Mohon tunggu...
Nasrullah Abdullah Umar
Nasrullah Abdullah Umar Mohon Tunggu... -

Pekerja lepas. Menulis. Fotografi. Lari gunung.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setelah Hujan Turun

28 November 2012   12:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:33 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan baru saja reda dan aku baru saja menyelesaikan buku Penembak Misterius – SGA (lagi)
Aku selalu menyukai bau tanah setelah hujan. Entah kenapa tapi sangat khas sekali rasanya. Aku segera menyadarinya setelah beberapa langkah kaki keluar dari kamar sewaku dan berada di halaman depan rumah. Jalanan sepi.. hanya terdengar sayup-sayup suara dari salah satu radio butut milik tukang becak berjarak 30 meter dari pintu pagar halaman bangunan kostku yang biasa mangkal disana. Suara tembang jawa sepertinya… dan disini aku melangkahkan kaki mencoba mencari angkringan yang disana berharap menemukan sebatang rokokku malam ini…

Dan disanalah kutemukan angkringan itu. Sendirian di tikungan jalanan sepi…

Di sela sela hawa dingin yang cukup merasuk setelah hujan ini, aku berdiri di depan angkringan yang hanya menyisakan beberapa potong gorengan, dan 3 buah bungkus mi instan dan sebatang rokok. Arang yang digunakan untuk memanaskan air, entah untuk kopi, teh panas atau memasak mi instant telah padam menyisakan kebulan asap tipis. Dan di sebelahnya berbaring dengan sangat tenangnya seorang wanita separuh baya dan anaknya yang tertidur dengan lelapnya saling berpelukan. Anaknya mendapatkan kehangatan pelukan seorang ibu dan selembar selimut kucel serta jaket berwarna kuning lusuh..

Beberapa lama kupandangi mereka. Mencoba memutar kembali pita kaset dalam kepalaku. Betapa pemandangan ini sangat sangat menyita pekiranku. Dimana sekiranya suami perempuan ini? Ayah anak lelaki ini? Apakah sedang bekerja di luar kota ? Menjadi salah satu buruh bangunan di Ibukota? Yang juga tidur di tempat terbuka di sela sela bangunan yang sedang dikerjakannya bersama berpuluh puluh buruh yang lain? Yang meninggalkan keluarga mereka di kampung berharap nasib hidup mereka berubah lebih baik di Ibu kota ? Dan setiap liburan Idul Fitri berdesak desakan di stasiun kereta kelas ekonomi mencoba mencari sekedar tempat duduk untuk tiba di kampung halaman? Atau berjibaku dengan keringat berpeluh di terminal bis mencari cari disela sela tatapan mata para preman terminal yang sedang mencari korban berikutnya ?

Dan lalu aku tidak sampai hati membangunkannya hanya untuk menanyakan apakah dia masih mempunyai sebatang – atau beberapa batang – rokok untuk dijual kepadaku. Namun kembali perasaan egois untuk sekedar menikmati kepulan asap dari tembakau melewati bibirku kembali memaksaku untuk membangunkannya. Dan disanalah dia terbangun.. bisa saja kuambil sebatang rokoknya dan meninggalkan uang disana, namun perasaan takut bahwa rejekinya bisa lenyap oleh tangan iseng manusia, membuatku mengganggu tidurnya..
Setelah melihat dan memperbaiki selimut anaknya – sebuah naluri sang ibu – dia langsung mengatakan maaf mas rokoknya tinggal satu. Wajahnya masih menunjukkan rasa kantuk yang luar biasa.
Anaknya sedikit menggeliat memperbaiki posisi dan kembali terlelap.. kembali masuk kedalam mimpinya… mimpi bermain bersama kawan kawannya di Dufan mungkin? Tapi ahh.. apakah anak itu pernah tahu Dufan? Mungkin dia hanya tahu duduk menemani ibunya berjualan di angkringan itu, bermain tanah, atau gundu. Mungkin sesekali bertanya kepada ibunya : Mak, bapak kemana sih? Kok nggak pernah pulang? Dan ibunya mungkin hanya menjawab sambil melayani pembeli tanpa melihatnya bertanya: Le, bapak lagi nyari duit. udah sana main aja. lalu kembali melayani pembeli nasi bungkus, gorengan atau rokok sepertiku.

Dan setelah aku mendapatkan rokokku, aku melangkahkan kaki sambil menghembuskan asap dari bibirku. Kembali berjalan menuju tempat tinggalku. Sempat kutolehkan pandanganku dan ibu itu masih duduk termenung memandangi anaknya. Tapi aku yakin dia tidur sambil terduduk.

Masih terdengar sayup sayup suara radio butut milik tukang becak itu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun