Kami berumah tangga dari tahun 2018. Kami menikah melalui pernikahan sesama anak pesantren yang lebih di kenal dengan pernikahan mubarokah. Saat kami mengikuti pernikahan mubarokah, kami belum pernah kenal sama sekali. Hanya melihat foto itupun H-1 sebelum akad nikah.Â
Jadi, tantangan setelah menikah sangat banyak. Selain, kami belum saling kenal, di tambah lagi si istri memang belum jago masak. Alasanya si dia adalah saat menjadi santri dan pengasuh tidak pernah masak di pesantren.Â
Karena memang alasannya masuk akal, sehingga aku yang memang sudah siap menerima dia apa adanya hanya diam saja. Dan aku biasanya hanya masak yang aku bisa.
Aku dengan istri juga berbeda suku aku suku Aceh dia suku Jawa. Dia suka pedas aku tidak suka pedas. Jadi, memang keluarga kecilku penuh dengan tantangannya sendiri.Â
Karena beda rasa kadang -- kadang masakkannya di bedakan sama istri. Karena memang aku sudah bilang kalau masalah selera kita masing -- masing dan jangan terlalu memaksakan sama jika memang tidak suka.
Masalah cuci pakaian kadang kami sering gentian. Biasanya dia yang nyuci aku yang jemurkan atau sebaliknya. Intinya tidak ada pemaksaan dan tidak ada yang merasa di paksa.Â
Maklum, aku dengan dia sekarang jauh dengan orangtua dari kedua keluarga artinya keluarga dia di Jawa keluarga aku jauh di Aceh Barat. Sedangkan kami tinggal di Aceh Tenggara jauhnya dengan Aceh Barat sekitar 18 jam perjalanan darat, artinya memang benar -- benar jauh.
Sekarang kami sudah di karunia seorang anak perempuan yang imut sudah berumur satu tahun dua bulan. Kadang -- kadang saat dia sakit aku semua yang mandikan anak. Sering dia mengeluh capek karena seharian jaga anak.Â
Aku yang memang suami nya dia dan orang yang mungkin dia minta bantu sering berganti peran dengan mencuci piring, mencuci baju dan melakukan semua yang biasa si dia lakukan. Bagiku itu tidak masalah selama kami hidup bahagia.
Karena kami berdua sama -- sama mengajar di sekolah. Kadang aku masak sendiri di pagi hari sebab dia masuk pagi untuk mengajar. Apalagi si anak sekarang sedang aktif kadang -- kadang dia mengeluh capek. Dan saat itu aku terus membantu dia untuk segera menghibur si anak supaya ibunya bisa istirahat.
 Bagiku berganti peran dengan istri bukan lah masalah harga diri suami akan jatuh. Maklum kampungku menganggap seorang suami cukup mencari nafkah. Dan urusan rumah semua istri yang lakukan.Â
Oleh karena itu, saat kami pulang kampung aku kena tegur oleh ibuku kata beliau masak anak laki -- laki masih mencuci pakaian padahal sudah menikah.Â
Aku yang memang mengerti dengan istriku hanya bisa memberi pemahaman ke ibuku bahwa kami itu selalu bekerjasama karena kami sudah biasa hidup di rantau orang sendiri dan jika kami tidak saling membantu siapa lagi yang mengerti kondisi kami.
Akhirnya ibuku paham dan setelah itu ibuku hanya melihat saja bagaimana kami selalu bekerjasama dalam melakukan pekerjaan rumah di kampung. Memang daerah aku sudah menjadi tradisi jika istri semua yang melakukan pekerjaan rumah. Malah, kadang -- kadang istri juga membantu suami di sawah atau di lading.
Walaupun aku sendiri merasa capek. Akan tetapi aku juga memahami bahwa dia juga sangat capek. Karena dia yang harus memikirkan anak dan suaminya, tukar peran rumah tangga menurut aku sangat perlu untuk juga mengerti bagaimana istri capek.Â
Contohnya mencuci piring, dengan tukar peran rumah tangga maka saat aku makan aku juga tidak sembarang menggunakan banyak piring atau sengaja sedikit kotor tidak mau pakai lagi. Jika begitu kelakuan suami terhadap istrinya tentu itu sangat membuat keluarga tidak nyaman.
Dengan tukar peran rumah tangga maka akan ada saling mengerti dan saling mengakui kesalahan. Jika melakukan kesalahan oleh salah satu pihak, bisa jadi aku yang salah sebagai suami atau  bisa dia sebagai istri. Akan tetapi itu semua tidak membuat saling membenci malah semakin hari semakin memahami.
Sudah dua tahun pernikahan kami, baru aku mulai merasakan beradaptasi dengan kelakuan istriku, ternyata dia memang tipe perempuan yang mau bekerjasama.Â
Sebab dia dulu kan sebagai santri, yang selalu makan bersama. Sehingga dia sering bilang bahwa tukar peran rumah tangga adalah hal yang paling dia sukai karena sangat meringankan pekerjaan dia.Â
Oleh karena itu, dalam rumah tangga kadang -- kadang sangat perlu sesering mungkin untuk tukar peran untuk merasakan rasa peka atau rasa empati antar suami dan istri.Â
Sekarang kami sudah solid kerjasama antar suami dan istri mengingat pernikahan kami yang sudah dua tahun lebih. Jadi, sekarang menjadi semakin mudah memahami satu dengan lainnya. Padahal, pertama menikah dulu kami benar -- benar tidak saling kenal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H