Mohon tunggu...
Nasri Soulisa
Nasri Soulisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Nasri Soulisa, lahir pada tanggal 17 November 2002, di Negeri Lima, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Sebagai anak ke dua dari empat bersaudara, Saya memiliki keinginan yang beda dari saudara Saya. Dimana, menulis ialah patokan utama pada diri ini. Menulis, menulis dan menulis sampai diri kamu terlukis dalam pikiran manusia.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Promosikan Cagub, Bolehkah Dilakukan Presiden?

15 November 2024   07:44 Diperbarui: 15 November 2024   07:55 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Nasri Soulisa 

Penulis: Nasri Soulisa 

Indonesia ialah negara yang menganut sistem demokrasi, yakni berkedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Demokrasi sendiri merupakan pondasi guna terwujudnya kedaulatan rakyat, dimana suara dan aspirasi masyarakat menjadi titik tumpu penentu dalam pengambilan keputusan politik.

Dalam waktu dekat ini, Indonesia akan masuk dalam pesta demokrasi, dimana pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak akan dilakukan pada 27 November 2024 mendatang. Pilkada serentak kali ini merupakan yang kelima kalinya berlangsung di Indonesia, sekaligus menjadi yang pertama kali melibatkan seluruh provinsi, kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta. Dilansir dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU), total sebanyak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota di Indonesia terlibat dalam pesta demokrasi kali ini.

Pembahasan tidak akan melebar kesana. Baru-baru ini, Presiden sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, terang-terangan meminta dukungan terhadap warga Jawa Tengah untuk memberikan hak suaranya kepada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Ahmad Luthfi - Taj Yasin Maimoen. Penyampaian presiden tersebut diunggah langsung oleh akun @ahmadluthfiofficial pada 9 November 2024.

Perlu diketahui, salah satu unsur demokrasi ialah supremasi hukum yang bertujuan untuk menjaga stabilitas berbangsa dan bernegara. Lantas bagaimana Presiden memposisikan dirinya dalam hal ini? Sementara supremasi hukum telah berbicara jelas menyangkut hal demikian.

***BOLEHKAH PRESIDEN MEMPROMOSIKAN CALON GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR?

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 pasal 299 berbunyi, Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak malaksanakan kampanye. Undang-undang ini jelas mengizinkan kepala negara untuk melakukan kampanye. Selain itu para menteri juga mempunyai hak yang sama, kecuali TNI/Polri dan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dilarang keras untuk berkampanye dan atau meng-endorse pasangan calon manapun.

Kepala negara diperbolehkan untuk mengampanyekan pasangan calon tertentu, asalkan tidak menggunakan fasilitas negara, harus mengajukan cuti dan tidak berada dalam hari kerja atau dilakukan diluar hari kerja.

Selain itu, jika dilihat dari sudut pandang yang lain. Tentunya tindakan presiden dinilai sebagai cawe-cawe dalam pilkada Jawa Tengah. Mengapa demikian? Presiden secara langsung telah menyatakan dan meminta dukungan dalam hal ini membantu mempromosikan pasangan cagub nomor urut dua tersebut.

Presiden yang mana sebagai pejabat publik dan menjadi mandataris rakyat, sudah sepantasnya tidak menggiring dukungan publik untuk memilih cagub tertentu pada pilkada serentak ini. Sudah seyogianya proses Pemilukada harus berjalan tanpa endorsement presiden agar terlahir kepala daerah dengan nilai demokrasi yang kuat; yakni sesuai dengan pilihan rakyat.

Bukankah Pasal 281 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ditegaskan bahwa Pejabat Negara, Pejabat Struktural, Pejabat Fungsional dalam Jabatan Negeri, serta Kepala Desa dilarang membuat Keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.

Demikian tentunya jelas, jika dikaitkan dengan aturan ketatanegaraan dalam hal ini Undang-undang. Sebagimana pada Pasal 283 UU aquo juga menegaskan bahwa pejabat negara serta aparatur sipil negara dilarang melakukan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan untuk peserta pemilu, sebelum, selama dan sesudah kampanye.

Jika berkaca pada undang-undang Aquo Pasal 283, tentunya apa yang dilakukan oleh Presiden telah melanggar konstitusi dan atau aturan ketatanegaraan ini, jika merujuk ke poin tersebut. Demikian, presiden diminta sportif. Apabila tidak, maka hal itu menimbulkan pelanggaran berdasarkan TAP MPR No VI/MPRD/ 2001, tentang etika kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini mewajibkan dan atau mengharuskan setiap pejabat elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar serta memiliki keteladanan dan rendah hati.

***HARUSKAH PRESIDEN RANGKAP JABATAN?

Secara historis, rangkap jabatan presiden telah ada sejak era pemerintahan presiden pertama Ir. Soekarno, dimana selain menjabat sebagai presiden Ia juga menjabat sebagai ketua umum Partai Nasional Indonesia (PNI). Selanjutnya, dimasa kepemimpinan Soeharto, Ia juga menjabat sebagai ketua umum Partai Golkar. Keberlanjutan itu berjalan hingga era reformasi, dimana KH. Abdurrahman Wahid dimasa kepemimpinannya, ia juga menjabat sebagai ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Megawati Soekarnoputri dengan PDIP, hingga Susilo Bambang Yudhoyono dengan partai Demokrat, saat menjabat sebagai Presiden saat itu.

Dalam periode pemberlakuan konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan UUDS 1950, pasal 79 ayat (1), Konstitusi RIS dan Pasal 55 UUDS 1950 mengatur tentang larangan presiden untuk merangkap jabatan. Namun, setelah dikembalikannya pemberlakuan UUD 1945, peraturan terkait larangan rangkap jabatan presiden sudah tidak diatur lagi.

Indonesia berdasarkan konstitusional telah memasuki era reformasi yang mengadopsi sistem pemerintahan presidensial, dimana presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Hal ini tentunya perlu dilakukan pembatasan terhadap presiden terkait hal ini. Mengingat presiden memiliki posisi dan atau peran yang sangat penting. Mengapa demikian? Pembatasan perlu dilakukan agar kewenangan presiden tidak disalahgunakan.

Presiden sudah sepatutnya memposisikan dirinya sebagai kepala negara bukan ketua partai. Apalagi mencampuri urusan Pilkada yang seharusnya menjadi tanggung jawab Badan Pengawasan Pemilu dan juga Komisi Pemilihan Umum.

Asas-asas umum pemerintahan yang baik juga perlu diterapkan, agar jabatan dan wewenang tidak disalahgunakan. Seperti yang diungkapkan Prajudi Atmosudirjo tentang asas-asas pemerintahan yang baik ini, digunakan untuk mencegah penyalahgunaan jabatan dan juga untuk memelihara pemerintahan dan administrasi yang baik dan bersih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun