Mohon tunggu...
Nasrul Pradana
Nasrul Pradana Mohon Tunggu... Human Resources - Praktisi Manajemen, Sarjana Psikologi, Magister Manajemen.

Praktisi HRM sejak 2010. Sarjana Psikologi dari Universitas Esa Unggul, Magister Manajemen dari Universitas Esa Unggul. nasrulpradana01@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Priayisme Melestarikan Nepotisme

29 November 2023   18:55 Diperbarui: 30 November 2023   03:50 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.freepik.com

Masyarakat Indonesia baru saja dihebohkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang membuat keponakan ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman yaitu Gibran Rakabuming Raka (36 tahun) yang sedang menjabat Walikota Surakarta memiliki kesempatan untuk maju pada pemilihan umum 2024 mendatang. 

Gibran Rakabuming Raka sendiri ialah merupakan anak sulung Presiden ke 8 RI Joko Widodo yang menjabat priode 2019-2024, artinya ketika maju sebagai peserta pada pemilu tahun 2024 yang akan datang, ayahnya masih efektif sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan. Kita tidak perlu lagi mencari hal yang tersirat dari yang tersurat, karena tampak jelas peristiwa ini seperti penyerahan kekuasaan dari seorang ayah kepada anak yang dibantu oleh pamannya.[1]

Sekilas lalu peristiwa diatas nampak seperti yang terjadi di negara monarki, dimana raja menunjuk putera mahkota sebagai pewaris tahta, tidak demikian di negara yang menganut sistem republik dan paham demokrasi seperti Indonesia, tetaplah harus ada persetujuan rakyat untuk menjadikannya sebagai pemimpin negara. Patrimonial tersebut dilakukan upaya terselubung melalui jalur prosedural, dengan cara anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan yang kemudian mendukung atau memululuskan dinasti politik yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. [2]

Dengan terlihat jelasnya proses pembentukan dinasti politik dalam meluluskan Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta pemilu 2024, hal ini semakin tambah terang benderang setelah keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan bahwa ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran etik berat ketika memeriksa Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, ternyata sebagian masyarakat Indonesia menganggap hal tersebut sebagai hal yang lumrah saja, bukan suatu hal yang tidak terpuji dalam berbangsa dan bernegara. Hal ini dapat dikonfirmasi dari hasil survei survei Indikator Politik Indonesia, Peneliti utama Indikator Hendro Prasetyo mengatakan

69,1% responden yang tahu terkait putusan itu mengatakan setuju. Sementara yang tidak setuju berada di angka 29,3%. [3]

Sementara itu Populi Center merilis hasil survei mengenai tanggapan publik atas keputusan Mahkamah Konstitusi tentang batas usia Capres dan Cawapres dimana 53,1% responden setuju akan keputusan tersebut. Sedangkan untuk melihat persepsi publik terkait isu dinasti politik yang sedang banyak disoroti, sebanyak 62,1% responden bisa menerima atau menyatakan biasa saja, dengan rincian 15,8% menyatakan bisa menerima dan 46,3% menyatakan biasa saja. [4]

Jika kita melihat data-data tersebut, dapat kita simpulkan bahwa masyarakat hari-hari ini menganggap dinasti politik adalah hal yang biasa-biasa saja, lumrah, normal, lazim dan wajar, padahal dinasti politik ini membuka peluang atau jalan untuk terjadinya kolusi dan nepotisme yang pada akhirnya tak akan lepas dengan perilaku korup dari pejabat itu sendiri.

Sangat kontras dengan 25 tahun yang lalu ketika peristiwa reformasi terjadi, salah satu hal yang paling getol dikumandangkan adalah anti KKN, yaitu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Elite politik saat ini yang pada tahun 1998 tersebut seakan amnesia terhadap apa yang diperjuangkannya sebelumnya, atau mereka dahulu hanya kawula yang sedang mencari jalan untuk menjadi elite politik di republik ini. 

Elite atau Priayi dalam bahasa jawa memiliki kedudukan yang sangat tinggi ditengah masyarakat, oleh sebab itu banyak sekali wong cilik yang ingin anaknya menjadi priyayi. Pada dasarnya priayi adalah seseorang yang selalu berpegang teguh kepada tatanan dan etika, berbudi luhur, berakhlak mulia dan berpendidikan yang bertugas memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat, pemerintah, dan negara. Ada yang perpendapat pada era kontemporer saat ini priayi sebagai orang yang telah berhasil masuk menjadi anggota birokrasi, ada pula yang  mengartikan priayi dalam pengertian sekarang sebagai alat birokrasi pemerintahan. 

Priayi dituntut dapat mengembangkan sikap pengabdian yang ikhlas kepada raja/pimpinan dan pekerjaannya. Tuntutan sikap pengabdian tersebut ditambah dengan adanya pola hierarki status dan jabatan yang ketat, sehingga melahirkan etos feodalistis pada diri priayi. Etos feodalistis ini mempunyai ciri seperti orientasi kepada atasan, melaksanakan dan patuh sepenuhnya pada perintah atasan, loyalitas yang tinggi dan penghormatan yang berlebihan serta pelayanan untuk memberi kepuasan dan kesenangan kepada atasan. [5]

Karakter feodalistis ini sudah berlangsung selama berabad-abad di wilayah nusantara, baik itu pada era kerajaan, kolonial, maupun pada era pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Priayisme bagi wong cilik ialah proses menjadi priayi, sedangkan untuk kelompok elite, priayisme dapat diartikan sebagai segala bentuk upaya mempertahankan kepriayiannya. Pada era pra kemerdekaan, proses wong cilik untuk menjadi priayi sangatlah sulit, tergantung pada siapa yang membawa dan dititipkan kepada siapa. Keberhasilan proses ini pun sangat ditentukan secara subjektif oleh raja, bagaimana yang bersangkutan dapat menyenangkan hati raja.

Baca juga: Nyanyian Angsa

Hal ini menyebabkan priayi cenderung mengeksploitasi bawahan untuk menyenangkan dan memuaskan atasannya, seperti dengan melakukan jamuan-jamuan makan, memberikan sumbangan, hadiah-hadiah, demi kelangsungan kedudukan dan statusnya. Oleh sebab itu watak feodalistis itu sangat melekat pada diri sang priayi. Pada era pasca kemerdekaan, sikap ini seringkali disebut dengan asal bapak senang (ABS) sebagai idiom politik untuk menyebut bawahan yang hanya menginginkan atasannya menjadi senang.[5]

Dalam upaya mempertahankan statusnya, priayi ini melakukan nepotisme yang ditunjukkan dengan adanya jaringan perangkat pemerintahan yang begitu besar yang semuanya terikat oleh kekerabatan. Sedangkan kolusi para lurah ditunjukkan oleh adanya upaya mempertahankan kekuasaan dengan menjalin hubungan baik dengan para kulikenceng, kepala somah dan orang-orang kaya, hubungan yang saling menguntungkan. Pada era saat ini kita sering sekali istilah oligarki politik, yaitu struktur pemerintahan atau kekuasaan yang dipegang oleh sekelompok orang yang selalu mengendalikan kekuasaan untuk mewujudkan keinginan mereka sendiri.[5]

Usaha-usaha untuk menghilangkan atau mengurangi karakter-karakter feodalistis ini pun sudah dimulai dari zaman kerajaan. Pada tahun 1943 ketika HB IX mengadakan perombakan mengenai struktur pemerintahan desa. Pada saat itu ribuan lurah diberhentikan dan tidak mempunyai jabatan lagi. HB IX juga menyatakan bahwa pangreh praja terbuka untuk umum dan rekrutmennya dilakukan melalui seleksi. Begitu juga pada era orde lama dan orde baru begitu banyak peraturan-peraturan yang dibuat demi menghalau karakter tersebut seperti Perdana menteri Wilopo menganjurkan hidup sederhana dalam program kabinet pada tahun 1953; 

Gatot Subroto tahun 1960 mencetuskan larangan terhadap anggota ABRI menginap di hotel; MPR memasukkan pola hidup sederhana pada GBHN tahun 1978, 1983 dan 1988, dengan cara mengendalikan barang-barang mewah dalam rangka penghematan devisa dan pola hidup sederhana dan masih banyak yang lain. Dengan segala macam upaya menolak karakteritik feodal, pemerintahan orde baru jatuh pada tahun 1998 dengan tagline anti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pemerintahan orde baru yang berkuasa lebih dari 30 tahun dianggap gagal dalam membendung feodalistik, sehingga pada era reformasi diamanatkan menciptakan pemerintahan yang bersih, hukum yang ditegakan dengan tegas termasuk kepada pejabat negara. [5]

Seiring dengan berjalannya waktu, ada beberapa kemajuan demokrasi yang diciptakan melalui reformasi, sebelumnya pemimpin daerah maupun pemimpin nasional yang ditentukan oleh pusat secara tertutup, pada era reformasi pemimpin dipilih secara terbuka oleh rakyat melalui pemilu. 

Siapapun dapat menjadi pemimpin di republik ini memiliki kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih, namun seperti diawal telah jelaskan diawal mengenai priayisme, wong cilik belomba-lomba menjadi priayi dengan bermacam-macam cara yang akhirnya melahirkan neo feodalisme, yaitu kepala desa atau kepala daerah yang tadinya adalah masyarakat biasa yang diperbolehkan untuk ikut dipilih dalam sistem demokrasi berusaha agar keluarganya yang menjadi penerusnya setelah ia tidak menjabat, misalkan seorang kepala daerah disuatu tempat berusaha agar istri, anak, adik, keponakan atau kerabatnya yang akan meneruskannya menjadi kepala daerah tersebut. 

Seperti contoh pada pilkada Kabupaten Kediri 2010, bupati yang menjabat sudah tidak dapat melanjutkan lagi untuk priode yang ketiga kalinya, oleh sebab itu pada pilkada tersebut istri pertama dan kedua bupati yang sedang menjabat maju sebagai calon bupati yang akan menggantikan suaminya. Hal ini juga terjadi wilayah banten, Gubernur Banten Priode 2011-2014 mempunya adik ipar yang merupakan Walikota Tangerang selatan, salah satu adiknya menjadi Bupati Serang, anak dan mantunya juga menjadi anggota DPR RI dan DPD RI, hal yang sama juga terjadi diberbagai wilayah Indonesia lainnya.

Oleh Karena tradisi feodal semacam ini eksis ditengah masyarakat dan tidak dicegah secara maksimal, sehingga muncul elite politik memainkan alur kebijakan, membawa kepentingan kelompoknya dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Setelah era reformasi, yang menginginkan kesempatan bagi seluruh rakyat untuk dapat berperan dalam pembagungan negara, berakhir dengan segelintir orang yang mengambil keputusan yang merugikan masyarakat yang tidak dapat diganggu gugat. 

Awalnya mucul di desa-desa, kemudian di kabupaten/kota hingga akhirnya pada level nasional. Karena masyarakat diberbagai daerah sudah terbiasa dengan hal-hal semacam ini, kuat dugaan bahwa yang menyebabkan persepsi publik mengenai dinasti politik sebanyak 62,1% responden bisa menerima atau menyatakan biasa saja. Sungguh merupakan hal yang paradoks disebuah negara demokrasi tapi memiliki nilai feodalisme, padahal seharusnya demokrasi menutup ruang bagi feodalisme, dan itulah yang dimaksutkan Pancasila terutama sila ke 5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Refrensi:

[1]. Mengkaji Etika Kehidupan Berbangsa

[2]. Republik Rasa Monarki

[3]. Survei Indikator: 69,1% Responden yang Tahu Setuju Putusan MK

[4]. Survei: 53,1 persen setuju putusan MK terkait batas usia

[5]. PRIAYISME DAN KORUPSI KOLUSI NEPOTISME (KKN)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun