Oleh Nasrullah Mappatang
 Stig Hjarvard (2013) dan Andreas Hepp (2015) bisa dikatakan sebagai penganjur teori mengenai mediatisasi. Mediatisasi budaya, mediatisasi agama, mediatisasi ritual, mediatisasi politik, dan berbagai bahasan lainnya mengenai mediatisasi ini. Hjarvard (2013) dan Hepp (2015) menuliskan bahwa konsep mediatisasi membedakan diri dan berbeda dengan konsep komunikasi satu arah ala ilmu komunilasi dan studi audiens ala cultural studies.
Mediatisasi tidak hanya melihat bagaimana pengaruh media terhadap audiens atau bagaimana efektifitas pesan sampai pada audiens. Mediatisasi jauh melampaui itu dengan melihat bahwa sejauh mana media 'mengubah' struktur sosial dan relasi antar audiens. Pengamatan penulis dengan keaktifan menonton acara di Televisi, mengamati media sosial di facebook dan twitter, dan mendengarkan obrolan di warung -- warung kopi dan  ruang -- ruang obrolan offline di waktu luang memberi gambaran bahwa media massa dan media sosial memberikan peranan penting dalam pilkada serentak 2017 ini. Terutama mengenai Pilkada Gubernur DKI Jakarta yang mendominasi pemberitaan di media -- media nasional beberapa waktu lalu, pilkada serentak di beberapa daerah, dan Pemilu 2019 mendatang.  Â
Perubahan Struktur sosial
Dalam pembahasan mengenai perubahan struktur sosial, kita bisa melacak sejauh mana media mengkelaskan pihak yang ada dalam sebuah tayangan. Dalam pilkada Jakarta misalnya, diposisikan dimanakah masyarakat di hadapan para politisi dan kandidat? Kita bisa melihat bagaimana masyarakat luas, pemilih di DKI seolah diposisikan pasif untuk diatur oleh para kandidat. Artinya apa, secara pengkelasan masyarakat diposisikan subordinat dari dominasi objektifikasi para kandidat. Segala program memposisikan masyarakat pemilih DKI sebagai pihak yang siap diatur. Siapapun pemenangnya. Pengkelasan bisa dianggap cenderung terjadi disini.
Perubahan Relasi antar-audiens
Relasi antar audiens dipengaruhi oleh pemberitaan dan desain pemberitaan di media. Di televisi, Koran, media online, dan status -- status di media sosial. Kita bisa melihat bagaimana cercaan, umpatan, dan ejekan tak jarang terjadi. Bahkan mungkin sudah bisa dianggap berlangsung secara terstruktur, sistematis, dan massif. Belum lagi, audiens dan netizen yang tidak berhubungan dengan Jakarta juga tak mau ketinggalan. Agentic behavior (perilaku menjadi agen) dihinggapi para netizen. Tiba -- tiba ada pendukung kandidat DKI dari Provinsi di ujung negeri ini. Tiba -- tiba ada dukungan kepada kandidat tertentu dari orang Indonesia di luar negeri. Para pendukung ini, secara administratif bukanlah pemilih DKI Jakarta. Mereka pula terlibat dengan perdebatan dengan netizen yang lain. Yang juga bukan pemilih di DKI.
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa hanya Pilkada DKI yang massif dibincangkan oleh netizen dan masyarakat luas? Bukan Banten, Gorontalo, Papua Barat dan 100 Pilkada Gubernur, Bupati, dan Walikota lain di luar Jakarta?
Oleh Stig Hjarvard dan Andreas Hepp di atas, tegas dituliskan bahwa media telah mengubah pola hubungan perilaku masyarakat. Terutama dalam bersikap terhadap kondisi politik hari ini. Audiens dan netizen digiring dan dipandu untuk hanya membicarakan Pilkada DKI. Disini pun dalam amatan penulis, jika tak mendukung paslon no.1, no.2, seolah diharuskan mendukung paslon no.3. begitu pula sebaliknya.
Gejala Mediatisasi Politik
Dalam perilaku netizen, jika memasang status soal Pilkada DKI, para netizen yang lain akan dengan mudah men-cap bahwa kita adalah pendukung paslon no. urut 2, karena begini, pendukung no. 3 karena statusnya seperti itu, atau no. 1 karena cenderung begitu. Kita seolah tidak diberi pilihan untuk menghirup udara bebas.
Mirip ketika mencoba berbicara soal kisruh Surah Al Maidah. Jika tidak mengutuk Ahok, seolah kita adalah pendukungnya. Tidak ada ruang disana, oposisi biner dan jebakan pro-kontra menggiring audiens untuk terjebak disana. Perilaku dalam berhubungan antar netizen menjadi berubah dan digiring untuk pro atau kontra, untuk mendukung paslon no.1, 2, atau tiga. Padahal, kita bukan pemilih DKI, dan tidak ada hubungannya dengan para paslon di DKI sana.
Tapi, mengapa kita seolah ketinggalan dan terus digiring untuk ikut campur? Mengapa juga bukan 100an pilkada yang lain yang kita urusi? Mengapa hanya Jakarta saja? Jangan -- jangan ini gejala mediatisasi politik seperti apa yang dijelaskan oleh Hjarvard dan Hepp dalam karyanya tentang mediatisasi politik, dan masyarakat, seperti disebutkan di awal tulisan ini.
Lantas ke depannya, di tengah perjumpaan otonomi daerah, pilkada dan pemilu langsung, penguatan politik identitas dan juga globalisasi sekaligus, bagaimanakah gejala mediatisasi, budaya politik, dan politik kebudayaan akan berlangsung? Kita wajib mencermatinya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H