Tapi kesan saya ternyata salah. Tiba-tiba saja, seraya tersenyum, dia berujar, "Adik dari Ipoh, ya. Ya sudah, bayar saja RM 10."
Dengan perasaan gembira seraya berterima kasih, pemuda itu langsung memberikan selembar uang sepuluh ringgit kepada Ustadz Musa. "Saya terima...," sambung Ustadz Musa sambil menerimanya.
Sebelum buku berpindah tangan, Ustadz Musa sempat menuliskan sesuatu di halaman pertama buku. Ternyata bukan tanda tangan, tapi nomor HP beliau!
Pesan terakhirnya kepada si pemuda, "Kalau ada pertanyaan atau masalah apa pun mengenai (isi) buku ini, atau tentang masalah agama, silakan hubungi saya...."
Bersamaan dengan itu, terdengarlah suara azan. Lalu kami berbuka puasa bersama.
Tapi, sambil menyantap Bubur Lambuk khas Masjid Kampung Baru, pikiran saya masih melayang di seputar peristiwa jual-beli buku itu. Jujur saja: saya benar-benar terkesima dan tersentuh. Ada dua pelajaran berharga yang dapat dipetik darinya.
Pertama, tidak seperti penulis-penulis buku lain, Ustadz Musa tidak komersil. Sudah sepuluh buku (agama) yang ditulisnya (diterbitkan di Malaysia dan Indonesia). Untuk buku baru setebal 150-an halaman itu, di Malaysia biasanya dijual RM 15-20.
Tapi itu, kan buku karya Ustadz Musa sendiri. Lagi pula, si pemuda masih bisa membelinya di tempat lain. Jadi, saya menilai, Ustadz Musa itu sangat murah hati. Hal terpenting baginya: bagaimana ilmu yang dituangkan dalam bukunya itu dapat segera "dinikmati" pembacanya.
Kedua, tidak seperti "ustadz-ustadz" lain, Ustadz Musa bukan tergolong ustadz yang asal bicara saja --apalagi, maaf, terlalu banyak melawak-- dalam memberikan materi pengajiannya. Peraih gelar Doktor Bidang Syari`ah dari Universitas Al-Azhar, Cairo (1977) itu sangat bertanggung jawab terhadap apa yang diajarkannya.
Karena itulah, dalam setiap kesempatan mengajar, baik di kampus-kampus (sebelum pensiun) maupun di masjid-masjid di sekitar Selangor, ia selalu mempersiapkan materinya dan membawa buku-buku rujukannya --termasuk karangannya sendiri. Kalau ada muridnya yang kurang paham, ia tak pernah jemu menerangkannya.Â