Nasrudin Joha - Lagi, KPK menahan anggota DPR RI karena kasus E KTP. Kali ini, anggota DPR dari Fraksi Golkar yang ditahan, namanya Markus Nari. Markus mengikuti jejak kolega separtainya, Setya Novanto yang saat itu menjabat Ketum Golkar, tersangkut kasus e KTP.
Markus akhirnya mengenakan rompi tahanan warna oranye dan kemeja putih. Selanjutnya, hari-hari Markus akan sangat sepi, sunyi, kosong, hampa, tanpa ada teman yang menemani.
Kasus Markus akan semakin memukul elektabilitas Partai Golkar, setelah belum lama ini Bowo Golkar keciduk KPK. Markus pasti akan menggerus suara Golkar, yang konon katanya suara rakyat.
Selanjutnya, kasus yang membikin gempar ini semakin membuat elektabilitas Jokowi makin terkapar. Berturut-turut, sejak Rommy PPP, Bowo Golkar hingga Markus, orang di barisan politik Jokowi terkena kasus korupsi.
KPK nampaknya memanfaatkan betul, periode kampanye Pemilu ini untuk maksimal menangkap tikus-tikus berdasi. Kerja KPK akan lebih mulus di era ini, karena partai dan penguasa tak memiliki energi lebih untuk melakukan 'intervensi kasus' karena sedang berfokus pada pemilu.
Pada Kasus Markus ini KPK cukup berani, menetapkan tersangka pada momentum kampanye Pilpres, berdasarkan pengembangan bukan hasil OTT. Jelas, kegiatan ini bisa dipersoalkan partai dan penguasa jika saja kondisinya tidak sedang dalam Pilpres.
Namun, Gawe pemilu dan Pilpres membuat partai tidak berdaya, tidak bisa 'melindungi' kadernya. Jika pun langkah ini diambil, selain tidak mungkin menyelamatkan kader tetapi juga akan memperpuruk citra dan elektabilitas partai.
Yang paling mungkin, partai mengeksploitasi kasus OTT atau korupsi yang dialami kader, dengan melepaskannya, tidak memberi bantuan hukum, segera memecatnya, untuk menunjukan komitmen partai tegas dalam mendisiplinkan anggota yang terkena kasus korupsi.
Itu juga yang dilakukan kubu Jokowi, bahkan terkadang menjual ujaran 'hukum tajam keatas' untuk mengubah keterpurukan posisi dari dakwaan publik sebagai 'kubangan orang korup' menjadi sikap komitmen dalam pemberantasan korupsi. Ya, begitulah. Dianggap rakyat semua bodoh dan tak pernah membaca tulisan Nasrudin Joha.
Sekali lagi, itulah bangkai-bangkai politik. Baunya busuknya sangat menyengat, tidak mungkin tidak terindera. Publik menutup hidung bukan karena tak bisa mencium aroma korupsi, justru saking busuknya bau korupsi maka publik menutup hidung untuk mengurangi dampak negatifnya.
Kasus Markus akan berimbas pada Jokowi. Urutan penalarannya : Markus kader Golkar, Golkar anggota TKN, TKN kubu politik yang mengusung Jokowi. Namun untuk menilai daya rusaknya, tentu akan berbeda kadar dengan OTT Rommy atau OTT Bowo.
Makanya, publik juga heran. Dengan segudang kasus kok masih saja ada lembaga survei menabur bedak tebal ke wajah rezim, dengan mengunggah racauan survei yang menyebut petahana unggul sekian persen dari kubu penantang. Tapi, cara terbaik menghormati badut itu ya menertawakannya. Karena itu, ayo tertawa bersama untuk survei lucu-lucuan ini. Hahahaha. [].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H