Ajaran tasawwuf memberikan pengetahuan spiritual kepada kita bahwa untuk berma'rifat kepada Allah SWT, kita harus sampai ke level tajjalli, yakni tersingkapnya tabir dan memperoleh nur. Iyakah? Saya pun masih berasumsi.
Namun di level ini, seperti syekh Abdul Qadir sendiri ketika sampai di level ini, maka tingkat ujiannya pun berbeda, benar-benar Iblis yang langsung turun tangan untuk menjebak keimanan seorang hamba yang sudah sampai ke level tajalli. Oleh karena itu, supaya tidak mudah terjebak, seharusnya punya pengalaman di syariat, tariqat dan hakikat. Setahu saya, ini ada kisahnya, amalan-amalan yang dilakukan oleh syekh Abdul Qadir hingga ia dijebak oleh Iblis.
Di level tajalli memang godaan dan ujian keimanan sangat berat, Iblis pun bisa menyamar di level tajalli. Bisa saja dengan tercapainya tajalli lalu mengira dirinya itu sebagai utusan, karena memang di sinilah jebakn Iblis menyamar seperti Malaikat Jibril yang sedang mengantarkan buroq.
Jika tidak memiliki pengalaman di syariat, yakni pada syariat itu benar-benar tertulis tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad Saw, begitupun Allah SWT tidak akan pernah mengubah janjiNya, maka dia pasti akan begitu mudah terjebak oleh tipu daya Iblis. Oleh karenanya, pendalaman syariat itu sangat perlu sebelum memasuki mahkam ini.
Untuk mencapai level tajalli bukanlah kehendak kita, melainkan dari kehendak Allah SWT itu sendiri. Namun tidak semudah itu untuk mencapai tajalli. Ada dua tahap yang harus dilalui, yakni takhalli dan tahalli. Takhalli ini artinya menarik diri, ada yang mengatakan pengosongan, lalu apa yang harus kita kosongkan? Tidak lain adalah jika anda tidak mampu berbuat kebaikan, paling tidak janganlah membuat kejahatan, diri ini harus dikosongkan dari perbuatan maupun niat jahat, seperti hasad, iri, dengki, gosip, dan sebagainya.
Kemudian yang kedua adalah tahalli, yang artinya berhias, ada yang mngatakn pengisian, dan apa yang harus dihias atau diisi pada diri kita? Tentunya adalah perbuatan-perbuatan terpuji yang disertai dengan hati yang ikhlas dan tujuan niat yang jelas, seperti menolong, banyak beribadah, qanaah, jujur, positif thinking, dan sebagainya. Kedua tahap tersebut hanyalah upaya untuk bertaqarrub kepada Allah, lalu supaya sampai ke tajalli, tentunya Allah sendiri yang berkenang untuk menyingkapkan tabir penghalang pada diri kita, sehingga kita bisa berma'rifat kepadaNya.
Lalu sebelum sampai ma'rifat, kita tentunya tidak terlepas dari syariat, tarikat dan hakikat.
Lalu apa yang dimaksud dengan syariat, tarikat, hakikat dan ma'rifat?
Menurut saya pribadi yang masih awam akan hal ini, yang semoga juga tidak terlepas dari pengertian umumnya, syariat itu adalah undang-undang atau pedoman, dan tentunya syariat Islam adalah al Qur'an dan al Hadits.
Kemudian prakteknya, yakni tata cara yang sudah dicontohkan dan tertulis dalam syariat atau kitab pedoman, itulah yang disebut tarikat.
Lalu supaya tidak asal mengerjakan saja, maka sangat diperlukan keikhlasan dengan tujuan niat yang jelas, itulah hakikatnya.
Barulah takhalli dan tahalli dilakukan.
Setelah tahu syariat, tata caranya dan tujuan hakikinya, tentunya tidak akan salah amalannya, apa yang perlu dikosongkan (takhalli) dan apa yang perlu diisikan (tahalli), ketika sampai pada tajalli, maka disitulah pasti anda bisa berma'rifat atau mengenal.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H