Nasrudin Joha - MK adalah lembaga tinggi negara yang memiliki tugas, di antaranya mengadili sengketa hasil pemilu. Namun, bagi orang politik membawa perkara ke MK itu sama saja mengubur harapan. Kenapa? Ada beberapa argumentasi.
Pertama, MK tidak memiliki kewenangan menetapkan pemenang Pemilu, baik Pileg, Pilpres, maupun Pilkada. MK hanya mengadili sah tidaknya keputusan dari otoritas pemilu, baik KPU maupun KPUD.
Jadi, MK laksana lembaga peradilan tata usaha negara dalam arti luas. Putusan TUN tidak akan bernilai, jika tidak ditindaklanjuti oleh pejabat TUN. Bahkan, bisa saja hanya menang di atas kertas.
Baik PTUN maupun MK, putusannya tidak memiliki kekuatan eksekutorial kecuali atas ketundukan badan atau pejabat TUN yang mau menjalankan putusan TUN secara sukarela. Begitu juga MK, putusan itu bergantung pada ketundukan KPU atau KPUD.
Kedua, umumnya partai atau calon yang kalah menuding pihak yang menang melakukan kecurangan dalam pemilihan. Karenanya, MK lebih nyaman memutus menolak permohonan partai atau calon ketimbang meluluskannya, meskipun pasangan calon lawan melakukan kecurangan.
Adagium politik yang berkembang, semua melakukan curang hanya intensitasnya saja yang beragam. Memutus yang kalah adalah kalah, jauh minim Resiko ketimbang memutus yang menang kalah, atau yang kalah menjadi menang.
Ketiga, pada kasus Pilkada substansinya bukan pada curang atau tidak curang. Tetapi selisih suara yang signifikan. Seorang calon kepala daerah, bisa curang secara terstruktur, sistematis dan masif, namun tidak akan bisa dipersoalkan ke MK jika selisihnya signifikan. Melebihi 2 sampai 5 % dengan pihak yang dikalahkan selaku pemohon.
Pada kasus ini, MK tidak mau pusing melihat substansi permohonan. MK hanya fokus kepada selisih suara antara pemohon dengan pihak yang dimenangkan KPUD. Jika selisih suara melebihi batas ambang gugatan, maka putusan sudah pasti ditolak. MK lebih ringan pekerjaannya tanpa perlu repot memeriksa bukti berkarung-karung yang menbuat pusing kepala.
Keempat, boleh dikatakan nyaris tidak ada putusan MK yang memenangkan sengketa pemilu atau Pilpres, kecuali sedikit. Yang dimenangkan MK juga hanya mengulang pemilihan di beberapa tempat, bukan otomatis membatalkan pemenang dan menetapkan pemohon menjadi pemenang.
Boleh dikatakan, semua permohonan PHPU (Perselisihan Hasil Pemungutan Suara) di MK berujung kekalahan. Baik itu Pilpres maupun Pilkada, semua harapan menang dikubur oleh MK.
Karena itu, jika ada dugaan kuat rezim curang dalam Pilpres maka membawa perkara ke MK merupakan tindakan mengubur harapan. Sekali lagi, kecurangan itu merupakan Langkah politik calon atau partai untuk menang. Jadi, ini pelanggaran politik bukan pelanggaran hukum.