Lihatlah beban pembelajaran anak-anak SD yang begitu berat karena jumlah matapelajaran yang begitu banyak, selain ilmu-ilmu umum seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, bahasa Indonesia, PKN, juga wajib menghafal pelajaran semacam fiqih, ibadah, tarikh, Alquran, hadist, praktik ibadah, dan seterusnya.
Kedua, sudah jamak diketahui bahwa administrasi dan birokrasi menjadi beban tersendiri bagi lembaga pendidikan di Indonesia. Administrasi dan birokrasi yang sebenarnya bertujuan untuk menatakelola pelayanan pendidikan menjadi lebih sistematis, terstruktur, rapi, tertib, rasional, dan efektif-efisien justru kontra-produktif karena pada kenyataannya administrasi dan birokrasi justru menjadi beban dan penghambat pelayanan.
Transformasi nilai yang menjadi tujuan administrasi dan birokrasi tidak tercapai namun justru mengalami instrumentalisasi. Artinya administrasi dan birokrasi hanya dijadikan alat ukur atau indikator kinerja baik bagi guru, dosen, maupun institusi pendidikan.Â
Karena itulah guru, dosen, dan pengelola institusi energinya tercurahkan untuk mengejar indikator instrumental tersebut karena akan menentukan nasib, karir, dan reputasi sebuah lembaga pendidikan dan operator yang ada di dalamnya.
Ketiga, di era sekarang ini penggunaan teknologi digital online tak terhindarkan, demikian halnya di dunia pendidikan. Kebutuhan aplikasi teknologi tersebut pun merambah di berbagai aspek pelayanan pendidikan, sejak dari sistem informasi, data, pelayanan, pembelajaran, tatakelola kelembagaan, dll.Â
Tuntutaan transformasi teknologi digital di satu sisi dan ketergantungan terhadap perangkat aplikasi digital dengan berbagai platformnya memposisikan bangsa ini menjadi pangsa pasar bagi produsen digital.
Lihatlah berbagai platform digital, korporasi provider internet, korporasi perangkat keras dan perangkat lunak teknologi informasi berpesta pora karena apapun yang dijual laris manis di negeri ini.Â
Pemerintah bagaikan agen dan distributor produk berbagai aplikasi yang dengan kewenangan regulasi yang ada di tangannya mewajibkan seluruh subyek pendidikan sejak dari guru, dosen, siswa sekolah, mahasiswa, operator, dll untuk tunduk dan taat pada berbagai aplikasikan teknologi digital.
Keempat, tanggung jawab pendidikan yang disentralkan hanya pada pendidikan formal.Â
Pemusatan tanggung jawab tersebut bukan hanya menyebabkan beban yang berlebihan bagi institusi pendidikan namun menyebabkan pengabaian institusi sosial lainnya yang seakan lepas tuntutan tanggung jawab jika terjadi persoalan yang dilakukan siswa pelajar sekolah, seperti tawuran antar pelajar, bullying, kekerasan, dan lain sebagainya.
Selayaknya tanggung jawab pendidikan bukan hanya disandarkan di pundak institusi pendidikan (sekolah dan kampus). Terdapat berbagai entitas sosial kemasyarakat mestinya mengambil sebagian peran pendidikan anak, seperti keluarga, tokoh masyarakat, lembaga adat, institusi agama, dll.