Mohon tunggu...
Nasrullah Abdullah Umar
Nasrullah Abdullah Umar Mohon Tunggu... -

Pekerja lepas. Menulis. Fotografi. Lari gunung.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Jalan-jalan di Gunung Ungaran (2)

5 September 2012   00:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:55 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menikmati Kehangatan di Ketinggian 2050 mdpl (2)

Kami lalu mengeluarkan perlengkapan memasak kami. Kopi panas dan mi instan dengan telur adalah menu kami sore itu sembari menikmati udara segar dan pemandangan hijau yang sungguh sangat memanjakan mata dan menyehatkan hati (mungkin tidak tubuh kami dengan mi instannya hahaha). Beberapa anak terlihat berlarian dengan riang gembira diantara jalan setapak dan pohon teh. Betapa sebuah pemandangan yang dapat membuat bibir menyunggingkan senyuman.

Seorang bapak lalu menghampiri kami dan lalu terlibat obrolan tentang masa mudanya yang penuh kisah perantauan dan pendakian gunung dengan kondisi ekstrim. Bapak itu aku taksir sudah berumur 60 tahun. Dia sedang menemani cucunya yang mengikuti kegiatan libur sekolah. Menurutnya, anak-anak sebaiknya harus diperkenalkan tentang alam sejak dini sehingga tumbuh rasa cintanya terhadap kelestarian lingkungan. Kami tersenyum dan mengangguk setuju dengan bapak yang tidak hentinya memainkan sebatang alang-alang diujung tangannya.

Kami putuskan untuk sekedar berjalan menikmati suasana di sekitar dusun ini. Sejauh mata memandang, kebun teh benar-benar menjadi daya tarik tersendiri. Para petani menanam dengan rapih membentuk pola yang disiplin. Warna hijau seperti obat mata dan jiwa bagi kaum pekerja di kota dengan segala carut marutnya. Gunung Ungaran terlihat berdiri dengan kokohnya. Kabut tipis terlihat bergerak perlahan. Kami benar-benar beruntung masih bisa menikmati pemandangan seperti ini.

[caption id="attachment_210562" align="alignnone" width="614" caption="Langit cerah diatas Gunung Ungaran"][/caption]

Senja mulai menyapa. Warna kemerahan perlahan menyapa kami. Tidak berapa lama kami berpindah ke rerumputan menghadap barat dan merebahkan tubuh kami. Tampak siluet merah senja disela pepohonan dan alang-alang. Angin dingin mulai terasa. Kami hanya berbaring memandang langit dan kabut tipis yang perlahan menyelimuti puncak gunung Ungaran. Sekali lagi, perasaan senang muncul dari dalam diriku. Dan tanpa sadar, aku pun tersenyum.

[caption id="attachment_210563" align="alignnone" width="614" caption="Siluet pohon pada senja di Dusun Promasan"]

13468054361560395865
13468054361560395865
[/caption]

Ketika malam, kami lagi-lagi terlalu malas untuk memasak. Dan akhirnya, kami putuskan untuk mendatangi deretan rumah di dusun ini dan memesan masing masing sepiring nasi panas, sayur dan telur untuk kami berdua hahaha. Tidak lupa segelas teh panas manis untuk menghangatkan tubuh. Kawan saya ini berseloroh bahwa sebaiknya kita bungkus satu lagi untuk makan tengah malam nanti di perjalanan ke puncak.” Itu juga kalau kita masih bisa bangun” Ujarnya sambil tertawa. Aku ikut tertawa sambil menyeruput teh panas segarku. Asap tipisnya menyapa wajahku.

Waktu masih menunjukkan pukul 20.00 dan kami sudah kembali di sudut “kemah” kecil kami. Langit cerah dengan ribuan bintang bertebaran. Kami tidak banyak berbicara. Masing masing menikmati suasana alam dengan pikirannya masing-masing. Aku? tentu saja merindukan istri hahahaha.

Tidak lama kemudian kami lalu terbenam dalam kantung tidur masing-masing. Angin terasa dingin menusuk. Embun meresap di kantung tidurku. Sebelum tidur, aku masih sempat melirik cincin di jari manisku dan tersenyum mengingatnya.

Alarm telepon genggamku berbunyi dan menandakan waktunya untuk melakukan pendakian menuju puncak. Udara terasa sangat dingin. Kantung tidurku basah oleh embun. Cuaca tampak cerah namun sepertinya puncak tertutup oleh kabut tebal. Tidak masalah.

30 menit kemudian kami mulai berjalan menapaki jalan berbatu menanjak menuju ke hutan. Cahaya dari lampu senter kami menerangi langkah pasti kami. Di jalan kami berpapasan dengan beberapa tim pendaki. Malam minggu seperti ini Gunung Ungaran biasanya ramai disambangi oleh penggiat alam bebas dari Semarang dan sekitarnya. Ada beberapa tim yang mendirikan kemah di jalur pendakian. Ramai sekali dengan obrolan hangat. Bukankah kebersamaan terbangun dengan berkegiatan seperti ini? perkawanan kadang terasa lebih bermakna, bukan? Setelah melemparkan sapaan, kami melanjutkan perjalanan.

Memasuki hutan, pepohonan basah oleh embun. Nafas coba kami atur selaraskan dengan langkah kami. Suara angin menderu terdengar di belakang kami. Seperti gemuruh penonton sepakbola  yang pernah aku saksikan di ibukota. Ranting pepohonan yang rendah memaksa kami beberapa kali harus berjalan menunduk. Ransel kawan saya bahkan terkadang nyangkut di beberapa dahan yang merunduk rendah. Maklum, selain ranselnya paling besar, kawan saya ini juga memiliki postur tubuh tinggi besar.

30 menit berlalu. Beberapa orang terlihat sedang beristirahat di pos pendakian yang kami lewati.  Beberapa orang anak kecil terlihat sedang duduk disekeliling api unggun yang dibuat untuk menghangatkan tubuh. Sekilas aku melihat wajah kecil mereka yang terlihat mengantuk. Dalam hati aku berkata begitu melihat pemandangan dari puncak, anak kecil ini pasti akan lebih bersemangat J

Selepas hutan, kami tiba di jalur terbuka. Angin semakin kencang menerpa kami. Kabut tebal menyelimuti. Jarak pandang kami tidak lebih dari lima meter. Aku mulai memperhatikan langkah dan tidak lupa mengingatkan kawan untuk menjaga langkahnya. Jalur bebatuan yang menanjak membuat kami semakin berhati-hati. Kulirik jam tanganku dan berpikir bahwa sepertinya kami berjalan terlalu cepat.

Waktu masih menunjukkan pukul 04.00 pagi. Kutaksir bahwa kami akan tiba di puncak kurang dari 20 menit lagi. Dan aku tidak mau menghabiskan waktu di puncak tanpa tempat untuk berlindung dari angin kencang dan kabut tebal seperti ini. Kuputuskan untuk mencari tempat beristirahat sementara hingga cuaca memungkinkan kami untuk bisa berada di lokasi lebih terbuka. Posisi kami yang masih berada di jalur pendakian membuatku harus mencari-cari tempat yang cukup terlindung dari angin kencang.

Sebuah titik sekitar bebatuan dan alang-alang tinggi menjadi pilihanku. Setelah meratakan alang-alang, kami lalu meletakkan ransel dan mencoba duduk senyaman mungkin sembari memasak air untuk membuat minuman hangat. Kawanku sedikit mengutuk celana panjang jeans yang dipergunakannya. Sudah sobek di beberapa tempat pula hingga dinginnya makin terasa hahaha. Segelas kopi panas benar-benar terasa nikmat sekali. Sesekali terdengar suara orang sedang berbincang-bincang di jalur pendakian. Sayangnya aku terlalu malas untuk mengeluarkan kamera untuk mengabadikan rumah darurat kami ini hehehe

Waktu menunjukkan pukul 05.00 dan kabut tebal masih menyelimuti pandangan kami. Setelah melaksanakan ibadah pagi itu-dengan posisi duduk- kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Ternyata sepanjang jalur yang tinggal sedikit lagi tiba di puncak ini, banyak pendaki yang juga beristirahat di tepi jalan. Mereka pasti juga terlalu cepat tiba di areal ini dan memilih menunggu agak terang seperti kami. Perjalanan kami lanjutkan dan tidak lama kemudian kami tiba di puncak Gunung Ungaran. bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun