Tanda kepintaran adalah merasakan kebodohan diri. Tanda kebodohan adalah merasa paling pintar sendiri. Semakin lama hidup, seharusnya semakin merasakan kebodohan diri.
Berjalanlah ke toko buku. Berapa buku yang telah dibeli? Berapa buku yang telah dibaca? Pergilah ke perpustakaan, berapa buku yang telah dipinjam? Berapa buku yang telah dibaca?
Bila membaca buku, bacalah daftar pustakanya, adakah yang engkau miliki? Apakah pernah melihat bukunya? Apakah pernah membacanya?
Bila engkau merasa nyaman dengan seorang Imam, misalnya imam Syafii, sudahkah tahu seluruh judul buku karya beliau? Sudahkah memiliki seluruh kitab karangan beliau? Sudahkah membacanya? Itu baru satu Imam, padahal banyak sekali karya buku imam yang lainnya. Bagaimana merasakan kepintaran diri? Seharusnya kita lebih merasakan kebodohan Bukan!
Mengapa merasakan kebodohan Itu lebih sulit? Mengapa merasa pintar itu lebih mudah? Mengapa merendahkan hati lebih sulit? Mengapa membusungkan dada itu lebih mudah?
Imam Ahmad, bila tidak ditanya tidak akan menjawab. Bila ditanya lebih banyak menjawab tidak tahu. Andaikan tahu, dia lebih mendahulukan pendapat terpercaya dari generasi sebelumnya. Bila sudah tidak ada, barulah dia mengungkap pendapatnya sendiri. Imam Ahmad, baru berani membuka halaqah ilmu setelah berumur 40 tahun. Sebelumnya, hanya mendatangi para ulama. Walaupun para ulama yang didatanginya  memahami keunggulan ilmu imam Ahmad.
Tanda azab Allah bagi diri kita adalah tidak tahu aib diri. Tanda kemurkaan Allah pada kita adalah tak tahu kebodohan diri. Bukankah karakter manusia itu bodoh? Agar setiap hari diliputi suasana sebagai pembelajar? Kesibukan pada ilmu, menghindari kita dari kesibukan maksiat dan kelalaian.
Tanda keburukan diri adalah merasakan keutamaan diri. Tanda keburukan diri adalah saat diri merasa lebih hebat dari orang lain. Seorang Tabiin ditanya, "Adakah keutamaan pada diri engkau?" Dia menjawab, "Tidak ada." Sang sahabat bertanya, "Walaupun terhadap seorang banci?" Dia pun menjawab, "Iya." Â Seorang ulama terpercaya tidak merasakan keutamaan dirinya, namun mengapa dalam kebodohan kita lebih merasa banyak keutamaan?
Para ulama Salaf tidak pernah selalu menjadi guru. Seperti imam Syafii dan Sufyan bin Unayiah, mereka bergantian menjadi guru dan murid. Seperti imam Syafii dan Ahmad bin Hambal mereka bergantian menjadi guru dan murid. Seperti imam Ahmad dan anaknya Abdullah, mereka bergantian sebagai guru dan murid.
Yang mendengar kadang lebih utama dari yang mengajarkan. Banyak mendengar kadang lebih bijaksana dari yang menyampaikan. Banyak membaca kadang lebih luas ilmunya dari penulisnya. Yang tahu keutamaan kita adalah Allah. Dia yang tahu rahasia tentang kita. Mengapa merasa lebih utama?
Yang pasti kebodohan adalah karakter kita. Maka sibukan sebagai seorang pembelajar.