Mohon tunggu...
eddy restuwardono
eddy restuwardono Mohon Tunggu... swasta -

Bersyukur itu enak dan perlu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Guru Menyentuh Hati Muridnya

14 September 2017   20:19 Diperbarui: 11 Oktober 2017   07:35 1368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahkan tidak jarang harus menghadapi stigma sebagai anak bodoh karena guru tidak mau menaruh hatinya pada kebutuhan khusus anak seperti ini. Kebanyakan guru lebih suka menaruh hatinya kepada anak anak yang orang tuanya kaya, punya kedudukan dan bermartabat yang diharapkan dapat membantu sekolah manakala ada kesulitan. Atau pada anak anak yang sibuk les ke sana kemari sampai malam hari hanya demi mengejar nilai tinggi di kelas. Apalagi kalau sekolah mengharapkan anak seperti ini bisa mengkatrol nama sekolah ketika mendapat nilai ujian nasional yang tinggi di kotanya.

Saya menemui banyak kasus anak anak yg menonjol dalam bidang olah raga yang terpinggirkan di sekolah dan mendapat stigma jelek. Bahkan seringkali guru sesumbar dengan congkaknya dihadapan murid bahkan dihadapan orang tua " Anak anda termasuk yang paling bodoh di sekolah ini." Atau " Sekolah ini bukan sekolah olah raga, tapi ini sekolah umum " seolah olah berlatih dan berprestasi olah raga adalah tabiat buruk dari anak anak itu. Jangan heran kalau martabat bangsa kita dibidang olah raga kalah dibandingkan negara seperti Singapura atau Thailand.

Artinya pendidikan karakter anak anak muda kita juga tertinggal. Bukankah olah raga adalah ajang terbaik untuk pendidikan karakter anak anak dalam hal disiplin sosial, sportifitas dan kesetiakawanan sosial. Kalau terhadap anak anak yang berprestasi olah raga saja guru tidak bisa mengakomodir kebutuhan khususnya bagaimana bisa menaruh hati pada anak anak berkebutuhan khusus lainnya seperti autis, hiperaktif, korban kekerasan rumah tangga, broken home, korban bullying atau yang lain.

Dengan membaca buku ini saya bisa lebih memahami bahwa guru yang baik bukan tiba tiba jatuh dari langit tetapi diciptakan oleh sekolah yang baik pula. Buku ini memang layak dipuji, apa lagi kalau 59 halaman pertama buku ini tidak terlalu banyak bercerita tentang hal lain selain kisah kisah inspiratif hubungan guru dan murid yg menyentuh hati seperti di bagian kedua buku ini.  Ditunggu kisah kisah inspiratif lainnya yang saya yakin masih banyak bertebaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun