Pagi itu, usai menandaskan sepiring penuh bubur kacang ijo sontak saya terkejut dengan kabar kunjungan kami ke kabupaten dipercepat. Jadwal keperangkatan dimajukan siang itu juga. Sial, saya belum ada persiapaan. Paling tidak kebutuhan akan apa yang mau saya kenakan itu cukup, lagipula semua pakaiyan masih di tempat laundry.Â
Saya pikir jadwal awal itu tidak dirubah oleh atasan, setidaknya saya punya sedikit waktu guna mempersiapkan semua hal yang diperlukan terutama soal kebutuhan kerja. Sebab jadwal seharusnya seminggu lagi dan saya rasa itu cukup.Â
Tapi apalah daya saya yang hanya karyawan biasa, semua keluhan itu tak cukup kuat sebagai alasan. Atas nama profesionalitas kerja dan ketergantungan yang mengikat, Â perubahan-perubahan itu sudah menjadi sarapan saya di kantor, everyday!
Ow iya, saya bekerja disalah satu instansi pemerintahan di Kota Semarang, Jawa Tengah. Kami punya agenda rutin kunjungan kerja ke kabapaten-kabupaten se-Jawa Tengah, dan Saya yang ditugaskan ke kabuapten Rembang waktu itu.Â
Dan saya pun berangkat dengan persiapan yang apa adanya. Bagi saya yang terpenting itu keperluan akan bahan dan alat kerja tercukpi. Â
***
Perjalan panjang dan melehkan itu berbuah manis, saya tibah di hotel dan bertemu dengan orang yang membawa kembali satu per satu mimpi-mimpi saya yang nyaris hilang dipaksa tuntutan dan keadaan. Entah kenapa dengan cara yang tak sengaja dan dalam rentan waktu yang singgkat kami begitu akrab, Didin namanya (inisial).Â
Malam itu, setelah menyeselaikan agenda hari pertama saya kami bertemu kembali di warung kopi. Saya di ajak kesana bertemu dengan orang-orang hebat dilingkungannya.Â
Malam semakin laurt dan kehausan tajam melanda kepalaku. Berderit ngilu. Akarku menggelepar dan segala hal tampak keliru. Seperti ada yang telah lama dilupakan dan memaksa tubuh untuk mengisi ruang-ruang kosong itu.Â
Ketika saya kemudian diajak ke rumhanya, saya membayangkan diriku bertelanjang kaki di atas lumut hutan. Mencari tempat pijakan baru, merasakan akarku kembali. Persis di rumah itu saya menemukan mimpi-mimpi saya.Â
Sesekali ia membawakanku dalam dunianya. Merasakan pencapaian yang saya dambakan. Jika saja mengambil hidup orang lain bukanlah sebuah ketamakan, saya pikir, saya ingin menjalani hidup seperti hidup milik orang itu. la tampak begitu damai dengan pergumulan bersama jiwanya sendiri.