Pergi Tanpa Pamit
Dia yang selalu menemaniku dikala sedih dan senang harus meninggalkanku secepat ini. Rencana-rencana yang telah kita buat bersama berakhir pupus sebelum dimulai. Mengikhlaskan kepergiannya sangatlah berat bagiku. Dia bagaikan belahan jiwa yang tidak pernah bisa berpisah. Dialah ayahku.
Ayah yang menanti kehadiranku yang sangat amat lama. 7 tahun lamanya ia menanti. Sampai akhirnya aku lahir kedunia dengan selamat dan tanpa kurang satu apapun. Mendengar tangisan ku kala itu membuat ayah menangis bahagia. Seiring berjalannya waktu, aku bertumbuh besar dan menjadi wanita yang mandiri atas didikan ayah dan ibu.
Menjadi anak tunggal dengan harapan orang tua di pundak, membuatku berfikir apakah aku sanggup? Tentu saja aku tidak tau karena takdir yang ditulis oleh tuhan antar manusia beda-beda.
Sampailah aku di usia kepala dua. Mencari pekerjaan, hidup sendiri tanpa orang tua. Pergi keluar kota hingga luar negeri. Menjelajah sendiri demi sesuap nasi setiap harinya. Banting tulang demi mengirimkan uang ke rumah.Â
Di titik terendah, Aku merasa ingin meninggalkan semua keluarga yang aku cintai dan sayangi. Ketidak mampuanku menjalani hidup yang semakin lama semakin keras. Aku selalu merasa support orang terdekat sangat penting jika harus hidup sendiri, sebatang karang.
Dan suatu hari disaat aku sedang bergelut dengan kertas-kertas yang menumpuk diatas meja, teleponku berdering, pada awalnya aku hiraukan karena aku sangat sibuk. Tapi semakin lama, semakin sering telepon itu berbunyi. Akhirnya aku angkat, dan saat aku menunggu si penelepon itu berbicara, pensil ku jatuh. Penelepon itu mengabarkan bahwa ayahku telah tiada.
Badanku kaku. Pikiranku kalut. Aku pingsan kala itu. Setelah sadar teman-temanku bertanya dan aku mengatakan bahwa ayahku telah tiada. Semua bergegas menemaniku pulang ke rumah. Sampai disana aku melihat bendera kuning sudah terpasang di depan rumah kami. Aku berusaha menguatkan diriku untuk tidak jatuh pingsan lagi.Â
Aku melihat saudara-saudaraku yang langsung berdiri dan berhamburan memeluk tubuhku. Seperti menguatkan satu sama lain. Aku bertanya pada mereka dimana ibuku, mereka menjawab ibu di kamar bersama tante-tante ku. Aku kuatkan tekad untuk bertemu dengan ibu yang pasti lebih hancur dibanding diriku.Â
Ku ketuk pintu dan membukanya sedikit, ibu langsung bangun membuka pintu selebar mungkin dan memelukku seerat yang ibu bisa. Aku meminta maaf padanya karena telat datang dan ibu meminta maaf padaku karena tidak bisa menjaga ayah dengan baik.Â
Setelah ayah dikebumikan aku bertekad untuk tinggal di rumah dan meninggalkan apapun yang sudah aku gapai demi menemani ibu dan menguatkan satu sama lain. Selama 3 hari ibu hanya memandangi foto ayah. Di malam itu ibu bercerita tentang ayah yang merindukanku, rasanya sangat sakit saat mendengar cerita ibu. Aku merasa seperti anak durhaka karena tidak pulang ke rumah.Â
Ibu juga bercerita tentang ayah yang menyembunyikan penyakitnya dariku. Ibu meminta maaf sebanyak-banyaknya padaku karena tidak bercerita tentang penyakit ayah, ibu tidak bercerita karena ayah yang meminta. Ayah bilang jangan sampai anak kita tau, aku takut jadi beban untuknya. Setelah itu kami menangis bersama dan tidur bersama.
Â
~THE END~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H