Bukankah Pasal 281 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ditegaskan bahwa Pejabat Negara, Pejabat Struktural, Pejabat Fungsional dalam Jabatan Negeri, serta Kepala Desa dilarang membuat Keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.
Demikian tentunya jelas, jika dikaitkan dengan aturan ketatanegaraan dalam hal ini Undang-undang. Sebagimana pada Pasal 283 UU aquo juga menegaskan bahwa pejabat negara serta aparatur sipil negara dilarang melakukan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan untuk peserta pemilu, sebelum, selama dan sesudah kampanye.
Jika berkaca pada undang-undang Aquo Pasal 283, tentunya apa yang dilakukan oleh Presiden telah melanggar konstitusi dan atau aturan ketatanegaraan ini, jika merujuk ke poin tersebut. Demikian, presiden diminta sportif. Apabila tidak, maka hal itu menimbulkan pelanggaran berdasarkan TAP MPR No VI/MPRD/ 2001, tentang etika kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini mewajibkan dan atau mengharuskan setiap pejabat elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar serta memiliki keteladanan dan rendah hati.
***HARUSKAH PRESIDEN RANGKAP JABATAN?
Secara historis, rangkap jabatan presiden telah ada sejak era pemerintahan presiden pertama Ir. Soekarno, dimana selain menjabat sebagai presiden Ia juga menjabat sebagai ketua umum Partai Nasional Indonesia (PNI). Selanjutnya, dimasa kepemimpinan Soeharto, Ia juga menjabat sebagai ketua umum Partai Golkar. Keberlanjutan itu berjalan hingga era reformasi, dimana KH. Abdurrahman Wahid dimasa kepemimpinannya, ia juga menjabat sebagai ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Megawati Soekarnoputri dengan PDIP, hingga Susilo Bambang Yudhoyono dengan partai Demokrat, saat menjabat sebagai Presiden saat itu.
Dalam periode pemberlakuan konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan UUDS 1950, pasal 79 ayat (1), Konstitusi RIS dan Pasal 55 UUDS 1950 mengatur tentang larangan presiden untuk merangkap jabatan. Namun, setelah dikembalikannya pemberlakuan UUD 1945, peraturan terkait larangan rangkap jabatan presiden sudah tidak diatur lagi.
Indonesia berdasarkan konstitusional telah memasuki era reformasi yang mengadopsi sistem pemerintahan presidensial, dimana presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Hal ini tentunya perlu dilakukan pembatasan terhadap presiden terkait hal ini. Mengingat presiden memiliki posisi dan atau peran yang sangat penting. Mengapa demikian? Pembatasan perlu dilakukan agar kewenangan presiden tidak disalahgunakan.
Presiden sudah sepatutnya memposisikan dirinya sebagai kepala negara bukan ketua partai. Apalagi mencampuri urusan Pilkada yang seharusnya menjadi tanggung jawab Badan Pengawasan Pemilu dan juga Komisi Pemilihan Umum.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik juga perlu diterapkan, agar jabatan dan wewenang tidak disalahgunakan. Seperti yang diungkapkan Prajudi Atmosudirjo tentang asas-asas pemerintahan yang baik ini, digunakan untuk mencegah penyalahgunaan jabatan dan juga untuk memelihara pemerintahan dan administrasi yang baik dan bersih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H