Cantik, sebuah kata yang tidak pernah terlepas dari citra seorang wanita Indonesia. Pesona kecantikan wanita tidak hanya terpancar dari paras yang sedap di pandang, kulit yang putih, tubuh yang harum, dan juga penampilan yang menarik. “Namun, kecantikan seorang wanita akan lebih menonjol ketika ia memiliki potensi diri yang baik, mampu menginspirasi, dan pastinya mau berbagi pada lingkungan sekitarnya,” kata Yani membuka perbincangan kami di malam itu.
[caption id="attachment_366592" align="aligncenter" width="300" caption="Ariyani, Inspirator Muda Pendidikan Moral"][/caption]
Berawal dari social media instagram, secara tidak sengaja saya berkenalan dengan wanita berparas hijab ini. Pertemuan pertama kami sekitar tiga minggu yang lalu. Namun, dari cerita kegiatan sehari-hari Yani di rumah belajar kelolaannya membuat saya tertarik untuk mengisahkan pengalaman beliau dan membagi cerita ini kepada para pembaca kompasiana.
Gadis pemilik nama lengkap Ariyani ini merupakan sarjana Pendidikan Fisika di Universitas Negeri Medan (UNIMED). Yani adalah sosok wanita sederhana yang memiliki mimpi besar bagi pendidikan Indonesia, dan pergerakannya ia mulai dari Kota Medan.
Baginya pendidikan ibarat unsur hara dalam tanah. “Yang membentuk benih menjadi tunas adalah unsur hara. Meskipun ada unsur matahari yang berperan, namun hal utama yang mendukung benih tersebut untuk tumbuh adalah unsur hara tadi,” ungkap Yani, gadis berusia 25 tahun ini.
Yani sadar sebagai seorang wanita Indonesia, kelak ia akan memiliki anak dan menjadi seorang ibu dan pendidikan adalah modal dalam membentuk karakter seorang anak yang berkualitas. “Peran wanita itu sangat kompleks, sebagai wanita kita harus mampu mengerjakan banyak hal dalam satu waktu apalagi kelak nanti menjadi seorang ibu yakni, sebagai pendidik yang baik, pendamping sempurna, pahlawan super, independen, dan inspirator” tuturnya menjelaskan kepada saya bahwa untuk menjadi wanita itu harus cerdas dan juga tangguh tanpa harus banyak mengeluh.
[caption id="attachment_366586" align="aligncenter" width="300" caption="Belajar Mewarnai Melalui Media Tangan"]
Menurutnya, seorang wanita yang kelak akan menjadi ibu dari anak-anak mereka, harus mengetahui bagaimana cara mendidik seorang anak, sebab kualitas generasi penerus ada ditangan para wanita Indonesia. Ia juga mengatakan bahwa wanita adalah sebagai supporter important, dimana wanita tidak perlu menjadi garis terdepan untuk mengambil sebuah peran, cukup menjadi sesuatu yang sederhana tapi memberikan dampak besar bagi lingkungan.
“Bagi saya berkecimpung di dunia pendidikan melalui rumah belajar ini adalah hal yang sederhana, tapi dapat membuat perubahan besar bagi bangsa ini. Dan kegiatan yang saya lakoni saat ini juga tidak terlepas dari peran saya sebagai wanita Indonesia, yaitu seorang pendidik,” jelasnya mencoba merubah wacana berfikir saya.
Berbekal ilmu keguruan yang ia dapatkan saat sarjana dulu membuatnya semakin yakin melangkah untuk menekuni dunia pendidikan sebagai modal dalam mengubah karakter anak bangsa. Yani bercerita kepada saya bahwa pengalaman buruk yang dialaminya saat berkendara di jalan raya menyadarkan ia untuk membuat suatu pergerakan sosial yang fokus pada pembentukan karakter anak.
“Saat itu saya lagi naik motor dan tiba-tiba ada pengendara lain yang meludah, lalu mengenai saya. Di situ saya berfikir, kenapa ada orang yang tidak sesopan ini dan sangat sembarangan,” ungkapnya kesal saat mengenang kejadian itu.
Dari kejadian tersebut Yani jadi berfikir, “Nanti aku mati bawa apa? Generasiku gimana? Terus anak aku gimana nanti masa depannya? Masa nanti anak aku bawa motor dan buang ludah sembarangan di jalan. Mikirnya lebih ke sana. Lebih ke arah kehidupan yang aku tinggalkan.”
Pengalaman dan pemikiran inilah yang membuatnya tersadar dan kemudian timbul keinginan yang sangat kuat untuk membuat suatu gerakan sosial. “Awalnya saya tidak tahu mau bergerak dari mana memulai niat ini. sampai pada suatu hari saya berkenalan dengan seorang teman di warung bakso tempat saya magang saat itu. Dari dia saya nyemplung di dunia LSM,” ungkap gadis pengidap bronchitis ini.
[caption id="attachment_366588" align="aligncenter" width="300" caption="Foto Bersama Anak-anak Pinggiran Rel Kereta Api"]
Selama satu bulan di dunia Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anak-anak marjinal, Yani mendapatkan pengalaman dengan kehidupan anak-anak pinggiran rel kereta api dan sungai Deli. Ia mengaku bahwa keterlibatannya di LSM tersebut malah semakin menguatkan kesadarannya untuk berbuat lebih daripada LSM itu lakukan.
“Di LSM ini yang kami lakukan memang pergerakan mendidik, tapi pendidikan yang diberikan ke anak-anak sama seperti pendidikan moral di sekolah formal, seperti pelajaran PPKN, sejarah, dan sedikit kelas kreasi. Bukan ke arah pembentukan karakter moralnya,” papar Yani anak kedua dari tiga bersaudara ini.
Baginya pendidikan moral layaknya pembentukan mesin yang akan mendorong bagaimana seseorang berucap, merespon, bersikap dan bertindak. Pendidikan moral menjadi penting karena disanalah penanaman nilai-nilai kehidupan terjadi, seperti pemberian pandangan, pembentukan pola pikir, dan cara bertindak dalam berbagai jenis nilai kehidupan. Adapun nilai kehidupan tersebut yakni, nilai-nilai kepedulian, kejujuran, toleransi, menghargai, dan tanggung jawab.
“Merubah orang yang melakukan perilaku buruk di depan kita, itu tidak mungkin. Tapi yang bisa dilakukan adalah berbuat sesuatu untuk memperbaiki attitude yang sangat buruk ini di generasi selanjutnya. Karena saya sadar saya wanita yang akan memiliki buah hati. Dan sangat sakit rasanya jika generasi selanjutnya berperilaku seperti orang yang terdahulu,” papar gadis dari pasangan suami istri pemilik warung nasi di Jl. Kayu Putih no. 204, Mabar ini.
Akhirnya pada 29 Desember 2011, gadis berkacamata ini mendapat funding dari Korea dan memulai pergerakan sosialnya melalui rumah belajar Asian-African Destitute Relief Foundation (ADRF) Indonesia. Setelah tiga tahun mengelola rumah belajar ADRF, Yani menuturkan kembali bahwa lagi-lagi ada rasa belum puas dari apa yang dikerjakannya. “Terinspirasi dari perjalanan di Jakarta saat dapat tugas dari ADRF untuk studi banding dan kembali ke Medan dengan misi yang baru. Karena begitu kayanya Indonesia dengan budaya, ilmu, dan alam,” ungkap Yani.
[caption id="attachment_366589" align="aligncenter" width="300" caption="Para Siswa Kelas Dewantara"]
Melalui perjalanannya ini kemudian tergagaslah Kelas Dewantara dengan konsep nilai budaya Indonesia. Yani yakin bahwa tanpa harus bergantung dengan dana Korea dan membuat pergerakan yang independen akan lebih memudahkan ia dan teman-teman seperjuangannya menerapkan pendidikan moral asli Indonesia.
Pada 2 Mei 2015 merupakan momentum Hari Pendidikan yang dipilih Yani sebagai momen tepat untuk awal dari pergerakan pendidikan moral bagi anak Kota Medan. Maka dari itu, Yani melalui Yayasan Medan Generasi Indonesia (MGI) menamakan rumah belajar gagasannya dengan sebutan Kelas Dewantara.
“Saya pilih nama ini karena terinspirasi dari kelahiran Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan. Beliau adalah sosok yang menjadi inspirasi untuk membuat kegiatan berkelanjutan. Harapannya MGI ini menjadi continue action dan lahir regional MGI di seluruh Indonesia,” ungkap Yani penuh tekad besar.
Saat ini MGI memiliki 10 orang sukarelawan dengan 28 anak binaan dan berlangsung lima hari dalam seminggu yakni, hari Senin hingga Jumat. Ada tiga kelas yang dibuka dan satu kelasnya terdiri dari dua sesi yakni, pendidikan matematika dan bahasa Inggris.
“Bagaimana mampu berhitung cepat dan mengaplikasikan rumus-rumus matematika dalam kehidupan sehari-hari merupakan basis pelajaran matematika. Begitu juga dengan bahasa Inggris. Anak-anak tidak diajarkan menghafal vocab, melainkan bagaimana mereka berani menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi,” papar Yani yang berhasil merubah wacana berfikir saya tentang konsep pendidikan di Indonesia.
[caption id="attachment_366590" align="aligncenter" width="300" caption="Berlajar Sambil Bermain"]