhirnya dalam kesempatan pada kongres ini memutuskan untuk meminta agar perempuan diberi kesempatan memilih dan dipilih secara luas. Keputusan dalam kongres ketiga ini adalah ditetapkannya tanggal 22 Desember sebagai hari ibu yang diperinganti setiap tahunnya di Indonesia, yang mana hal ini diharapkan adanya kesadaran kaum perempuan akan kewajibannya sebagai "ibu bangsa". 

Dalam kongres ini juga Komite Perlindungan Kaum Perempuan dan Anak-anak Indonesia (KPKPAI) yang kemudian diubah menjadi Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan (BPPIP) yang tugasnya adalah meneruskan biro konsultasi dan mengumpulkan bahan-bahan untuk menyusun suatu rancangan undang-undang pernikahan bagi umat Islam (Lapian, 2011, h. 372).

Kemudian dilanjut dengan Kongres Perempuan Indonesia yang keempat, yang berlangsung pada bulan Juli tahun 1941 di Kota Semarang. Dalam kongres ini membahas tentang menyetujui diadakannya pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah menengah dan Perguruan Tinggi dan juga dibuat empat badan kerja yaitu untuk memberantas buta huruf, menyelidiki soal kerja perempuan Indonesia, mengurus soal pernikahan menurut hukum Islam, serta menangani perbaikan ekonomi kaum perempuan (Lapian, 2011, h. 373).

Setelah menjelaskan tentang organisasi maupun perkumpulan yang ada di Jawa pada masa pergerakan Nasional, berikut dampak positif dan negatif dari adanya organisasi atau perkumpulan perempuan di Jawa pada masa pergerakan nasional. Dimulai dari dampak postitif terlebih dahulu yakni peningkatan jenjang pendidikan perempuan yang disertai dengan meningkatnya taraf hidup perempuan, perempuan dapat turut andil dalam mengambil peran dengan mengisi posisi-posisi penting dalam sebuah organisasi, badan, lembaga, ataupun instansi terkait, dan adanya persamaan hak dan kewajiban di dalam kegiatan rumah tangga.

Kemudian dampak negatifnya adalah penurunan kesadaran akan fitrahnya sebagai perempuan dan kurang menganggap fitrahnya itu sebagai sesuatu yang bernilai ibadah. Jadi itulah dampak positif serta negatif dari adanya organisasi perempuan di Jawa pada masa pergerakan nasional.

Oleh karena itu, Pergerakan perempuan di Jawa pada awalnya lebih mengarah kepada usaha-usaha untuk memajukan perempuan di bidang pendidikan, sosial, dan politik sebagai bentuk untuk melawan penjajahan bangsa Belanda dengan kesadaran nasional serta meraih kemerdekaan yang hakiki, selain itu juga  pergerakan perempuan tidak terlepas dari adanya kongres-kongres nasional yang dilakukan, dan juga tentunya melalui sarana Pendidikan akan menghasilkan perempuan yang terdidik serta dapat memperjuangkan hak-hak dengan menuangkan gagasan dan pikiran yang ada, baik secara lisan maupun dari tulisan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun