Setiap orang yang mencari kerja tentunya tidaklah munafik jika menakar besaran gaji yang akan diterima. Namun seringkali pula "putra daerah" yang bukanlah penghuni Ibu Kota silau dengan tawaran gaji yang nampak wah tanpa memperhitungkan effort dalam memperolehnya. Effort tersebut sesungguhnya adalah sebuah biaya samar yang harus diperhitungkan.Â
Oleh karena itu, ada baiknya seorang lulusan baru menakar kepantasan gaji tersebut tidak hanya dari nominal tetapi juga berdasarkan kota tempat bekerja, biaya hidup di kota tersebut, dan biaya lainnya yang tidak nampak seperti biaya pulang untuk mengobati rindu, biaya menyewa kamar kos karena jauh dari keluarga, dan bahkan biaya gaya hidup di lingkungan sekitar.
Ketika mendatangi job fair maupun membuka laman iklan lowongan online mungkin cukup sulit bagi lulusan baru untuk mencari pekerjaan yang sesuai passion (atau ambisi?) di kota tempat tinggal asal.Â
Mayoritas pekerjaan yang wah (baik dari segi ekspektasi maupun realita) tersedia di Ibu Kota atau segelintir kota besar lainnya. Alhasil, merantau adalah salah satu alternatif untuk mendapatkan pekerjaan impian yang terkadang tak seindah kenyataan.
Ibu Kota dan sektor keuangan adalah dua sejoli yang menjadi primadona bagi lulusan baru. Tak jarang sarjana ekonomi harus bersaing ketat dengan sarjana fakultas lain untuk mendapatkan kursi di bidang tersebut.Â
Hal pertama yang harus dipertimbangkan ketika memilih pekerjaan (sebelum akhirnya terjebak), perhitungkanlah berapa harga menyewa kos per bulannya yang layak untuk dihuni. Berbeda dengan kos mahasiswa di daerah, harga kos di ibukota mayoritas saat ini sudah di atas Rp 1.000.000,-.Â
Saat ini sudah banyak tersedia platform penyedia jasa kos-kosan yang beredar di playstore untuk memudahkan calon penghuni Ibu Kota dalam memilih tempat tinggal nantinya. Menyurvei kos untuk dihuni tentunya juga diikuti dengan menyurvei biaya transportasi untuk pergi ke kantor.Â
Kedua, setelah memilih berjauhan dengan keluarga, lakukan juga perhitungan berapa uang yang akan kita habiskan untuk membeli makan baik membeli di warteg, masak sendiri dengan rice cooker mini, atau catering harian. Setelah menghitung fixed cost tersebut, hitung sisanya, apakah cukup ditabung untuk biaya pulang paling tidak dua kali setahun.
Sebagai tambahan, biaya pulang kampung seringkali tidak hanya bicara biaya transportasi, tetapi juga biaya reuni dengan teman lama, memberi rezeki untuk adik-adik di kampung halaman, dan juga untuk memberi orang tua kita jika yang ingin mewujudkan baktinya dalam sebentuk sisa gaji.
Biaya lainnya yang seringkali tidak nampak adalah biaya pergaulan karena kesepian dan biaya gaya hidup. Sungguhlah sulit untuk tidak meng-upgrade kemewahan ketika sudah mendapatkan gaji sendiri.Â
Awalnya berangkat bermodal tas yang cukup Rp 200.000,- di department store terbesar di kota asal menjadi tidak cukup ketika bergaul dengan rekan kerja dan tim sosialita lainnya.Â
Dulunya tidak mengenal skin care, branded outfit, dan high-end gadget jadi "terpaksa" kenal karena lingkungan dan seems like tuntutan pekerjaan. Bahkan yang paling akhir ini seringkali menjadi proporsi cukup besar dalam sebuah gaji.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi "adik-adik"putra daerah supaya tidak kaget ketika merantau di kota lain khususnya di Ibu Kota. Bukan menggambarkan ketidakcukupan, tetapi pertimbangkan juga pengelolaan gaji dari awal karena mahalnya biaya di ibukota adalah sebuah keniscayaan bagi penghuni baru terutama yang berasal dari daerah yang biaya hidup kota asalnya terkenal murah.
Selamat berjuang!! :)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H