Berlanjut ke PT London Sumatera (Lonsum) yang dahulunya dikenal dengan sebutan Juliana Building ini berdiri ppada tahun 1906. Bangunan ini memiliki empat lantai dengan interior khas Eropa dan memiliki lift yang mana merupakan lift pertama yang ada di Kota Medan. Tidak kalah dengan bangunan Bank Mandiri, bangunan yang biasa dikenal dengan sebutan Gedung Lonsum ini juga memiliki keunikan tersendiri yakni, lift tua berbahan besi dengan menggunakan sistem katrol dan ini masih berfungsi sehat hingga kini. Gedung Lonsum merupakan pemilik dari Horrison dan Crossfield, merupakan Perusahaan Perkebunan Swasta pertama di Kota Medan dan saat ini juga masih berfungsi sama. Sama dengan Kantor Pos dan Gedung Bank Indonesia, Gedung Lonsum dapat diakses pada hari dan jam kerja.
[caption id="attachment_330554" align="aligncenter" width="481" caption="Waren Huis"]
Selanjutnya kami berjalan kembali menuju Gedung Waren Huis yang berada beberapa meter di belakang Gedung Lonsum. Gedung yang diresmikan oleh Daniel Bawon Mackay, merupakan Walikota Medan pertama yang melakukan peletakan batu pertama di bangunan tersebut. Gedung ini didirikan sejak tahun 1919, merupakan super mall di Kota Medan pada zaman dahulu. Saat ini kondisi Gedung Waren Huis sangat memprihatinkan sebab banyak bagian dari gedung ini sudah mulai rusak, baik atap, jendela, hingga interior gedung. Namun, gedung ini masih berfungsi sebagai Kantor AMPI cabang Medan Barat. Jadi, tidak ada syarat khusus untuk mengakses Gedung Waren Huis ini.
[caption id="attachment_330555" align="aligncenter" width="542" caption="Pasr Hindu"]
Napak tilas kami lanjutkan menuju Pasar Hindu, yang terletak di ujung Jalan Hindu. Pasar Hindu memiliki nama latin yakni, Oude Markt/Huttebachstraat/Moskeestraat memiliki nuansa warna hijau pada kios-kios mini yang terdapat di pasar tersebut. Kawasan yang berjarak sekitar 50 meter dari Gedung Waren Huis ini juga sudah termasuk cagar budaya yang dilindungi Pemerintah Kota (Pemko) dan berkerjasama dengan PT Jamsostek. Kawasan ini juga terbentuk oleh Pasar Lama dan Masjid Tua yang dikenal dengan sebutan Masjid Lama Gang Bengkok.
Melalui Pasar Hindu hingga ke bagian belakang pasar, kami menelusuri jalan hingga menuju ke Masjid Lama Gang Bengkok. Memang benar bahwa Pasar Hindu dan Masjid Lama Gang Bengkok merupakan satu kawasan yang terhubung dan lintasan ini terdiri dari komplek rumah penduduk, baik ras pribumi, Tionghoa dan India. Masjid Lama Gang Bengkok yang sudah berusia 50 tahun lebih ini masih kokoh berdiri dan sangat terawat oleh nazir masjidnya.
[caption id="attachment_330557" align="aligncenter" width="1024" caption="Masjid Lama Gang Bengkok"]
Masjid tersebut dibangun pada masa pemerintahan Sultan Makmun Al Rasyid pada tahun 1890 dan berdiri di atas tanah yang diwakafkan Datuk Haji Muhammad Ali, Nazir/Imam pertamanya adalah Syekh H.Muhammad Ya’Qub (1894-1910). Biaya utama pembangunan masjid ini diperoleh dari Tjong A Fie yang merupakan saudagar terkaya di Medan pada masa dulu. Dari informasi yang didapatkan melalui nazir masjid, keunikan bangunan ini yakni, gaya arsitektur yang memiliki tiga unsur budaya, diantaranya Melayu, Arab dan Tionghoa. Melayu, tampak dari ornamen utama interiornya dan mimbar masjid. Arab, terlihat dari bentuk menara berlantai lima dan Tionghoa, ini tampak dari empat pilar utama yang terdapat di dalam masjid yang menyerupai bentuk pilar yang ada di rumah kediaman Tjong A Fie.
Selepas beristirahat sebentar dan beribadah solat di Masjid Lama Gang Bengkok, saya bersama teman-teman melanjutkan kembali perjalanan menuju situs terakhir yakni, kediaman Tjong A Fie yang terletak di Jl. Ahmad Yani, Medan. Berdiri tahun 1900, kediaman Tjong A Fie yang bergaya arsitektur Tiongkok Kuno dengan jumlah ruangan terdiri dari 21 kamar ini sangat khas dengan nuansa warna hijau dan merahnya. Keberuntungan kami yang sempat bertemu dengan Pak Fon yang merupakan salah satu cucu kandung dari mendiang Tjong A Fie dan sempat juga berdiskusi sebentar tentang pentingnya melestarikan kearifan budaya lokal.
[caption id="attachment_330558" align="aligncenter" width="600" caption="Diskusi di Tjong A Fie"]
Setelah bercerita dengan Pak Fon, saya bersama teman-teman diajak berwisata ke dalam kediaman Tjong A Fie yang sangat fenomenal tersebut dengan biaya tiket masuk Rp. 35.000 dan sudah mendapat buku panduan sejarah singkat Tjong A Fie Mansion. Tjong A Fie adalah seorang jutawan pertama di Sumatera yang wafat karena sakit akibat harga komoditi perkebunannya anjlok. Tjong A Fie juga sangat menghargai Kesultanan Deli pada masa itu dan hal ini tampak dari salah satu desain ruangan tamu yang sengaja Tjong A Fie buat demi menghormati Sultan Deli. Ruang tamu ini ia desain dengan gaya arsitektur Melayu agar Sultan Deli nyaman saat berkunjung ke kediaman beliau.