Perhelatan Piala Dunia Sepakbola Qatar 2022 usai sudah. Argentina lah juaranya. Prancis di tempat keduanya. Suka cita bersanding sedih sendu mewarnai partai final yang ditunggu - tunggu di seluruh pelosok dunia itu.
Apakah Prancis akan mengulang kegemilangannya empat tahun lalu dengan membawa pulang Trofi Piala Dunia untuk ketiga kalinya? Ataukah Argentina yang akan menjadi jawaranya untuk melengkapi kegemilangan Messi sekaligus membayar dahaga juara selama tiga puluh enam tahun terakhir?
Hasilnya dapat disaksikan (19/12) dinihari ketika penentuan siapa yang terbaik di Qatar 2022 kali ini harus melalui drama adu algojo dari titik putih (penalti). Argentina lah jawaranya untuk ketiga kalinya. Messi lah pengangkat trofinya. Sementara, bintang di tim lawannya Mbappe, harus menengadah menerima kenyataan.
Messi dan Mbappe
Lionel Messi (35) dan Kylian Mbappe (23) adalah dua sosok yang menjadi pusat perhatian di laga final kemarin malam (19/12). Kedua pemain handal asal klub Paris Saint-Germain itu harus berhadap - hadapan di partai final dengan membela bendera negaranya masing - masing. Klub boleh sama, namun kali ini tanah air menjadi utama. Mbappe dan Messi pada akhirnya harus berjuang untuk saling mengalahkan. Messi tampil gemilang, Mbappe pun tak kalah cemerlang. Keduanya menyajikan penampilan ala pemain kelas dunia: mulai dari fisik, teknik, kerjasama tim, dan terakhir yang tak kalah pentingnya, mental juara.
Mbappe yang boleh dikata jauh lebih muda dua belas tahun ketimbang Messi seperti tak ada beban melaju dan merangsek merobek pertahanan Argentina yang tampil begitu solid di babak pertama. Berbeda dengan Messi, Mbappe terlihat terkunci di babak pertama ketika Messi leluasa menari - nari dan berpesta dua gol bersama rekan - rekannya.
Namun, di babak kedua cerita berubah lain. Didier Deschamps, pelatih Prancis merombak habis susunan pemain dan pola permainannya. Hampir semua pemain "Afro-France" (Prancis berketurunan Afrika) dimainkan. Termasuk Lucas Hernandez, Olivier Giroud, dan Antoine Griezmann ditarik keluar dan digantikan oleh pemain - pemain berkulit hitam di barisan Les Bleus. Sehingga, Les Bleus sampai akhir pertandingan boleh dikata hanya penjaga gawangnya yang berkulit putih. Berbeda dengan Argentina, tak ada satupun yang berkulit hitam sebagaimana negeri selatan benua Amerika lain seperti Brazil, pada lazimnya. Prancis boleh mengejar, menyamakan skor, meski harus kalah di laga adu penalti.
Maroko dan Kemunculan Wacana Identitas
Di negeri - negeri rantau Nusantara, Asia Tenggara, piala Dunia Qatar di 2022 ini diwarnai dengan mencuatnya wacana tentang identitas kultural maupun identitas regional. Kebangkitan Asia misalnya, mencuat kala Arab Saudi berhasil mengalahkan Argentina. Menyusul Korea dan Jepang yang melaju dengan mengalahkan tim - tim Eropa dan Amerika lainnya. Belum lagi Iran, yang juga sempat mengalahkan Wales. Mengikut Australia yang belakangan tergabung di zona Asia.
Lepas dari itu, setelah tim Asia berguguran, Maroko muncul sebagai tim yang lolos hingga semifinal. Asosiasi terhadap identitas "Islam" dan Arab-Afrika pun mengemuka di media - media sosial para penggila bola di kepulauan Melayu Nusantara, Asia Tenggara ini.
Di Malaysia, Maroko dikenal dengan nama Maghribi. Radio - radio tempatan ramai memberitakan dan membincangkan perihal kejayaan negeri Utara Afrika itu di pentas Piala Dunia Qatar 2022 kali ini. Sementara itu, penyokong Argentina, Kroasia, dan Prancis tetaplah sahut menyahut. Jersey tim sepakbola klub - klub itu pun laris manis di pasaran. Seolah yang berlaga adalah tim negaranya saja. Sungguh unik.
Wacana identitas lain di samping "The rise of Asia" dan "The revivalism of Muslim Country" (baca: kebangkitan Asia dan negeri Muslim), wacana identitas lain sebetulnya yang sedikit mengemuka adalah The rise of African and Postcolonial countries (Kemunculan orang - orang Afrika dan negeri - negeri bekas jajahan). Asia, Muslim, Afrika, dan bekas jajahan adalah identitas - identitas yang mengemuka dan turut berkontestasi selama helatan Piala Dunia Qatar 2022 ini.
Seperti disebutkan sebelumnya, wacana kebangkitan Asia mencuat kala Saudi Arabia mengalahkan Argentina dan Jepang mempecundangi Jerman di penyisihan grup. Belum lagi performa baik juga ditunjukkan Korea Selatan dan Australia di penyisihan grup. Iran sempat menguat setelah memenangi laga kontra Wales, namun mengikuti nasib Qatar dan Arab Saudi yang tersingkir di penyisihan Grup. Wacana Asia pun meredup perlahan hingga satu per satu berguguran di babak enam belas besar.
Di sisi lain, Maroko mewakili tiga identitas: Muslim, Afrika dan Dunia Arab. Disebutkan, bahwa Maroko adalah negeri Afrika-Arab pertama yang menembus semifinal Piala Dunia dalam sejarah. Barangkali, juga merupakan negeri dengan penduduk mayoritas Muslim pertama. Untuk diketahui, Maroko merupakan negeri bekas jajahan Prancis dan Spanyol yang merdeka pada tahun 1956 setelah Perang Dunia kedua.
Pascakolonialitas Argentina dan Kemenduaan Prancis
Sementara itu, Argentina adalah negeri bekas jajahan (Post-Colonial country) Â Spanyol yang merdeka di paruh kedua abad ke-19. Negeri yang terletak di selatan Amerika ini bersama Brazil dan Uruguay adalah pemenang Piala Dunia selain negeri - negeri di Eropa sana. Argentina boleh dibilang merepresentasi negeri - negeri bekas jajahan yang berhasil sampai di puncak tertinggi tahta persepakbolaan dunia itu. Apatahlagi, ketika tato Che Guevara di badan Diego Armando Maradona ramai dipamerkan di postingan - postingan media sosial para fans Argentina.
Hampir serupa pada Piala Dunia 2018, Prancis menampilkan wajah ambivalen. Negeri yang dikenal menyebabkan negeri - negeri lain banyak memakai Bahasa Prancis (francophone) itu, karena merupakan bekas koloninya, diwarnai oleh dominasi pemain - pemain berkulit hitam keturunan Afrika. Bahkan, tiga diantaranya adalah Muslim, yakni Ibrahima Konate, Youssouf Fofana, dan Ousmane Dembele. Mereka adalah Muslim keturunan Afrika di skuad Les Bleus.
Prancis tak lagi diisi oleh pemain kulit putih Eropa semata, namun telah berbaur bahkan didominasi oleh pemain kulit hitam keturunan Afrika. Sehingga, Prancis adalah negeri bekas kolonis, namun telah diperkuat oleh pemain keturunan dari negeri - negeri bekas koloninya. Suatu kemenduaan dengan kombinasi yang unik namun menguatkan.
Kemenangan Amerika Selatan dan Kebanggaan kaum Afrikan
Pada akhirnya, Argentina dan Prancis, Messi dan Mbappe menampilkan wajah - wajah pascakolonialnya. Argentina sebagai negara bekas jajahan yang berjaya mengalahkan negara Eropa sebagai asal para kolonis. Sementara Mbappe dan kawan - kawan sekaum Afro-France nya, berjaya menyelamatkan muka Tim Nasional Prancis dari kekalahan telak di partai final.
Olehnya, Messi boleh berbahagia dengan juaranya. Namun, Mbappe tak boleh menyembunyikan rasa bangganya, sebagai pemain muda yang dihampiri Presiden Macron pasca laga usai. Itu sebelum dia mendapatkan penghargaan sepatu emas, di usia ke-23 tahunnya. Usia yang masih relatif muda dan memang berbahaya.
Bangga Mbappe!!! Viva Messi, Viva La Argentina!!!
Kuala Lumpur, 20 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H