Penulis: Nasri SoulisaÂ
Indonesia ialah negara yang menganut sistem demokrasi, yakni berkedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Demokrasi sendiri merupakan pondasi guna terwujudnya kedaulatan rakyat, dimana suara dan aspirasi masyarakat menjadi titik tumpu penentu dalam pengambilan keputusan politik.
Dalam waktu dekat ini, Indonesia akan masuk dalam pesta demokrasi, dimana pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak akan dilakukan pada 27 November 2024 mendatang. Pilkada serentak kali ini merupakan yang kelima kalinya berlangsung di Indonesia, sekaligus menjadi yang pertama kali melibatkan seluruh provinsi, kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta. Dilansir dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU), total sebanyak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota di Indonesia terlibat dalam pesta demokrasi kali ini.
Pembahasan tidak akan melebar kesana. Baru-baru ini, Presiden sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, terang-terangan meminta dukungan terhadap warga Jawa Tengah untuk memberikan hak suaranya kepada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Ahmad Luthfi - Taj Yasin Maimoen. Penyampaian presiden tersebut diunggah langsung oleh akun @ahmadluthfiofficial pada 9 November 2024.
Perlu diketahui, salah satu unsur demokrasi ialah supremasi hukum yang bertujuan untuk menjaga stabilitas berbangsa dan bernegara. Lantas bagaimana Presiden memposisikan dirinya dalam hal ini? Sementara supremasi hukum telah berbicara jelas menyangkut hal demikian.
***BOLEHKAH PRESIDEN MEMPROMOSIKAN CALON GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR?
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 pasal 299 berbunyi, Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak malaksanakan kampanye. Undang-undang ini jelas mengizinkan kepala negara untuk melakukan kampanye. Selain itu para menteri juga mempunyai hak yang sama, kecuali TNI/Polri dan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dilarang keras untuk berkampanye dan atau meng-endorse pasangan calon manapun.
Kepala negara diperbolehkan untuk mengampanyekan pasangan calon tertentu, asalkan tidak menggunakan fasilitas negara, harus mengajukan cuti dan tidak berada dalam hari kerja atau dilakukan diluar hari kerja.
Selain itu, jika dilihat dari sudut pandang yang lain. Tentunya tindakan presiden dinilai sebagai cawe-cawe dalam pilkada Jawa Tengah. Mengapa demikian? Presiden secara langsung telah menyatakan dan meminta dukungan dalam hal ini membantu mempromosikan pasangan cagub nomor urut dua tersebut.
Presiden yang mana sebagai pejabat publik dan menjadi mandataris rakyat, sudah sepantasnya tidak menggiring dukungan publik untuk memilih cagub tertentu pada pilkada serentak ini. Sudah seyogianya proses Pemilukada harus berjalan tanpa endorsement presiden agar terlahir kepala daerah dengan nilai demokrasi yang kuat; yakni sesuai dengan pilihan rakyat.