Hal ini menyebabkan priayi cenderung mengeksploitasi bawahan untuk menyenangkan dan memuaskan atasannya, seperti dengan melakukan jamuan-jamuan makan, memberikan sumbangan, hadiah-hadiah, demi kelangsungan kedudukan dan statusnya. Oleh sebab itu watak feodalistis itu sangat melekat pada diri sang priayi. Pada era pasca kemerdekaan, sikap ini seringkali disebut dengan asal bapak senang (ABS) sebagai idiom politik untuk menyebut bawahan yang hanya menginginkan atasannya menjadi senang.[5]
Dalam upaya mempertahankan statusnya, priayi ini melakukan nepotisme yang ditunjukkan dengan adanya jaringan perangkat pemerintahan yang begitu besar yang semuanya terikat oleh kekerabatan. Sedangkan kolusi para lurah ditunjukkan oleh adanya upaya mempertahankan kekuasaan dengan menjalin hubungan baik dengan para kulikenceng, kepala somah dan orang-orang kaya, hubungan yang saling menguntungkan. Pada era saat ini kita sering sekali istilah oligarki politik, yaitu struktur pemerintahan atau kekuasaan yang dipegang oleh sekelompok orang yang selalu mengendalikan kekuasaan untuk mewujudkan keinginan mereka sendiri.[5]
Usaha-usaha untuk menghilangkan atau mengurangi karakter-karakter feodalistis ini pun sudah dimulai dari zaman kerajaan. Pada tahun 1943 ketika HB IX mengadakan perombakan mengenai struktur pemerintahan desa. Pada saat itu ribuan lurah diberhentikan dan tidak mempunyai jabatan lagi. HB IX juga menyatakan bahwa pangreh praja terbuka untuk umum dan rekrutmennya dilakukan melalui seleksi. Begitu juga pada era orde lama dan orde baru begitu banyak peraturan-peraturan yang dibuat demi menghalau karakter tersebut seperti Perdana menteri Wilopo menganjurkan hidup sederhana dalam program kabinet pada tahun 1953;Â
Gatot Subroto tahun 1960 mencetuskan larangan terhadap anggota ABRI menginap di hotel; MPR memasukkan pola hidup sederhana pada GBHN tahun 1978, 1983 dan 1988, dengan cara mengendalikan barang-barang mewah dalam rangka penghematan devisa dan pola hidup sederhana dan masih banyak yang lain. Dengan segala macam upaya menolak karakteritik feodal, pemerintahan orde baru jatuh pada tahun 1998 dengan tagline anti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pemerintahan orde baru yang berkuasa lebih dari 30 tahun dianggap gagal dalam membendung feodalistik, sehingga pada era reformasi diamanatkan menciptakan pemerintahan yang bersih, hukum yang ditegakan dengan tegas termasuk kepada pejabat negara. [5]
Seiring dengan berjalannya waktu, ada beberapa kemajuan demokrasi yang diciptakan melalui reformasi, sebelumnya pemimpin daerah maupun pemimpin nasional yang ditentukan oleh pusat secara tertutup, pada era reformasi pemimpin dipilih secara terbuka oleh rakyat melalui pemilu.Â
Siapapun dapat menjadi pemimpin di republik ini memiliki kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih, namun seperti diawal telah jelaskan diawal mengenai priayisme, wong cilik belomba-lomba menjadi priayi dengan bermacam-macam cara yang akhirnya melahirkan neo feodalisme, yaitu kepala desa atau kepala daerah yang tadinya adalah masyarakat biasa yang diperbolehkan untuk ikut dipilih dalam sistem demokrasi berusaha agar keluarganya yang menjadi penerusnya setelah ia tidak menjabat, misalkan seorang kepala daerah disuatu tempat berusaha agar istri, anak, adik, keponakan atau kerabatnya yang akan meneruskannya menjadi kepala daerah tersebut.Â
Seperti contoh pada pilkada Kabupaten Kediri 2010, bupati yang menjabat sudah tidak dapat melanjutkan lagi untuk priode yang ketiga kalinya, oleh sebab itu pada pilkada tersebut istri pertama dan kedua bupati yang sedang menjabat maju sebagai calon bupati yang akan menggantikan suaminya. Hal ini juga terjadi wilayah banten, Gubernur Banten Priode 2011-2014 mempunya adik ipar yang merupakan Walikota Tangerang selatan, salah satu adiknya menjadi Bupati Serang, anak dan mantunya juga menjadi anggota DPR RI dan DPD RI, hal yang sama juga terjadi diberbagai wilayah Indonesia lainnya.
Oleh Karena tradisi feodal semacam ini eksis ditengah masyarakat dan tidak dicegah secara maksimal, sehingga muncul elite politik memainkan alur kebijakan, membawa kepentingan kelompoknya dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Setelah era reformasi, yang menginginkan kesempatan bagi seluruh rakyat untuk dapat berperan dalam pembagungan negara, berakhir dengan segelintir orang yang mengambil keputusan yang merugikan masyarakat yang tidak dapat diganggu gugat.Â
Awalnya mucul di desa-desa, kemudian di kabupaten/kota hingga akhirnya pada level nasional. Karena masyarakat diberbagai daerah sudah terbiasa dengan hal-hal semacam ini, kuat dugaan bahwa yang menyebabkan persepsi publik mengenai dinasti politik sebanyak 62,1% responden bisa menerima atau menyatakan biasa saja. Sungguh merupakan hal yang paradoks disebuah negara demokrasi tapi memiliki nilai feodalisme, padahal seharusnya demokrasi menutup ruang bagi feodalisme, dan itulah yang dimaksutkan Pancasila terutama sila ke 5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Refrensi:
[1]. Mengkaji Etika Kehidupan Berbangsa