Program Beasiswa Negeri merupakan sebuah upaya pemerintah dalam mewujudkan pemerataan akses pendidikan tinggi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sasaran utama dari program Beasiswa Negeri adalah siswa lulusan SMA/SMK/MA sederajat yang memiliki prestasi akademik tinggi, tetapi terkendala biaya untuk melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi negeri. Kriteria khusus seperti batasan penghasilan orang tua, nilai akademik minimal, dan sebagainya bervariasi antara satu jenis beasiswa dengan beasiswa lainnya. Selain itu, program Beasiswa Negeri juga menyasar mahasiswa yang sudah terdaftar di perguruan tinggi negeri tetapi mengalami kesulitan finansial dalam melanjutkan studi mereka. Beberapa jenis beasiswa seperti Beasiswa KIP Kuliah, Beasiswa Unggulan Kemendikbudristek, Beasiswa Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan masih banyak lagi beasiswa negeri yang disediakan pemerintah maupun pihak swasta untuk anak-anak Indonesia.
Nominal bantuan yang diberikan dalam beasiswa juga lumayan besar. Seperti pada beasiswa KIP-K. Di tahun 2021, biaya pendidikan per mahasiswa program studi dengan akreditasi A sebesar Rp8.000.000 (batas maksimum di Rp12.000.000), untuk program studi dengan akreditasi B sebesar Rp4.000.000, dan program studi dengan akreditasi C sebesar Rp2.400.000.
Selanjutnya untuk biaya hidup per mahasiswa, biaya hidup dibagi menjadi 5 klaster daerah sesuai indeks harga berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas 2019). Klaster 1 sebesar Rp800.000 , klaster 2 sebesar Rp950.000, klaster 3 sebesar Rp1.100.000, Klaster 4 sebesar Rp1.250.000, dan Klaster 5 sebesar Rp1.400.000.
Dengan nominal bantuan tersebut diharapkan dapat memberikan dukungan biaya kepada siswa berprestasi dari kalangan ekonomi lemah, negara berinvestasi pada sumber daya manusia yang akan menjadi tulang punggung bangsa di masa depan. Namun, dalam implementasinya, program beasiswa negeri seringkali terhambat oleh berbagai tantangan yang membuat tujuan mulianya meleset.
Belakangan ini, program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah yang bertujuan membantu mahasiswa dari keluarga kurang mampu dalam membiayai pendidikan menjadi perbincangan hangat di media sosial. Di Universitas Diponegoro, ditemukan sejumlah mahasiswa yang disinyalir menyalahgunakan bantuan tersebut.
Beberapa akun di platform X (Twitter) membongkar identitas mahasiswa yang diduga mengeksploitasi KIP Kuliah. Mereka mengungkapkan tangkapan layar dari akun media sosial. mahasiswa tersebut yang memamerkan gaya hidup mewah, seperti memiliki barang-barang branded, berkunjung ke kafe-kafe, dan mengunggah konten yang dinilai hedonis oleh warganet.
Hingga saat ini, warganet telah menemukan empat mahasiswa dengan inisial RAM, NDP, CMJE, dan SKP yang disinyalir menerima KIP Kuliah. Sejumlah di antara mereka ternyata memiliki bisnis sendiri dan menjadi influencer di media sosial. Hal ini memicu kemarahan warganet karena program bantuan tersebut jelas tidak tepat sasaran.
Bahkan, salah satu mahasiswa dengan inisial NDP pernah bertemu langsung dengan influencer Jerome Polin dan memamerkan foto pertemuan mereka di Instagram pribadinya. Jerome Polin pun turut mengkritik situasi ini dengan mengatakan, "Mau gak percaya tapi kok makin banyak ya."
Terungkap bahwa sebagian mahasiswa penerima KIP Kuliah tersebut telah menikmati bantuan sejak tahun 2022, namun baru terbongkar sekarang melalui media sosial. Namun netizen juga ada yang pro dan kontra terhadap kasus KIP-K yang sedang hangat
diperbincangkan di X ini.
"Para oknum kipk mbok ya malu sama mahasiswa yg kurang mampu atau middle class yg bayar kuliah sesuai ketetapan. Sadar woy kipk tuh pake subsidi silang," komentar akun @wano**** yang pro dengan adanya kasus penyalahgunaan KIP-K.
"Gila baca keributan KIPK ini painful banget ya keknya semua orang harus menderita bener dan nggak boleh ada perbaikan nasib sedikit pun. Padahal perubahan nasibnya mungkin terjadi karena biaya akademiknya udah dibantu KIPK loh. Bukannya itu tujuannya KIPK dan beasiswa lainnya?," sahut akun @niw**** yang kontra dengan kasus ini.
Dengan adanya kasus penyalahgunaan beasiswa KIP-K ini menimbulkan kontroversi dan mempertanyakan efektivitas verifikasi data penerima. Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses seleksi penerima beasiswa negeri.
Karena memang ada kalanya kriteria penerima beasiswa tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi ekonomi yang sebenarnya. Kisah NA, seorang siswa berprestasi dari Jawa Timur, menggambarkan hal ini. Meski ayahnya hanya seorang pensiunan PNS dengan penghasilan
terbatas, NA selalu ditolak untuk mendapatkan beasiswa negeri karena dianggap berasal dari kalangan ekonomi menengah. Padahal, dengan biaya hidup yang tinggi dan adik-adiknya yang juga masih bersekolah, keluarganya kesulitan untuk membiayai kuliah NA di perguruan tinggi idamannya.
"Saya selalu berusaha keras untuk mendapatkan beasiswa, tetapi selalu ditolak karena dianggap mampu secara ekonomi. Padahal, pengeluaran keluarga kami sangat besar dan kami benar-benar membutuhkan bantuan," ungkap NA dengan nada frustrasi.
Kendala administratif dan birokrasi yang panjang menjadi faktor penyebab utama ketidakefektifan penyaluran beasiswa negeri. Dengan jumlah calon penerima yang jauh melebihi kuota, banyak siswa berprestasi yang terpaksa tersingkir dari program beasiswa. Proses seleksi yang ketat dan verifikasi data yang rumit juga seringkali memperlambat proses penyaluran beasiswa, membuat kesempatan mengejar pendidikan tinggi semakin menipis.
Proses yang berbelit-belit dan kurangnya koordinasi antar lembaga seringkali menghambat penyaluran dana tepat waktu. Ditambah lagi dengan adanya beasiswa salah sasaran yang dimana kuota yang seharusnya di isi oleh masyarakat yang benar-benar kurang mampu, jadi terpenuhi oleh kalangan orang mampu bahkan kaya. Selain itu, kurangnya sosialisasi dan penyebaran informasi yang merata membuat banyak calon penerima berpotensi tidak mengetahui ketersediaan program beasiswa.
Dampak dari kegagalan penyaluran beasiswa negeri sangat luas. Bagi individu penerima, dampaknya adalah adanya ketidakadilan dan ketimpangan yang menghambat mobilitas sosial serta memperkuat persepsi bahwa hanya kalangan mampu yang dapat mengakses pendidikan berkualitas, serta kehilangan potensi sumber daya manusia karena penerima tidak tepat sasaran. Bagi masyarakat luas, dampaknya adalah meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap program pemerintah dan potensi konflik sosial akibat rasa ketidakadilan di kalangan kurang mampu. Sedangkan bagi pemerintah, dampaknya adalah kehilangan kepercayaan masyarakat yang dapat berdampak negatif pada popularitas pemerintah.Â
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan langkah-langkah strategis dari pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan. Ada beberapa tawaran solusi untuk hal ini. Pertama, peninjauan kembali kriteria penerima beasiswa dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi keluarga secara menyeluruh, bukan hanya berdasarkan status pekerjaan orang tua. Kedua, peningkatan anggaran untuk program beasiswa negeri harus menjadi prioritas, agar lebih banyak siswa berprestasi dapat terbantu. Ketiga, reformasi birokrasi dan penyederhanaan proses administrasi sangat diperlukan untuk mempercepat penyaluran beasiswa.
Selain itu, peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam seleksi penerima beasiswa melalui verifikasi data yang ketat dan keterlibatan masyarakat sipil juga penting dilakukan. Pemerintah juga dapat melakukan pemantauan secara berkala, misalnya setiap bulan, untuk memastikan bahwa penerima beasiswa masih memenuhi kriteria yang ditetapkan. Apabila penerima beasiswa sudah memiliki penghasilan sendiri, sebaiknya dilakukan pencabutan beasiswa agar kuotanya dapat diisi oleh calon penerima lain yang lebih membutuhkan. Atau, penerima beasiswa dapat mengajukan pengunduran diri secara mandiri apabila merasa sudah tidak memenuhi syarat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI