Logo kemerdekaan Indonesia ke 75 tahun belakangan memancing kontroversi. Ada kalangan yang melihat wujud salib, pada Grafis pendukung yang mengiringi penyajian logo 75 tahun Indonesia, namun banyak pula yang menganggap grafis tersebut normal dan keberadaan salib tersebut tidak ditujukan sebagai suatu campaign keyakinan tertentu. Bagaimana bisa masyarakat Indonesia memaknai berbeda suatu konfigurasi icon identitas yang sama? Mari kita bahas secara singkat!
Seorang individu akan memberikan makna terhadap suatu hal berdasarkan Frame of Reference-nya dan Field of Experience-nya, atau bahasa gampangnya berdasarkan pengalaman dan sudut pandang pengetahuannya. Misalnya yang paling sering terjadi di Jawa Timur, kata "jancuk" memiliki pengertian yang berbeda, terutama jika berdasarkan tempat tumbuh seorang individu. Bagi orang yang tumbuh di daerah Surabaya, "jancuk" adalah istilah persahabatan, "cuk" bisa juga menjadi sebagai kata ganti panggilan "rek" atau "hai". Namun Jika kata "jancuk" ini bisa berarti umpatan kasar jika didengar oleh masyarakat Jawa Timur bagian barat seperti Kediri, Tulungagung, dan kerabatnya.
Nah, apa hubungannya antara penggunaan suatu kata dengan gambar? Pada dasarnya Logo, icon dan warna adalah perwujudan bahasa. Misal, pada budaya Indonesia, warna merah berarti berani; pada budaya India, merah adalah simbol bagi wanita yang telah menikah; sementara dalam budaya tiongkok, merah justru berarti keberuntungan dan kebahagiaan; di tempat lain, pada beberapa daerah di Afrika, merah adalah warna kematian. Nah, satu warna saja bisa mengkomunikasikan pesan yang berbeda berdasarkan budayanya, apalagi jika keberadaan icon dan simbol juga dilibatkan, maka akan makin kompleks proses pemaknaan manusia akan suatu bahasa visual.
Perbedaan pemahaman bahasa visual ini disebut sebagai Interaksionisme Simbolik, salah satu teori sosiologi. Teori ini memiliki premis bahwa manusia membentuk makna melalui proses komunikasi, dan kemudian makna atas simbol yang telah terbentuk kemudian digunakan sebagai tolak ukur pemaknaan simbol sejenis. Dengan kata lain, ini adalah kerangka acuan untuk lebih memahami bagaimana individu berinteraksi satu sama lain untuk menciptakan dunia simbolik, dan sebagai gantinya, bagaimana dunia ini membentuk perilaku individu.
Nah, gimana? Makin Bingung? Intinya adalah, seorang individu memaknai suatu simbol berdasarkan pengetahuan dan ideologinya. Pengetahuan dan ideologi tersebut dibangun oleh individu tersebut sejak mereka mulai belajar berkomunikasi. Sehingga, wajar saja jika masyarakat Indonesia memaknai Supergraphic 75 tahun Indonesia ini secara berbeda, mengingat negara kita memiliki beragam budaya dan ideologi, dan dalam satu ideologi-pun memiliki cabang-cabang yang juga beragam, itulah Indonesia.
SuperGraphic 75 tahun indonesia, haruskah disusun begitu?
Sebelum kita menginjak pembahasan penyusunan Icon SuperGraphic, baiknya kita kenalan dulu, si Super ini sebenarnya apaan si? Supergraphic adalah adalah elemen pendukung pembentuk identitas yang dapat digunakan sebagai ciri khas dari brand. Aplikasi dari SuperGraphic ini bisa berupa warna, icon, maupun seni instalasi. SuperGraphic 75 tahun Indonesia sendiri terdiri dari 10 set icon yang masing-masing memiliki arti fokus, kemajuan, global, merata, kokoh, progres, efisien, gotong royong, maritim, dan berkembang. Icon pembentuk SuperGraphic ini sendiri merupakan turunan dari tema besar peringatan ulang tahun Indonesia ke 75, tahun ini.
Jika kita membaca pendoman Identitas Visual 75 tahun kemerdekaan Indonesia, penyusunan icon SuperGraphic ini sendiri tidaklah paten, namun bisa disesuaikan dengan kebutuhan designer dan masyarakat dalam memeriahkan kemerdekaan Indonesia. Kegaduhan yang terjadi di masyarakat belakangan ini sebenarnya tidak substantif, lebih karena reaktif dan tidak mencari tahu lebih jauh akan informasi yang diterima. Suatu kondisi yang sudah lama diidap oleh masyarakat Indonesia, yaitu malas mencari informasi yang utuh.
 Generasi Theta terbiasa menerima informasi matang
Jika dikaji lebih jauh, kecenderungan Orang Indonesia yang malas mencari Informasi utuh di era teknologi informasi ini sebenarnya juga merupakan suatu hasil pengkondisian menahun yang dilakukan oleh Orde Baru. Pada masa orde baru, semua informasi yang diterima Masyarakat adalah informasi matang yang harus ditelan. Masyarakat saat itu (Generasi Theta, Muhammad Faisal- Youth laboratory Indonesia) tidak diberikan kesempatan untuk berpendapat berbeda dengan pemerintah. Sangat mungkin kebiasaan menerima informasi matang tersebut dan memaksakan pemahaman pribadi kepada orang lain terbawa hingga saat ini.
Kesimpulan
Harus diakui setiap orang memiliki latar belakang yang berbeda, sehingga dalam membaca tanda dan bahasa pasti memiliki perbedaan. Perbedaan dalam memahami suatu icon, warna, dan tanda seharusnya tidak menghasilkan perpecahan, namun harus disikapi dengan empati serta intelektualitas. Empati yang kuat serta mental untuk tidak mudah percaya informasi parsial merupakan modal kita menjadi bangsa yang dewasa. Kita sudah 75 tahun merdeka dari penjajahan negara lain, namun patut disadari, saat ini kita belum bebas dari illiteracy.
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H