Mohon tunggu...
naswarosyida
naswarosyida Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Hoby berenang, suka menari

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyikapi Hadist Bekerja Keras

2 Desember 2024   15:13 Diperbarui: 2 Desember 2024   15:18 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peluh, Doa, dan Keberkahan

Hamzah melangkah perlahan menyusuri jalan setapak menuju kebun kecilnya di tepi desa. Langit pagi itu memerah, tanda bahwa matahari segera menampakkan diri. Di bahunya tergantung cangkul yang sudah usang, sementara di tangannya tergenggam sebuah kantong berisi bibit jagung “Bismillah,” gumamnya sebelum melangkah masuk ke ladang kecil yang telah diwariskan ayahnya.

Hamzah adalah seorang pemuda desa yang dikenal sederhana, rajin, dan taat beragama. Meski hanya seorang petani kecil, ia percaya bahwa rezeki yang halal dan berkah lebih baik daripada limpahan harta yang diraih dengan cara yang tidak diridai Allah. Keyakinan ini berakar pada hadis Rasulullah SAW yang sering ia dengar dari ustaz di masjid desanya: “Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil usahanya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Dawud AS makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri.” (HR. Bukhari).

Namun, tidak semua orang di desanya sepaham dengannya. Banyak pemuda di desa itu yang memilih bekerja dengan cara mudah, seperti berjudi atau menjadi rentenir. Mereka memandang Hamzah dengan sebelah mata.

“Hamzah, sampai kapan kau akan mencangkul ladang itu? Hasilnya paling hanya cukup untuk makan sehari!” ejek Hasan, seorang pemuda yang kerap menghabiskan waktunya bermain judi di warung kopi.
Hamzah tersenyum tipis. “Aku yakin, Hasan, sedikit tapi halal itu lebih baik daripada banyak tapi tidak berkah.” Hasan mendengus, lalu berbalik sambil menggelengkan kepala. “Kau terlalu polos, Hamzah. Dunia ini butuh uang, bukan keyakinan kosong.”
Namun, ejekan seperti itu tak pernah menggoyahkan tekad Hamzah. Ia percaya, kerja kerasnya adalah bentuk ibadah. Bahkan, setiap tetes peluhnya ia niatkan sebagai penghapus dosa-dosa kecilnya.

Awal Ujian
Hamzah menjalani hari-harinya dengan penuh kesabaran. Pagi hingga siang ia bekerja di ladang, sementara sore harinya ia membantu ibunya menjual hasil kebun di pasar. Tapi suatu hari, ujian datang menghampiri. Hujan deras yang turun berhari-hari mengakibatkan banjir besar melanda desanya.
Hamzah berdiri di tepi ladangnya, menatap hamparan tanaman jagung yang kini terendam air. Hatinya terasa sesak. Seluruh jerih payahnya selama beberapa bulan terakhir musnah dalam sekejap. “Kau lihat sendiri, Hamzah,” ujar Hasan yang kebetulan lewat. “Usahamu sia-sia. Kalau saja kau mau mendengarkan kami, kau tidak akan menderita seperti ini.”
Hamzah menghela napas panjang. “Rezeki itu bukan hanya soal hasil, Hasan. Prosesnya pun akan dihitung oleh Allah. Mungkin kali ini aku belum berhasil, tapi aku yakin Allah punya rencana yang lebih baik. "Hasan tertawa mengejek. “Rencana Allah? Kau benar-benar naif, Hamzah.”
Hamzah memilih diam. Dalam hatinya, ia terus berdoa agar diberi kesabaran menghadapi ujian ini.
Pencerahan di Tengah Kegelapan

Keesokan harinya, Hamzah memutuskan pergi ke masjid untuk mencari ketenangan. Di sana, ia bertemu dengan Ustaz Karim, seorang ulama yang dihormati di desanya. Setelah salat, Hamzah menceritakan semua kesedihannya.

“Ustaz, kadang saya merasa lelah. Saya sudah berusaha sekuat tenaga, tapi hasilnya tetap saja tidak memuaskan. Apakah ini tanda Allah tidak meridai usaha saya?” tanya Hamzah dengan suara bergetar.

Ustaz Karim tersenyum bijak. “Hamzah, ingatlah bahwa Allah tidak melihat hasil akhir semata, tapi juga niat dan usaha kita. Ada sebuah hadis yang perlu kau ingat: ‘Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bekerja keras dan bersungguh-sungguh.’ (HR. Al-Baihaqi). Jangan pernah menyerah, karena kerja kerasmu adalah ibadah. Hasilnya akan datang di waktu yang tepat. 

Kata-kata Ustaz Karim membekas dalam hati Hamzah. Ia kembali merenungi perjalanan hidupnya. “Kalau Allah mencintai hamba yang bekerja keras, maka aku tak punya alasan untuk berhenti,” pikirnya.

Hari-hari berikutnya, Hamzah mulai bangkit. Meski ladangnya rusak akibat banjir, ia tak membiarkan kesedihan berlarut-larut. Ia membersihkan puing-puing yang tertinggal di ladang, mengganti bibit yang hilang, dan mulai menanam ulang dengan sisa benih yang ada. Ia tak mengeluh, meskipun kini pekerjaannya jauh lebih berat dari sebelumnya.

Namun, cobaan tidak berhenti di situ. Harga pupuk melonjak tinggi di pasar, sementara uang tabungan Hamzah sudah hampir habis. Ia pun mendatangi Pak Darman, seorang saudagar kaya yang terkenal sering meminjamkan uang dengan bunga tinggi.

“Pak Darman,” ujar Hamzah, “saya butuh pinjaman untuk membeli pupuk. Insya Allah, saya akan mengembalikan setelah panen nanti.”

Pak Darman tertawa kecil. “Tentu bisa, Hamzah. Tapi kau tahu aturannya, bukan? Aku tidak memberikan pinjaman secara cuma-cuma. Ada bunga yang harus kau bayar.”

Hamzah terdiam. Hatinya bergejolak. Ia tahu, meminjam uang dengan bunga adalah riba, sesuatu yang jelas-jelas dilarang dalam Islam. Tapi bagaimana ia bisa melanjutkan usahanya tanpa modal?

Setelah berpikir panjang, Hamzah memutuskan untuk menolak tawaran Pak Darman. “Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerima syarat itu. Saya lebih memilih mencari jalan lain yang lebih diridai Allah.”

Pak Darman mendengus kesal. “Kau ini keras kepala, Hamzah. Hidup tidak akan berubah kalau kau terus bertahan dengan idealismemu!”

Hamzah hanya tersenyum tipis. “Biar sedikit, asalkan halal dan berkah.”

Keajaiban Datang

Di tengah kesulitan itu, Allah memberi jalan. Suatu pagi, Hamzah bertemu dengan seorang petani tua bernama Pak Ahmad di pasar. Pak Ahmad, yang sudah lama mengenal Hamzah, tergerak oleh ketulusan pemuda itu.

“Hamzah, aku punya sisa pupuk yang tidak terpakai. Kalau kau mau, ambillah saja. Anggap ini bantuanku untuk perjuanganmu,” ujar Pak Ahmad.

Hamzah tak kuasa menahan haru. “Terima kasih, Pak Ahmad. Semoga Allah membalas kebaikan Bapak dengan keberkahan yang melimpah.”

Dengan pupuk itu, Hamzah kembali bekerja di ladangnya. Ia mengolah tanah dengan penuh semangat, seakan-akan semua ejekan dan kesulitan yang ia hadapi tidak pernah terjadi. Dalam hatinya, ia terus berdoa agar usahanya kali ini membuahkan hasil.

Beberapa bulan kemudian, saat musim panen tiba, ladang Hamzah berubah menjadi hamparan hijau yang subur. Jagung-jagung yang ia tanam tumbuh besar dan sehat. Hasil panennya bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya.

Kabar tentang keberhasilan Hamzah menyebar ke seluruh desa. Banyak orang yang sebelumnya meremehkan Hamzah kini mulai mendatangi ladangnya. Bahkan Hasan, yang dulu paling sering mengejeknya, datang untuk meminta maaf.

“Hamzah, aku salah menilaimu. Kau benar, rezeki yang halal memang lebih baik. Ajari aku caranya, supaya aku juga bisa hidup lebih tenang seperti dirimu,” ujar Hasan dengan nada penuh penyesalan.

Hamzah tersenyum hangat. “Tentu, Hasan. Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Mulailah dengan niat yang baik, lalu bekerja keras. Insya Allah, Allah akan memberikan jalan.”

Keberkahan yang Meluas

Keberhasilan Hamzah menjadi inspirasi bagi banyak pemuda di desanya. Perlahan, mereka mulai meninggalkan kebiasaan buruk seperti berjudi dan meminjam uang dengan riba. Sebaliknya, mereka belajar untuk mengolah ladang dan berdagang dengan cara yang jujur. Desa yang sebelumnya dipenuhi kemalasan dan keputusasaan kini berubah menjadi desa yang penuh semangat kerja dan keberkahan.

Hamzah sendiri merasa bersyukur atas semua yang telah ia lalui. Ia sadar, semua keberhasilan itu bukan semata-mata hasil kerja kerasnya, tapi juga doa dan kepercayaan kepada Allah. Hadis yang menjadi pedomannya selama ini terbukti benar: kerja keras yang dilandasi niat baik akan membawa keberkahan.

Setiap pagi, saat melangkah ke ladangnya, Hamzah selalu berbisik dalam hati: “Ya Allah, jadikan peluh ini sebagai saksi atas ibadahku kepada-Mu. Berikanlah keberkahan pada setiap usaha yang kulakukan, agar tidak hanya aku, tapi juga orang-orang di sekitarku bisa merasakan nikmatnya rezeki dari-Mu.”Keberhasilan panen Hamzah menjadi buah bibir di desa. Banyak orang memuji kesabarannya, tetapi Hamzah tahu betul bahwa ini bukan semata-mata hasil usahanya. Ia menyadari ada campur tangan Allah di setiap langkah yang diambilnya.

Namun, perjalanan hidup tidak pernah sepenuhnya mulus. Ujian lain datang menghampiri ketika harga hasil panennya anjlok di pasar. Banyak pedagang dari desa tetangga menjual hasil tani mereka dengan harga lebih murah karena menggunakan pupuk dan pestisida subsidi ilegal.

“Hamzah, kalau kau tidak ikut menjual dengan harga seperti mereka, jagungmu tidak akan laku,” ujar salah satu pedagang di pasar.

Hamzah menggeleng tegas. “Aku tidak akan menjual hasil panen dengan harga yang merugikan petani lain atau cara yang tidak benar. Lebih baik aku sabar mencari pembeli yang jujur.”

Teman-temannya kembali mencibir. “Hamzah ini memang aneh. Dia punya hasil panen bagus, tapi tetap saja sulit mendapat untung. Apa gunanya bekerja keras kalau tidak pandai memanfaatkan peluang?”

Hamzah diam, menelan semua komentar pedas itu dengan hati lapang. Ia tetap yakin bahwa Allah akan memberinya jalan terbaik.

Pertolongan yang Tak Terduga
Suatu sore, saat Hamzah sedang memikirkan cara memasarkan jagungnya, seorang pria berpakaian rapi datang ke ladangnya. Pria itu memperkenalkan diri sebagai Ridwan, seorang pengusaha yang sedang mencari pemasok jagung organik untuk usaha pengolahan makanan sehat.

“Saya mendengar dari Pak Ahmad bahwa jagung yang Anda tanam berkualitas tinggi dan ditanam tanpa bahan kimia berbahaya. Apakah Anda tertarik untuk bekerja sama dengan perusahaan kami?” tanya Ridwan.

Hamzah terkejut, tetapi ia segera menjawab, “Alhamdulillah, tentu saja saya bersedia. Namun, jagung saya tidak sebanyak petani lain.”

Ridwan tersenyum. “Tidak masalah, Pak Hamzah. Yang penting adalah kualitas dan kejujuran Anda.”

Kerja sama itu menjadi titik balik bagi Hamzah. Kini, hasil panennya tidak hanya laku terjual, tetapi juga dihargai lebih tinggi karena kualitasnya. Pendapatannya meningkat, dan ia mampu memperbaiki ladangnya serta membantu ibunya lebih banyak.

Dampak Keberkahan
Keberhasilan Hamzah kembali menginspirasi penduduk desa. Para petani mulai meninggalkan cara-cara curang seperti menggunakan pupuk ilegal atau menekan harga pasar. Mereka belajar dari Hamzah bahwa kejujuran dan kerja keras selalu membawa hasil yang lebih baik.
Salah satu yang paling terpengaruh adalah Hasan. Setelah melihat perubahan Hamzah, ia memutuskan untuk meninggalkan perjudian dan mulai belajar bertani.
“Hamzah, aku ingin berubah. Maukah kau membantuku belajar bertani seperti yang kau lakukan?” tanya Hasan suatu hari.
“Tentu, Hasan. Aku senang bisa berbagi ilmu. Kita bisa bekerja sama agar desa ini semakin makmur,” jawab Hamzah dengan senyum lebar.
Hari demi hari, Hamzah tidak hanya bekerja untuk dirinya sendiri, tetapi juga membantu para petani di desanya. Ia membentuk kelompok tani kecil, mengajarkan teknik bercocok tanam yang lebih baik, serta mengingatkan mereka untuk selalu melibatkan Allah dalam setiap usaha.
Puncak Keberkahan
Tahun berganti, desa kecil tempat Hamzah tinggal kini berubah menjadi desa yang subur dan penuh keberkahan. Penduduknya tidak hanya lebih sejahtera secara ekonomi, tetapi juga lebih harmonis karena mereka saling membantu dan mengedepankan nilai-nilai kejujuran. Hamzah tidak lagi hanya dikenal sebagai petani sederhana, tetapi juga sebagai pemimpin yang dihormati. Ketika ia ditanya tentang rahasia keberhasilannya, jawabannya selalu sama:
“Peluh, doa, dan keyakinan kepada Allah. Ketika kita bersungguh-sungguh dalam usaha dan menyerahkan hasilnya kepada Allah, keberkahan akan datang dengan cara yang tidak pernah kita duga.”

Hamzah menyadari bahwa rezeki bukanlah soal seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa besar manfaatnya bagi orang lain. Dan ia bersyukur, peluh yang ia cucurkan selama ini bukan hanya menjadi saksi amalnya, tetapi juga menjadi jalan untuk menyebarkan keberkahan ke seluruh desa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun