Mohon tunggu...
Nasywa Ibtisamah
Nasywa Ibtisamah Mohon Tunggu... Penulis - manusia berjuta asa

medium.com/@opininasywa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Resistansi Media

16 Desember 2018   16:55 Diperbarui: 16 Desember 2018   17:27 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kitabisa.com, diakses tanggal 4 Desember 2018

Saya yakin sebagian dari pembaca artikel ini pernah melihat gambar pada ilustrasi diatas entah pada  instagram atau media sosial lain seperti Line dan whatsapp. Postingan itu menyeruak kemana-mana hingga selebgram sekelas retno hening yang telah memiliki 1.2 juta pengikut, turut menyebarkan lewat ig story. Padahal, baik Faisha maupun Rida bukanlah seseorang yang dikenal khalayak ramai. 

Keduanya, adalah mahasiswa sebuah universitas di Surabaya, dan sejauh ini saya belum pernah melihat keduanya di televisi ataupun majalah. Berbeda jika keduanya memang sudah tenar dan memiliki pengikut pada instagram berjuta-juta. Tidak susah rasanya untuk membuat berita tentangnya viral.

Keduanya mengalami kecelakaan pada hari Minggu. Kasus itu diangkat di Line dan Kitabisa pada hari Selasa. Highlight pada kasus tersebut yaitu jika tidak segera dilakukan operasi, maka Faishal berpotensi untuk terkena meningitis. Sedangkan Rida, dengan kondisi tulang pinggul patah tentunya juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. Berita ini begitu santer dikabarkan, tidak hanya dari kampus atau sekolah keduanya. Bisa dikatakan, hamprir satu Surabaya mengetahui dan ikut menyebarkan. Hasilnya, hanya selang sehari 150 Juta terkumpul! Luar biasa.

Pada kasus yang kedua, saya mengangkat berita tentang pelecehan yang dilakukan mahasiswa di sebuah kampus di Jogja. Kejadian tersebut berlangsung sekitar Juni 2017, dan baru terasa hypenya saat November 2018. Berbagai desas-desus bertebaran di telinga masyarakat. Ada yang menyalahkan sang lelaki. Sebagian lainnya memahami bahwa itu adalah naluri lelaki. Dua kubu ini saling serang dengan argumen yang entah bagaimana kebenarannya.

Kisah bagaimana kejadian ini bisa terangkat ke media pun bisa dikatakan dramatis. Agni (korban, dengan nama samaran) berjuang mati-matian agar pihak kampus bisa memberikan hukuman dengan pantas. Ia berlarian kesana-kemari menemui berbagai pihak. Sendirian. Dan respon mereka pun seringkali menyakitkan. Bagaimana seorang korban, malah disuruh bertaubat, atau disuruh melupakan kejadian hina tersebut. 

Hal itu diperkuat dengan tidak adanya peraturan rektor untuk mengeluarkan mahasiswa karena kasus pelecehan. Tidak pernah dianggap serius mungkin kalimat yang tepat untuk menggambarkan bagaiamana laporan Agni ditanggapi. Proses pencarian keadilan berlangsung alot dan seret. Di lain sisi, ia harus mengobati psikisnya dengan berkonsultasi dengan psikolog dan psikiater.

(Sumber: Change.org)
(Sumber: Change.org)


Hingga akhirnya, Jeder! Berita itu terangkat luas ketika sang pelaku terdaftar sebagai mahasiswa yang akan melakukan wisuda. Petisi menjadi salah satu bukti bahwa kasus tersebut sudah mendapatkan perhatian masyarakat. 

Hanya dalam 24 jam sejak diterbitkan, 58.000 telah menanda tangani "Usut Tuntas Kasus Pemerkosaan KKN ***". Semua media ramai membuat artikel, dan ingin kecipratan atmosfer yang sedang panas-panasnya. Kampus tersebut pun kelabakan untuk membuat pernyataan atas tidak enaknya berita yang menyudutkan mereka. Ibarat bola panas yang terus menggelinding dan semakin membesar.

Perjuangan Agni seorang diri selama 1 tahun, terbayarkan dalam 24 jam. Berita itu sukses mengundang perhatian seantero Indonesia. Tidak hanya alumni atau mahasiswa dari kampus terkait, semua mahasiswa ingin tahu dan turut menunjukkan kepeduliannya.

Lantas, ketika disodorkan sebuah pertanyaan "Seberapa kuatnya media bagi dunia?"

Maka, dengan semangatnya saya berteriak "Kuat banget!"

Bisa dikatakan media menggiring masyarakat untuk ikut terjun dalam euforia sebuah berita atau peristiwa. Dan tidak ada yang meragukan kekuatan dari massa. Orang-orang yang berkumpul dengan tujuan yang sama, berjuang keras untuk mewujudkan keinginannya, lebih menyeramkan dari dedengkot jin. Hitung saja, jika kekuatan 1 orang adalah 10, maka kalikan dengan banyaknya massa yang terkumpul. Kekuatan akhirnya akan sangat besar.

Meskipun, viralnya sebuah berita masih menjadi misteri bagaimana caranya. Tidak ada metode pasti agar sebuah berita bisa viral. Lebaran kemarin contohnya, sebuah iklan yang menyongsong tema jadul, bisa tenar karena adanya ibu-ibu dalam magic jar. Semua orang membagikan iklan tersebut pada media sosial masing-masing. 

Siapa yang menyangka? Atau kebalikan dari susahnya memviralkan adalah film Rafthar dengan budget mencapai Miliaran, namun penonton mentok di angka 400 ribuan. Tangan dingin Raffi Ahmad beserta jajaran teman-teman artisnya yang mempromosikan tidak berhasil mencetak angka 1 juta. Padahal jika dijumlahkan, jumlah pengikut artis-artis itu jauh di angka 1 juta.

Sebenarnya, zaman sekarang cukup menguntungkan bagi kita jika ingin memviralkan sesuatu. Banyak media yang bisa digunakan, mulai dari media sosial, youtube, ataupun blog. Namun, berita tersebut tidak akan viral jika tidak ada massa yang terlibat didalamnya. Jika dilihat dari dua kasus yang saya sebutkan diatas, ada satu titik dimana kabar tersebut bisa meletus. Untuk yang pertama, bisa dikatakan sebagai kondisi yang urgent. 

Bayangkan, ketika kita membaca berita bahwa pertolongan kita menentukan hidup seseorang. Kita akan merasa bahwa sedikit apapun dana yang kita berikan, tentu akan berdampak pada keberlangsungan hidup keduanya. Dan pemikiran itu tidak hanya mengendap pada satu orang. Beribu-ribu orang memiliki pemikiran yang sama. Apalagi, begitu banyak orang yang membagikan halaman kitabisa tersebut. Viral!

Pada kasus kedua, titik puncaknya adalah ketika pelaku akan diwisuda dengan kasus yang masih menggantung. Sisi iba manusia digores melihat berita tersebut. Di tengah desas desus kabar yang tak jelas, sebuah unit jurnalisme mahasiswa dari kampus terkait angkat suara. Membeberkan sejumlah fakta yang tidak diketahui orang eksternal kampus. Pemilihan kata ditujukan untuk membela korban. Orang-orang yang sakit hatinya, menanda tangani petisi, lalu menyebarkannya lewat media. Viral!

Nah, jika kita renungkan, media bisa menjadi alat yang luar biasa untuk mengumpulkan kekuatan. Lantas, apakah kita yang notabene nya masyarakat biasa bisa memanfaatkan kekuatan media? Bisa. Sembari mencari titik yang menggemparkan, bisa dilakukan pengenalan target audience. Jika dalam jurnalistik, maka harus dikerucutkan bagaimana target audience yang ingin diraih. 

Bangun imagenya terlebih dahulu, dan perlahan massa akan terkumpul. Percayalah, kekuatan sebuah citra sangat besar. Tidak harus memiliki stasiun televisi untuk bisa dikenal. Cukup buat karya yang mengundang massa.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun