Lalu Nabi Musa mengatakan, "Tuhan semesta alam yaitu Rabbukum wa Rabbu abaikum al-awwalin. Tuhanmu adalah Tuhan nenek moyangmu terdahulu".
Dengan jawaban ini para pengikut Firaun mulai berfikir. Apabila Fir'aun ini Tuhan, lalu siapa yang menjadi tuhan dari nenek moyangnya terdahulu. Logika ini cukup mengena dan pikiran mereka mulai kacau.
Ini artinya apa? bahwa Syarthud Da'i (syarat menjadi pendakwah) adalah Quwwatul Hujjah, yaitu memiliki kekuatan argumentasi.
Merasa dikalahkan oleh Nabi Musa, Firaun menjadi marah dan tak mau menyerah. Dia mengancam "jika engkau menyembah tuhan selain aku, maka akan aku masukkan engkau ke dalam penjara".
Ketika Firaun dalam kondisi marah dan mengancam seperti ini, rupanya Allah tidak rela seandainya Nabi Musa dikalahkan. Nah, dalam keadaan seperti inilah baru memakai kekuatan (mukjizat) untuk menghadapi Firaun.
Jadi dalam kisah itu ada urutannya. Tapi orang-orang hanya cerita (tentang) mukjizatnya saja.
Umumnya, dalam membaca kisah ini kita memang hanya melihat kemukjizatannya saja. Tidak mudah memang, dapat menggali makna yang sedemikian dalam, tetapi harus membaca ayat-ayat terkait secara komprehensif, dan butuh dzauq (pengamatan) yang salim (sehat). Lebih-lebih kisah Nabi Musa ini dalam Al-Qur'an tersebar di berbagai surat dan 'terulang' beberapa kali.
Meski pada akhirnya Firaun tetap kalah, namun proses dakwah ala Nabi Musa ini, tak boleh kita abaikan. Dalam bermasyarakat, kita harus aktif dalam mendidik orang sekitar, dan tak mudah emosi apabila melihat suatu kemunkaran yang jangan-jangan akibat kelalaian kita yang tidak menasehati mereka.
Secara umum, suatu apapun jangan kita abaikan prosesnya, sebagai mana dawuh Imam Ghazali:
"Orang yang mengenalku ketika berproses dalam hidup, maka dia temanku. Tetapi jika hanya melihatku saat aku jadi tokoh besar saja, maka dia zindiq."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H