Mohon tunggu...
Nasir Zhang
Nasir Zhang Mohon Tunggu... Lainnya - FreeThinker

A Buddhist

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bagaimana Umat Buddha Menyikapi Pendistorsian Agama?

14 Oktober 2020   08:05 Diperbarui: 14 Oktober 2020   08:07 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

BAGAIMANAKAH SEHARUSNYA SIKAP UMAT BUDDHA SAAT AGAMANYA DIDISTORSI?

Umat Buddha mungkin dapat dikatakan sebagai umat beragama yang memiliki toleransi dan kesabaran yang sangat tinggi dalam menyikapi setiap pelecehan dan penistaan terhadap agamanya. Khususnya di Indonesia, pelecehan dan penistaan seperti merancukan simbol agama di film-film, penempatan simbol agama di tempat-tempat yang tidak pantas dan pendistorsian ajaran dengan mengaku sebagai aliran agama Buddha; sampai saat ini tidaklah sampai menimbulkan tindak kekerasan atau proses tuntutan secara hukum.
Ironisnya, ketika ada umat Buddha yang kurang bijaksana menyampaikan ekspresi yang berlebihan sehubungan dengan penistaan agama Buddha, justru ia yang mendapat laporan dan proses secara hukum. 

Bagaimanakah seharusnya umat Buddha menyikapi adanya pendistorsian yang dapat mengakibatkan agama yang dicintainya menjadi rancu dan menjadi hilang untuk generasi-generasi yang akan datang?
Buddha mengajarkan untuk memberikan koreksi bila ditemukan AjaranNya disalah-artikan atau dipalsukan. Namun koreksi tersebut perlu dilakukan dengan cara yang tepat.
Di Digha Nikaya 1, Buddha menjelaskan tentang munculnya aliran-aliran dan menyampaikan hal sebagai berikut;

'Para bhikkhu, jika seseorang menghinaKu, Dhamma atau Sangha, kalian tidak boleh marah, kesal atau terganggu akan hal itu. Jika kalian marah atau tidak senang akan penghinaan itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Karena jika orang lain menghinaKu, Dhamma atau Sangha, dan kalian marah atau tidak senang, dapatkah kalian mengetahui apakah yang mereka katakan itu benar atau salah?' 'Tidak, Bhagav.' 'Jika orang lain menghinaKu, Dhamma atau Sangha, maka kalian harus menjelaskan apa yang tidak benar sebagai tidak benar, dengan mengatakan: "Itu tidak benar, itu salah, itu bukan jalan kami, itu tidak ada pada kami."
Jika orang lain memujiKu, Dhamma atau Sangha, kalian tidak boleh gembira, bahagia atau senang akan hal itu. Jika kalian gembira, bahagia atau senang akan pujian itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Jika orang lain memujiKu, Dhamma atau Sangha, kalian harus mengakui kebenaran atas apa yang benar, dengan mengatakan: "Itu benar, itu tepat sekali, itu adalah jalan kami, itu ada pada kami."

Di Samyutta Nikaya 16.13, Buddha juga menyampaikan tentang sebab hilangnya Dhamma Sejati;

"Bagaikan, Kassapa, emas tidak akan lenyap selama tiruan emas tidak muncul di dunia ini, tetapi ketika tiruan emas muncul maka emas sejati lenyap, demikian pula, Dhamma sejati tidak akan lenyap selama tiruan dari Dhamma sejati tidak muncul. Tetapi ketika tiruan Dhamma sejati muncul di dunia ini, maka Dhamma sejati lenyap."

Buddha juga menjelaskan tentang faktor-faktor untuk Dhamma Sejati dapat bertahan lama, antara lain umat Buddha harus penuh penghormatan dan sopan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. 

Dari Vinaya Pitaka juga dapat ditarik kebijaksanaan bahwa bila kita melihat suatu pelanggaran dilakukan oleh orang lain, maka kita memiliki kewajiban untuk mengkoreksi. Bila kita diam saja, maka kita telah melakukan pelanggaran juga. 

Pembelaan terhadap agama merupakan hak setiap umat beragama. Selama pihak yang melakukan distorsi mengaku sebagai beragama Buddha atau sebagai aliran dari Agama Buddha, maka setiap umat Buddha memiliki hak dan kewajiban untuk mempertanyakan dan memberikan koreksi bila ditemukan hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan Agama Buddha yang memiliki Kitab Suci Tipitaka/Tripitaka sebagai landasannya.
Pelecehan dan penistaan agama adalah perbuatan melanggar hukum.
Namun, sebagaimana Buddha mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan seperti kesabaran dan tanpa kekerasan serta hukum kamma, maka umat Buddha perlu memperhatikan cara-cara yang baik dan benar dalam bertindak.
Kualitas batin yang bahagia dan seimbang harus selalu menjadi prioritas bagi umat Buddha dalam menghadapi setiap hal. Dengan latihan dan kebijaksanaan yang cukup, maka kita tidak akan mengorbankan prioritas utama kita dalam menyikapi dunia yang penuh Lobha, Dosa dan Moha.
Umat Buddha memiliki prinsip berusaha dan melakukan apa yang perlu dilakukan dalam menyikapi pihak-pihak yang mendistorsi, menistakan, melecehkan, menjiplak dan memalsukan Ajaran Buddha dan tidak memiliki rasa hormat kepada Buddha dan AjaranNya.
Bila usaha untuk mengkoreksi dan mengingatkan telah dilakukan namun pihak-pihak yang berhubungan masih keras kepala, maka umat Buddha memiliki prinsip keyakinan terhadap Hukum Kamma yang adil; perbuatan buruk yang dilakukan, baik secara sadar maupun diliputi kebodohan, akan berbuah pahit bagi setiap orang yang melakukannya. 

Dhammapada (77)
Biarlah ia memberi nasehat, petunjuk, dan melarang apa yang tidak baik, orang bijaksana akan dicintai oleh orang yang baik dan dijauhi oleh orang yang jahat.

Dhammapada (164)
Karena pandangan yang salah orang bodoh menghina Ajaran Orang Mulia, Orang Suci dan Orang Bijak. Ia akan menerima akibatnya yang buruk, seperti rumput kastha yang berbuah hanya untuk menghancurkan dirinya sendiri.

Semoga Dhamma Sejati bertahan selama-lamanya.

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Namo Buddhaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun