"Jadi, yang pertama kami tidak tahu. Saya sudah cek mulai camat sampai  semua asisten sekda tidak ada yang tahu. Saya pun tidak tahu, baru  mengetahui setelah kejadian. Tidak ada surat pemberitahuan dan izin sama  sekali. Saya jangan ditanya itu, karena kita tidak tahu sama sekali.  Jadi, tolong tanya panitia. Yang kedua, korban sudah ditangani semampu  kami."
 Pernyataan Bu Walikota Surabaya, saat ditanya pendapatnya mengenai insiden berdarah, 9 November 2018. Simpan dahulu pernyataan beliau. Akan dikupas faktor-faktor lain, bagaimana bisa pernyataan seperti itu keluar dan memberi kesan seolah-olah "lepas tangan".
Surabaya membara merupakan pagelaran tahunan yang sudah diadakan dari tahun 2011. Dari hasil surfing, saya berhasil menemukan poster "Surabaya Membara" di tahun 2015.
Dapat dilihat bahwa pelaksanaan acara bertempat di Tugu Pahlawan Surabaya, dengan dukungan dari Pemerintah Kota, Pemerintah Propinsi, hingga kepolisian. Bahkan, suksesnya acara ini turut ditempel pada halaman website resmi kota Surabaya. Drama kolosal bertemakan "Tentara Rakyat Indonjesia Pelajar" yang diketuai Taufik ini sukses menyedot 10.000 penonton yang memadati  Jalan Pahlawan. Meski berdurasi hanya sekitar 60 menit, drama ini mampu menggambarkan pertempuran heroik arek-arek Surabaya dalam mengusir penjajah Belanda dan Sekutu.
Namun, di tahun 2015 ada beberapa keluhan penonton. Diantaranya seputar kondisi penonton yang berjubel, dan berdesakan sehingga membuat tidak nyaman menonton. Mereka menginginkan layar besar agar masyarakat yang tidak dapat menonton dari dekat, tetap bisa melihat dengan nyaman melalui layar. Rupanya, masukan-masukan itu tidak ditanggapi oleh pihak Komunitas. Drama kolosal yang telah menyedot antusiasme masyarakat ini, tetap diadakan di tahun-tahun selanjutnya tanpa ada perbaikan dari segi penonton.Â
Hingga di 2018, drama yang menggunakan kosmetik untuk membuat darah palsu, benar-benar menjadi peristiwa berdarah yang membuat 3 nyawa melayang. Pertunjukan apik yang melibatkan sekitar 750 pemain yang berasal dari SMK Muhammadiyah 1 Surabaya, SMA Sejahtera, TNI dan sebagainya mendapatkan label pertunjukan cacat. Berita di dalam jaringan maupun luar jaringan menceritakan kronologis bagaimana korban bisa berjatuhan dari viaduk dengan tinggi sekitar 6 meter. Sangat sedikit media yang mengangkat bagaimana perjuangan para aktor drama agar bisa memberikan performa terbaiknya untuk menceritakan bagaimana perjuangan para pahlawan saat masa penjajahan.
Salah siapa? Bu Risma? Panitia?
Tentu, pertanyaan itu membayangi kepala pembaca. Hingga Bu Risma memberikan klarifikasi, tidak adanya izin yang dikantongi pihak panitia dari pemerintah kota. Dan hal itupun dibenarkan Taufik selaku ketua Komunitas Surabaya Membara. Panitia hanya bekerja sama dengan pemadam kebakaran, tantara dari Korem 084 Bhaskara Jaya dan juga mobil ambulans yang berasal dari Pemprov.
Pertanyaan selanjutnya pun menguak dari kepala, bagaimana bisa acara sebesar ini dengan percaya dirinya tidak berkoordinasi dengan Pemkot Surabaya? Padahal Surabaya adalah salah satu kota yang telah menerapkan konsep Smart City dan memiliki website dengan Calendar of Events tiap bulannya. Tentu, promosi yang dilakukan pemerintah kota Surabaya sangat membantu. Atau karena Surabaya Membara sudah memiliki nama, tidak lagi membutuhkan bantuan Pemkot?