Konstitusi dianggap sebagai manifestasi dari sebuah pengakuan keyakinan yang menyatakan cita-cita bangsa atau disebut sebagai charter of the land. Mereka yang menyusun konstitusi di negaranya seringkali dihadapkan pada permasalahan di mana sulitnya mencapai konsensus mengenai praktik terbaik yang hendak diterapkan.Setiap bangsa dan  peradaban mempunyai karakter masing-masing yg unik. Karakter ini terbentuk sesuai sejarah serta perkembangan budaya masyarakatnya. Bahkan setiap bangsa mempunyai karakter dan  kualitas tersendiri yang secara intrinsik tidak terdapat yang bersifat superior satu sama lainnya. Hal yang sama terjadi di pembentukan sistem hukum yg memiliki kaitan erat menggunakan budaya masyarakatnya. aturan tidak lahir asal suatu tindakan bebas, tetapi dibangun serta bisa ditemukan pada dalam jiwa masyarakat.
Konstitusi merupakan  jantung dan jiwa bangsa. Konstitusi memberi tahu kita apa artinya membentuk suatu bangsa, apa cita-cita suatu bangsa, apa yang hendak dilakukan, dan prinsip-prinsip kehidupan di dalamnya. Penafsiran yang mendalam dan komprehensif terhadap UUD 1945 mengungkapkan bahwa ia menggambarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang menghargai rakyatnya. UUD RIS 1949, yang merupakan kelanjutan dari UUD 1945, memiliki nuansa politik yang tidak dapat diterima oleh masyarakat adat. Pasal 47 UUD sebenarnya memberikan jaminan terhadap hak-hak organisasi rakyat yang berdomisili di daerah, namun dalam praktiknya gagal konsep mengarahkan delegasi pada ketentuan dasar lainnya. Setelah konstitusi diamandemen menjadi UUDS pada tahun 1950, konsep hak asasi manusia terfokus pada hak asasi individu dan bahkan tidak menyebutkan keberadaan komunitas hukum umum. Pada tanggal 5 Juli 1959, Sukarno, Presiden Republik Indonesia saat itu, mengeluarkan dekrit presiden yang membubarkan Majelis Konstituante dan mengembalikan keabsahan UUD 1945 kepada masyarakat common law dan hak-hak mereka dalam Konstitusi Indonesia. Namun, kesepakatan-kesepakatan tersebut kemungkinan besar merupakan produk peraturan perundang-undangan, seperti dalam kasus UUPA yang mengangkat persoalan hak ulayat bagi warga negara Indonesia.
Dengan berbagai peraturan perundang-undangan, Negara mengembangkan berbagai kebijakan, yang intinya adalah mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak-hak tradisional serta hak sejarah masyarakat hukum adat yang ada, nota bene tanpa memberikan ganti rugi sama sekali. Secara retrospektif dapat dikatakan bahwa sengaja atau tidak sengaja, seluruh kebijakan negara yang mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak-hak tradisional serta hak sejarah masyarakat hukum adat tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Sudah tentu, masyarakat hukum adat tidak berdiam diri terhadap pengurangan, pengambilalihan, atau pencabutan hak-hak tradisionalnya itu. .
Benturan antara hukum modern serta aturan setempat yang telah ada lebih dahulu semenjak ratusan tahun yang lalu memang menyebabkan jeda pemisah yang lebar antara ke 2 format aturan. tidak hanya perbenturan antar hukum, pertemuan antara 2 cara hidup atau kultur yang tidak sama satu sama lain pun pula terjadi. Indonesia sudah terjadi benturan aturan yang ditimbulkan sang disparitas kultur. pada satu sisi Indonesia memiliki aturan nasional (tertulis) yg bersumber berasal hukum sebelumnya yakni hukum kolonial di waktu Indonesia pada jajah. di sisi lain, kita memiliki aturan yg tumbuh serta lahir asal kemurnian budaya (culture) kita yang biasa kita sebut menjadi hukum norma. Negara hukum Indonesia bukan negara yg hanya bekerja menjadi perwujudan aturan formal belaka namun lebih berasal itu negara Indonesia harus bisa mewujudkan moral yg terkandung pada konstitusinya.
Indonesia adalah negara multikultural adalah semata-mata untuk menjadi gerbang utama pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Gerbang utama yang dimaksuds sebagai simbol bahwa kedudukan masyarakat hukum adat adalah sejajar dengan masyrakat lainnya, sehingga keduanya memiliki hak asasi yang perlu untuk dilindungi. aturan ini akan berkaitan menggunakan pengakuan bersyarat yg Bila memang dipertahankan pada Undang-Undang Dasar 1945. tetapi, negara pula wajib  mengakomodir betul 2 syarat yang bisa saja terjadi Jika berbicara mengenai eksistensi serta ketidakberadaan rakyat aturan istiadat. Tentunya, jangan hingga masyarakat aturan adat yg masih ada tidak diketahui keberadaannya oleh negara. Sedangkan berbicara tentang state recognition, akan mengarahkan kepada apa-apa saja hak rakyat aturan istiadat yg harus dilindungi. Hak yang diatur pada konstitusi juga disebut sebagai hak konstitusional. Tentu, hak ini tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat non adat saja, tetapi jua bagi rakyat hukum norma yg tinggal di Indonesia
hukum adat berkarakter komunal yang tidak mengenal adanya sistem pemisahan, seperti apa yang dipraktikkan negara barat bahwa individu adalah kesatuan yang berbeda dari masyarakat. Konsekuensinya adalah hukum adat menyongsong nilai-nilai kekeluargaan, dimana individu harus patuh terhadap dominasi suatu masyarakat yang komunal. Pernyataan ini mengingatkan kita pada kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara plural, yang walaupun tuntutan industrialisasi selalu berusaha untuk diwujudkan, namun sebagian besar tidak menanggalkan hukum adat sebagai hukum sehari-hari. Konstitusi sebagai jaminan yang berisikan hak-hak konsitusional warga negara seharusnya menjadi instrumen perlindungan bagi masyarakat hukum adat. Dalam tatanan praktik, penghormatan dilakukan oleh negara dengan tidak melakukan marginalisasi dalam penyelenggaraan negara. Proteksi yang diharapkan dari pemberlakuan pasal-pasal dalam Konstitusi hanya akan berjalan kondusif jika konsep yang diatur sejalan dengan kondisi warga negara dan benar-benar dijalankan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H