Berbeda pendapat, sebuah fitrah kehidupan. Namun tak semuanya harus berbeda. Ada yang harus sama dan ada yang bisa berbeda-beda.
Bila semua harus berbeda-beda tak ada pengendalian, tak ada kesamaan gerak dan tujuan. Ini berbahaya. Bila semua harus sama, maka tak menghargai keberagaman. Manusia diciptakan berbangsa-bangsa, berbeda pemikiran, berbeda budaya untuk saling memahami. Kita harus tahu kapan perbedaan diberi ruang besar tak terbatas. Kita pun harus tahu kapan perbedaan harus disatukan. Inilah keseimbangan.
Andai tidak ada perbedaan, kita tak tahu cara untuk menyatukan. Andai tak ada perbedaan, kita tak akan tahu kebijaksanaan. Andai tak ada perbedaan, kita tak tahu keunikan yang beragam. Dengan perbedaan, manusia berinteraksi dan berkomunikasi. Perbedaan adalah ujian Allah. Berlapang dadakah? Rendah hatikah? Mau mendengarkah? Andai tak ada perbedaan kita tak bisa menilai kualitas seseorang.
Kualitas seseorang justru tergantung dari banyaknya yang didengar, banyaknya yang dilihat, banyaknya yang dibaca, banyaknya yang diperhatikan dan direnungi. Tafakur dan tadabur adalah mengambil energi luar ke dalam, lalu diolah menjadi sebuah maha karya yang dimunculkan. Andaikan semua sama, apakah bisa menarik perhatian para peneliti? Apakah menarik perhatian para ilmuwan? Para Ilmuwan itu melihat fenomena di luar dirinya menjadi sebuah kajian yang bisa diilmiahkan.
Perbedaan menghasilkan kekaguman. Perbedaan membutuhkan pendekatan baru untuk menyatukan. Seperti Imam Syafii dengan  kitab Ar Risalahnya. Seperti Imam Al Ghazali dengan Ihya Ulumudinnya. Itulah maha karya dari sebuah perseteruan perbedaan.
Perbedaan bagi sebagian orang menciptakan perkelahian, pertentangan hingga perpecahan. Bagi sebagian lagi, perbedaan melompatkan dirinya pada prestasi luar biasa. Pilih yang mana? Seperti Rasulullah saw yang memuji karya cucunya Hasan bin Ali yang kelak akan menyatukan kaum Muslimin. Hasan bin Ali menyatukan para Sahabat yang sudah senior. Itulah karakter generasi baru yang lahir dari pergolakan sebuah perbedaan.
Dalam ajaran Islam ada yang prinsip dan bukan. Ada yang rukun, wajib dan sunah. Yang prinsip dan rukun harus sama. Selain itu, berijtihadlah, yang benar 2 pahala, yang salah satu pahala. Dalam ranah ijitihad, bersatulah dalam hal yang disepakati dan bertoleransi terhadap perbedaan. Itulah kelenturan Islam, tidak mengekang tetapi tidak membebaskan tanpa bimbingan.
Bagaimana agar perbedaan menjadi sebuah kesatuan langkah dan pemikiran? Islam memiliki sarananya. Yaitu, musyawarah. Musyawarah bukan sekedar berdiskusi, bukan sekedar brainstorming, bukan sekedar memberikan inputan. Hasil musyawarah mengikat semua individu. Dalam musyawarahlah Allah membimbing manusia untuk penyatuan langkah dari semua perbedaan yang ada. Dari musyawarahlah Allah mengilhamkan keputusan dan cara terbaik. Dari perbedaan menjadi kesatuan melalui musyawarah.
Ada perbedaan yang dirahmati Allah. Ada perbedaan yang bisa juga dilaknat Allah. Disinilah perlunya Fiqh Ikhtilaf dalam khazanah keilmuan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H