Suasana desaku yang asri hampir tidak ada penambangan atau pengrusakkan hutan semua berubah sejak tahun 2004. Semua bermula saat terjadi Gempa dan Tsunami Aceh pada tanggal 26 Desember 2004.
Jujur, aku sangat ingat karena peristiwa yang besar dan merubah segala kehidupanku ini. Bermula dengan Gempa dan disusul dengan Air Bah besar yang dating dari laut. Seakan, tidak percaya, mana mungkin air laut bisa naik ke darat. Tapi, Air laut atau yang lebih dikenal dengan Tsunami benar -- benar naik ke darat dan menghantam semua rumah -- rumah dan mungkin  mimpi -- mimpi anak muda.
Tsunami yang di awali dengan gempa duluan ini terjadi tepat di pagi minggu. Aku saat itu sedang belajar. Tapi tiba -- tiba tempat aku belajar bergetar dengan sangat hebat sehingga aku langsung lari keluar rumah.
Aku melihat pohon --pohon di sekitar rumahku benar -- benar berayun dengan sangat kencang bagaikan badai. Padahal, Gempa Bumi yang sangat besar sedang terjadi.
Setelah terjadi Gempa aku minta izin sama ibu untuk pergi ke masjid, kata orang masjid kami yang sedang dibangun roboh. Aku pergi dengan sepeda dan setiba di masjid aku lihat mesjidnya yang sedang dibangun benar -- benar hancur dibagian yang sedang dibangun yaitu depan teras masjid sehingga jikalau mau masuk masjid tidak bisa lagi kecuali di bersihkan.
Tidak lama aku melihat masjid dan aku mendengar orang berlarian katanya air laut naik  sehingga aku lamgsung pulang ke rumah di depan lorong rumahku aku bertemu ibu, 2 kakak dan abang. Aku di ajak terus berlari dan sepeda aku, Aku letakkan saja karena tidak mungkin lagi di bawah sebab air laut sudah mulai mendekat.
Di saat berlari aku melihat ombak besar sedang menghantam apapun yang ada di depannya. Aku terus memegang tangan ibu dengan erat -- erat. Dan sampai pada pertengahan  jalan air laut naik di atas jalan aspal dan menghantam kami berempat dan banyak penduduk desa lainnya.
Aku pun merasa seperti tertarik oleh air tsunami. Kakakku terhempas karena tidak kuat berpegangan beruntung Omku bisa menyelamatkannya. Kami berempat akhirnya naik ke rumah orang yang dua tingkat, rumahnya semi permanen seperti ruko tapi ini rumah.
Di atas rumah orang aku tetap berdo'a kepada Allah swt agar di selamatkan. Di situ aku merasa aku tidak bisa apa -- apa. Aku benar -- benar pasrah apa yang terjadi nanti sedangkan ibuku masih mengingat adikku yang entah kemana dan juga ayahku.
Di atas tingkat dua rumah orang, Aku terus membaca tahlil "laailahailallah" karena Cuma itu yang aku bisa dan dalam hati kecilku aku bernazam jika Allah swt kasih kesempatan hidup aku akan berubah menjadi seorang yang taat.
Kami dengan beberapa orang yang lain di atas rumah, bertahaan sekitar 15 menit  kemudian air laut langsung surut. Tidak lama kemudian tentara datang dan bilang gelombang laut yang kedua naik. Kemudian kami segera di evakuasi untuk naik mobil tentara dan langsung di angkut ke daerah yang lebih tinggi atau kami sering sebut sebagai ALPEN singkatan dari Alue Penyareng.
Setelah tiba di sana ternyata adik sudah duluan lari dengan adik ibu yang lain. Dan juga sudah berkumpul semua keluarga besar kami. Hari itu benar -- benar mencekam dan mobil mayat terus berdatangan. Aku bersyukur tidak ada satu orangpun yang meninggal dari musibah Tsunami.Â
Ayah, ternyata larinya lurus sedangkan kami ikuti jalan besar sehingga Ayah duluan sampai daripada kami. Maklum Ayahku kan sudah biasa pergi ke hutan deres karet sehingga wajar beliau bisa lurus karena sudah menguasai medan.
Malam kejadian aku tidur di tenda. Keluargaku membuat tenda darurat. Tapi karena banyak anak kecil sehingga yang besar tidur diluar tenda. Aku tidak tahu seandainya aku punya anak saat kejadian seperti itu.
Namun, Ayahku benar -- benar pahlawan bisa mengakomodir semua keluarga besarku. Beliau dengan sigap mencari makanan dan tempat tinggal sementara.......BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H