Mohon tunggu...
Nasya RJauza
Nasya RJauza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Teknologi, Sosial Budaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Mengupas Filosofi dan Makna di Balik Larungan Suro: Tradisi Sakral Desa Sukodermo

28 Agustus 2023   09:00 Diperbarui: 28 Agustus 2023   09:01 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Persiapan Larungan Suro (Sumber: Dokumen Pribadi)

Larungan Suro adalah sebuah upacara tradisional atau tradisi yang dilaksanakan di Punden Nuswantoro, Desa Sukodermo, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, yang telah dilaksanakan sejak tahun 2005 oleh masyarakat setempat. 

Tradisi ini memiliki sejarah panjang mengenai hubungan antara manusia dengan alam. Tradisi ini tidak hanya menarik perhatian warga lokal saja, tetapi juga warga dari berbagai kota mulai dari Kota Madiun, Probolinggo, Jember, dan sebagainya.

Larungan Suro memiliki filosofi utama yang mengandung pesan mendalam tentang pembersihan jiwa dan watak manusia. Filosofi ini berasal dari keyakinan bahwa manusia memiliki sifat-sifat negatif dan jiwa yang kotor yang perlu dibuang atau disucikan yang diimplementasikan dengan cara menyembelih hewan. 

Bagian kepala dan tulang hewan yang telah disembelih tersebut kemudian dilarung di Pantai Ngliyep sebagai simbol membuang sifat atau watak buruk manusia serta hawa nafsu yang ada dalam diri manusia. Sedangkan bagian dagingnya dimasak untuk dimakan bersama-sama. 

Hewan yang dapat digunakan dalam acara Larungan Suro ini antara lain lembu, kerbau, atau kambing. Tradisi ini dilaksanakan pada malam hari di hari ke-15 bulan Suro saat purnama, hari yang dianggap sakral dalam budaya Jawa. 


Selain itu, tradisi ini dilaksanakan dengan harapan diberi keselamatan, kemakmuran, dan kesehatan. Semuanya memiliki harapan untuk "urip mulyo, mati sempurno" yang berarti hidup mulia, mati sempurna.

Ada berbagai tahapan yang dilakukan sebelum mengikuti upacara Larungan Suro. Pertama-tama peserta harus menjalani "ruwat". Ruwat adalah ritual mandi kembang yang bertujuan untuk membersihkan diri dari bala. 

Ruwat dilakukan bagi orang yang mengalami kekurangan rezeki, sulit mendapatkan jodoh, sakit secara bergantian dalam satu rumah, dan sering mendapatkan permasalahan antar saudara. Akan tetapi, biasanya ruwatan ini diikuti oleh keluarga yang memiliki anak dengan pembagian sebagai berikut.

1. Anak tunggal laki laki atau perempuan (Ontang-anting)

2. Dua anak perempuan (Nompo Jodang)

3. Dua atau empat anak laki laki (Nompo Regol)

4. Tiga anak dengan urutan laki-laki, perempuan, laki-laki (Sendang Kapit Pancuran)

5. Tiga anak dengan urutan perempuan, laki-laki, perempuan (Pancuran Kapit Sendang)

6. Lima anak laki laki (Pandawa)

7. Lima anak perempuan (Pandawi)

Peserta mengenakan pakaian khusus (kain putih atau kain ihram) dan dimandikan oleh tokoh spiritual sembari membacakan doa. Bagian yang dimandikan terbagi menjadi tiga, yaitu kepala, hati, dan kaki. 

Bagi masyarakat Jawa, bagian-bagian tersebut memiliki filosofi dimana bagian tubuh manusia itu terdiri dari Sanghyang Wenang (bagian atas atau kepala), Sanghyang Wening (bagian tengah atau dada), dan Sanghyang Ciptaning (bagian bawah atau kaki). Tiga bagian tersebut adalah hal yang selalu kita bawa dan mengikuti kita kemanapun kita pergi, sehingga bagian-bagian inilah yang harus dibersihkan.

Setelah proses mandi, pakaian yang digunakan pada saat ruwat tersebut juga dibuang ke laut karena pakaian diibaratkan sebagai nafsu yang selalu menyelimuti kita. Terakhir, orang-orang yang telah melakukan ruwat, dipersilakan untuk memakai wewangian dan berkumpul bersama yang lainnya. 

Setelah acara larungan dilakukan, biasanya juga dilakukan istighosah, pertunjukan wayang kulit, penampilan tari, nembang macapat, dan tumpengan. Semua ini menciptakan lingkungan yang memadukan nilai-nilai spiritual dengan keanekaragaman budaya.

Larungan Suro di Punden Nuswantoro Desa Sukodermo adalah suatu perayaan budaya yang memadukan filosofi pembersihan jiwa, hubungan manusia dengan alam, dan keragaman budaya. 

Tradisi ini memberikan wawasan tentang bagaimana mengatasi sifat-sifat negatif dan kotor dalam diri manusia melalui tindakan simbolis yang kuat. Dengan menghubungkan warisan budaya dan spiritualitas, Larungan Suro menjadi tradisi yang dilestarikan oleh warga Desa Sukodermo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun