Mohon tunggu...
Nasruddin Leu Ata
Nasruddin Leu Ata Mohon Tunggu... Lainnya - Pengangguran Berbakat

Menulis apa saja yang jauh lebih matang dari kesepian

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Akhir Buruk Program Merdeka Belajar

29 Oktober 2024   13:03 Diperbarui: 29 Oktober 2024   13:03 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari ini pelajar dari berbagai daerah di Indonesia menjadi viral di media sosial karena gagal menjawab pertanyaan sepele yang dilontarkan para YouTuber dan Tiktokers, seperti "Apa Nama Negara di Benua Eropa?" Siapakah Bapak Pendidikan Indonesia?"

Sekelompok siswa SMP tertawa-tawa dan tidak bisa menjawab dengan baik. Begitu pula ketika siswa ditanya soal matematika dasar tentang penjumlahan sambil mengenakan seragam, mereka bingung menjawabnya. 

Beberapa orang segera membuka ponselnya dan mencari jawaban. Bahkan ditemukan siswa sekolah menengah belum bisa membaca dan menulis dengan lancar. 

Sama menyedihkannya di tingkat universitas. Slogan "Kampus Merdeka" dan berbagai penghargaan kampus tidak serta merta berhubungan dengan kualitas individu mahasiswanya. Kualitas belajar siswa dalam berbagai aspek (afeksi, kognisi,  psikomotorik) cenderung lebih rendah dibandingkan  generasi  sebelumnya.

Kebiasaan membaca nya sangat rendah dan malas, namun pada saat tertentu dia sangat suka bermain game online, judi online, pinjaman online, nongkrong, minum kopi, menyembuhkan, dan kalaupun dia kritis saya suka dengan antusias memposting update di media sosial tentang apa yang terjadi. Meski peduli, mereka sangat lemah lembut dan takut menghadapi kenyataan hidup.

Itulah fakta dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini yang berbanding terbalik dengan jargon populer yang dicanangkan Kementerian Pendidikan di era mas Menteri Nadiem Makarim itu, yakni kata "Merdeka".

Diksi "Merdeka" itu ditempelkan di berbagai aspek strategis pendidikan yang seakan-akan menggambarkan kehebatan dan loncatan (leapfrogging), seperti merdeka belajar, kurikulum merdeka, kampus merdeka, dan lain sebagainya, namun yang memprihatinkan semua itu tidak membuat pendidikan menjadi bermakna, baik bagi peserta didik maupun pendidik itu sendiri.  Mengapa semua itu terjadi?

Pertama, secara filosofis kata "merdeka" yang digaungkan Mendikbud berobsesi menerjemahkan semangat kemandirian yang digagas oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara dalam proses pembelajaran. 

Di satu sisi semangat kemerdekaan belajar patut diapresiasi karena akan menciptakan kemerdekaan belajar murid-murid yang mandiri, namun di sisi lain menjadi poblematik ketika cita luhur itu tidak didukung oleh modal mendasar dalam pendidikan, yakni kemandirian berpikir.

Kemerdekaan atau kebebasan akan bernilai positif dan produktif jika pemegang hak kemerdekaan itu memiliki integritas dan otonomi berpikir logis. Permasalahannya adalah tradisi berpikir kritis dan otonom sangat langka di negeri ini, bahkan sejak dari pendidik (guru dan dosen), pemangku kepentingan lembaga pendidikan hingga peserta didik.

Lihatlah praktik pembelajaran sejak pendidikan dini dan dasar, indoktrinasi ideologis sudah ditanamkan sejak dini sehingga membelenggu kebebasan berpikir peserta pembelajar. Walhasil yang berkembang bukan ilmu pengetahuan dengan prinsip berpikir logis namun imperasi ideologis lebih mempengaruhi cara berpikirnya.

 Lihatlah beban pembelajaran anak-anak SD yang begitu berat karena jumlah matapelajaran yang begitu banyak, selain ilmu-ilmu umum seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, bahasa Indonesia, PKN, juga wajib menghafal pelajaran semacam fiqih, ibadah, tarikh, Alquran, hadist, praktik ibadah, dan seterusnya.

Kedua, sudah jamak diketahui bahwa administrasi dan birokrasi menjadi beban tersendiri bagi lembaga pendidikan di Indonesia. Administrasi dan birokrasi yang sebenarnya bertujuan untuk menatakelola pelayanan pendidikan menjadi lebih sistematis, terstruktur, rapi, tertib, rasional, dan efektif-efisien justru kontra-produktif karena pada kenyataannya administrasi dan birokrasi justru menjadi beban dan penghambat pelayanan.

Transformasi nilai yang menjadi tujuan administrasi dan birokrasi tidak tercapai namun justru mengalami instrumentalisasi. Artinya administrasi dan birokrasi hanya dijadikan alat ukur atau indikator kinerja baik bagi guru, dosen, maupun institusi pendidikan. 

Karena itulah guru, dosen, dan pengelola institusi energinya tercurahkan untuk mengejar indikator instrumental tersebut karena akan menentukan nasib, karir, dan reputasi sebuah lembaga pendidikan dan operator yang ada di dalamnya.

Ketiga, di era sekarang ini penggunaan teknologi digital online tak terhindarkan, demikian halnya di dunia pendidikan. Kebutuhan aplikasi teknologi tersebut pun merambah di berbagai aspek pelayanan pendidikan, sejak dari sistem informasi, data, pelayanan, pembelajaran, tatakelola kelembagaan, dll. 

Tuntutaan transformasi teknologi digital di satu sisi dan ketergantungan terhadap perangkat aplikasi digital dengan berbagai platformnya memposisikan bangsa ini menjadi pangsa pasar bagi produsen digital.

Lihatlah berbagai platform digital, korporasi provider internet, korporasi perangkat keras dan perangkat lunak teknologi informasi berpesta pora karena apapun yang dijual laris manis di negeri ini. 

Pemerintah bagaikan agen dan distributor produk berbagai aplikasi yang dengan kewenangan regulasi yang ada di tangannya mewajibkan seluruh subyek pendidikan sejak dari guru, dosen, siswa sekolah, mahasiswa, operator, dll untuk tunduk dan taat pada berbagai aplikasikan teknologi digital.

Keempat, tanggung jawab pendidikan yang disentralkan hanya pada pendidikan formal. 

Pemusatan tanggung jawab tersebut bukan hanya menyebabkan beban yang berlebihan bagi institusi pendidikan namun menyebabkan pengabaian institusi sosial lainnya yang seakan lepas tuntutan tanggung jawab jika terjadi persoalan yang dilakukan siswa pelajar sekolah, seperti tawuran antar pelajar, bullying, kekerasan, dan lain sebagainya.

Selayaknya tanggung jawab pendidikan bukan hanya disandarkan di pundak institusi pendidikan (sekolah dan kampus). Terdapat berbagai entitas sosial kemasyarakat mestinya mengambil sebagian peran pendidikan anak, seperti keluarga, tokoh masyarakat, lembaga adat, institusi agama, dll.

Dari 24 jam sehari alokasi waktu yang diambil sekolah hanya sekitar 7 jam, selebihnya yang lebih banyak adalah tugas institusi sosial di luar sekolah yang mestinya juga turut bertanggung jawab. Upaya penambahan porsi waktu pembelajaran bagi siswa dengan sistem full day tidak serta merta menjadi solusi jitu. Kontrol sosial harus ditingkatkan kohesifitasnya sehingga proses pendidikan adalah tanggung jawab bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun