Syah saja, forum Seminar Internasional ini, terkesan dipaksakan. Bayangkan, Anjungan Idrus Tintin di Bandar Serai itu, hanya diisi oleh total pengunjung lebih kurang 115 orang, termasuk kalangan Panitia Penyelenggara. Empat orang di antaranya berasal dari guru dikenakan uang seminar Rp110 ribu-per orang, sisanya mahasiswa Program Studi Sendratasik FKIP-UIR yang diwajibkan mengikuti seminar dengan beban bayaran Rp 50 ribu per-mahasiswa."Sepertinya seminar aba-abal," tutur seorang peserta seminar.
Dengan tarif sekecil itu, wajar jika peserta hanya diberikan poto-kopi- an tiga eksemplar makalah dari tiga invitee speakers, satu eksempelar noote book kecil serta sebuah pena yang dikemas dalam map plastik sederhana. Jika dikaji saksama, uang yang diperoleh dari peserta tentulah sangat minim untuk menalangi dana sebuah Seminar Internasional.
"Lantas dari mana dana diraih panitya?" ini yang jadi pertanyaan. Yang lebih mengherankan justru penyelegara Seminar Internasional ini adalah Yayasan Kesenian Riau. Bukan kalangan perguruan tinggi. Hal ini terbukti dari sertifikat yang diterima peserta usai seminar.
"Lucunya lagi, sertifikat mirip sertifikat kursus bengkel dengan melampirkan jadwal dan nama pembicara di bagian belakang sertifikat. Sertifikat juga ditanda tangani Pembina Yayasan Kesenian Riau. Bukan Ketua Panitia Penyelenggara yang menandatangani," katanya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, semua prosesi acara ini tidak terlepas dari ambisi pihak Panita Penyelenggara yakni Idawati dan Arman. Kedua orang ini--alumni FKIP-UIR dan Arman tengah mengikuti Program Doktoral di UPSI--diyakini sebagai aktor yang berperan menghadirkan Prof. Madya Mohd. Hassan ke seminar tersebut.
Kemudian menggaung-gaungkannya sebagai Guru Besar agar seminar ini memiliki kredibilitas di mata publik.
"Arman sendiri adalah pelajar/mahasiswa bimbingan Prof. Mohd. Hassan," kata sumber. Sedangkan Idawati masih berstatus Dosen Kontrak di Program Studi Sentratasik, FKIP-UIR.
Yayasan Kesenian Riau sendiri, berdasarkan informasi, diduga sudah yang kedua kalinya menyelenggarakan even. Even pertama diselengarakan tahun 2007 dengan pergelaran Opera Melayu Tun Teja. "Saat itu, Ketua Yayasan Kesenian Riau masih dijabat alm. Hasan.
"Setelah itu kegiatan Yayasan Kesenian Riau, lama vakum. Kemudian yah, yang tanggal 4 November 2017 ini. Jadi, sudah dua kali kegiatan," katanya.
Beberapa pekerti yang ditarik sebagai simpulan dari acara ini adalah: Kesatu, tercorengnya reputasi UPSI karena mengirim Prof. Madya, Mohd Hassan sebagai delegasi kemudian merekayasa gelar sebagai Guru Besar. Kedua, penyelenggaraan seminar Internasional yang diduga terindikasi pelanggaran akademik karena tidak memenuhi standar yang berlaku.
Ketiga, Yayasan Kesenian Riau, sebagai penyelenggara Seminar Internasional ini, yang diduga mengambil alih peran perguruan tinggi atau universitas sebagai pihak yang berwenang menyelenggarakan forum-forum ilmiah-intlektual antarnegara, seperti Seminar Internasional.