Mohon tunggu...
Nasrul
Nasrul Mohon Tunggu... Guru - nasrul2025@gmail.com

Pengajar sains namun senang menulis tentang dunia pendidikan, bola dan politik, hobi jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jujur, Kultur yang Mulai Menghilang

1 November 2020   21:11 Diperbarui: 1 November 2020   21:17 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di zaman modern ini semua aspek mahal dan sulit di jangkau. Dari kebutuhan pokok sampai kebutuhan pendidikan. Oleh karena itu, tidak heran dengan kehidupan yang semakin sulit dan ekonomi yang semakin susah banyak orang melakukan hal -- hal yang tidak pantas untuk mencapai suatu tujuan hidupnya. 

Salah satu hal yang tidak pantas adalah berkurangnya orang yang jujur. Berkurangnya orang tidak jujur di sebabkan oleh terjepitnya ekonomi yang semakin susah. Dan biasanya orang berani tidak jujur juga untuk menjadi pemimpin, coba anda lihat calon anggota dewan perwakilan rakyat sebelum dengan sesudah mereka terpilih, jauh sekali perbedaanya. Padahal, saat kampanye mereka menjanjikan kami akan membangun ini, itu dan itu. Setelah terpilih tidak ada satupun yang dijanjikan dipenuhi.

Banyaknya pemimpin yang tidak jujur diakibatkan dari kultur budaya kita yang sudah menganggap remeh orang tidak jujur, atau sudah menganggap tidak jujur suatu perbuatan biasa. Sehingga setiap tahun kita selalu memilih pemimpin yang tidak jujur dan sepertinya kita lebih dari keledai. Karena keledai dua kali terjerembab kedalam lubang yang sama. Lah, kita setiap tahun selalu memilih pemimpin yang tidak jujur. Dan masalahnya lagi pemimpin ini seperti tidak ada niat untuk mengubah dirinya sendiri alias tidak tobat -- tobatnya.

Nilai kejujuran itu sangat penting dan agama Islam sangat melarang orang berkata tidak jujur atau berdusta karena itu dosa dan dampak kerusakkannya sangat parah. Coba kita lihat sekarang dimana -- mana nilai kejujuran manusia sudah mulai menghilang, terutama jika berhadapan yang namanya uang dan jabatan. 

Seakan -- akan jika jujur tidak bisa mendapatkan uang. Misalkan di pasar, hampir semua orang di pasar itu tidak jujur, ada saja yang mereka tipu dengan bilang ini barangnya baguslah, ini harganya lebih murah daripada toko sana, toko sini, dan semuanya baik lah. Tapi di saat kita sudah membeli. Oh, ini yang rusak, apa juga bagus. Oh, harganya ini lebih mahal, ternyata kita sudah kena tipu, begitu seterusnya jika tidak teliti dalam membeli barang di pasar. Padahal, sebenarnya kita malas memeriksa barang. Kita butuh hanya penjelasaan saja dari penjual. Tapi penjualnya tidak jujur.

Jika nilai kejujuran benar -- benar di lakukan oleh kita sekarang, maka tidak akan sulit semua kehidupan manusia. Kita mempunyai pemimpin yang jujur dan tentu rakyatnya makmur semua. Kita mendapati anggota dewan perwakilan rakyat yang jujur tentu semua aspirasi kita di terima dan di buatkan undang -- undang. Itu semua hanya hayalan tapi kita yakin dengan pendidikan karakter yang ketat untuk anak -- anak kita yang kita sedang didik maka suatu saat kita akan ada yang banyak muncul orang -- orang jujur.

Nilai jujur sebenarnya kultur budaya orang Indonesia asli. Kultur jujur ini sangat melekat sehingga orang Indonesia zaman dulu tidak pandai menipu atau berkata bohong sebab memang dari kecil sudah di doktrin untuk selalu jujur. Karena orang Indonesia juga mayoritas agama Islam yang sangat melarang orang berkata tidak jujur atau berdusta. Oleh karena itu, kita sering bertanya kapan kira -- kira mulai tidak jujur. Mungkin kita mulai tidak jujur adalah sejak kita mulai di jajah oleh Negara asing. 

Tidak bisa di pungkiri bahwa zaman penjajahan mereka selalu melakukan tipu muslihat untuk melawan orang -- orang Indonesia. Tipu muslihat mereka yang terkenal adalah adu domba. Kita di adu dengan sesama kita. Padahal, kita sudah lama bersaudara dan ternyata kita bisa menjadi saling bermusuhan, diakibatkan oleh pengaruh penjajah yang tidak senang dengan budaya kultur kita saling menyayangi dan selalu jujur. Oleh karena itu, kita harus segera menghilangkan sifat tidak jujur dan kembali menjadi orang jujur serta kembali ke kultur kita yang asli yaitu menjadikan jujur budaya kita kembali.

Walaupun terkesan sulit mencari orang -- orang yang tidak jujur tapi kita selalu optimis pasti ada malaikat yang tidak bersayap orang jujur yang mau menolong kita dan tentu juga mau menasehati kita di saat kita mau tidak jujur. Ada kisah nyata dari penulis mengenai orang yang jujur ini. Pada saat penulis mengurus kartu tanda penduduk (KTP) di kantor pencatatan sipil. Semua orang yang penulis temui selalu bilang pakai uang saja. Penulis tanya berapa harus keluarkan uang untuk mengurus KTP, mereka bilang seratus ribu saja. Penulis langsung merasa disambar petir karena uang seratus ribu rupiah sangat besar bagi penulis.

Karena pakai uang sangat besar nominalnya maka penulis mau tidak mau harus mengurus sendiri ke kantor capil. Berhubung sedang masa pandemi covid 19 maka kantor di buka tapi terbatas, tapi urus KTP masih bisa hanya dengan mengirimkan berkas lewat  aplikasi elektronik Whatsapp (WA). Akhirnya dengan bantuan teman penulis dengan percaya diri mengirmkan lewat WA. Dan WA nya di balas katanya dalam satu minggu KTP sudah bisa di ambil dengan syarat alat cetak KTP tidak rusak.

Setelah satu minggu penulis datang ke kantor capil dengan harapan KTP sudah siap. Ternyata oh ternyata KTPnya belum siap. Mereka bilang masih di proses. Setelah penulis berbincang -- bincang dengan petugas, satu orang bapak -- bapak bertanya kepada penulis, udah berapa lama. Penulis bilang sudah satu minggu, langsung bapak itu bilang saya sudah tiga bulan belum siap KTPnya. Bapak itu cerita yang intinya jika tidak pakai orang dalam atau tidak pakai uang maka jangan harap  KTPnya siap. Di sini penulis langsung berpikir bagaimana cara KTP siap dan tidak keluar uang.

Di saat penulis mau pulang penulis melihat ada nomor WA pengaduan. Penulis mencoba menghubungi nomor WA pengaduan, ternyata ada balasan. Karena ada balasan dan respon nya sangat baik, penulis merasa ada harapan baru. Dengan segera penulis mengirimkan berkas membuat KTP dan kata bidang pengaduan harap menunggu dan dua hari kemudian di kasih tau bahwa KTPnya sudah siap  dan sudah boleh di ambil. Penulis Sangat bersykur akhirnya bertemu dengan malaikat tidak bersayap. Akhirnya bahagia KTP siap dan tidak keluar uang dan dengan cara yang jujur.

Dengan pengalaman penulis tadi dan itu kisah nyata bahwa kita percaya masih ada orang -- orang jujur di Indonesia. Oleh karena itu, teruslah mengedukasi anak -- anak kita untuk selalu jujur dan jangan takut untuk berkata jujur. Kadang kita Cuma bisa memberi contoh tapi sulit menjadi contoh dan nilai kejujuran akan terus tumbuh dengan orang -- orang yang selalu menjadi contoh.

Tulisan ini untuk Bapak dan Ibu yang selalu mengajari penulis untuk selalu menjadi manusia jujur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun