Portal Tribun Jogja beberapa hari lalu mengunggah berita tentang sepuluh kota paling macet di Indonesia. Lima besar kota tersebut adalah Jakarta, Bandung, Malang, Jogja, dan Padang. Di antara lima kota tersebut, yang belum saya kunjungi adalah Padang. Malahan saya baru paham ternyata Padang mengalahkan kota besar lainnya di Jawa seperti Semarang, dll.
Tentu ini bukan prestasi yang menyenangkan bagi Jogja. Kita tahu dulu, tahun 2010 ke bawah sering menertawakan ibukota yang macet. Sementara Jogja jalanan cukup lengang. Kemacetan hanya pada saat libur panjang, itu pun terpusat di sekitaran Jalan Solo. Menilik ke sepanjang jalan Selokan Mataram? Sepi sekali.
Delapan tahun berlalu, Jogja menggeliat seperti tidak terkontrol. Dulu jalan searah hanya seputaran Jalan Urip -- Gramedia Sudirman. Itupun tengah malam orang masih bisa berlalu-lalang dua arah (di atas pukul 01.00 WIB). Kali ini, sudah beberapa rute dibuat rekayasa jalur, tetap saja kemacetan tak terelakkan.
Jalur kemacetan yang aku jumpai (setiap naik sepeda keliling jalur kota tiap jumat sore) ada banyak. Mulai dari Jalan Solo, entah yang di depan Lippo Mall, arah ke Janti, maupun ke Bandara. Berlanjut Jalan Gejayan arah ke Condong Catur, Selokan Mataram. Perempatan MM UGM ke Kentungan, Jembatan Sardjito dari arah MM UGM, Jalan Godean (Ringroad Demak Ijo), pun dengan jalur lain yang tidak aku lewati.
Kemacetan memang tidak selama 24 jam nonstop; rata-rata sore hari. Kemacetan makin bertambah kala libur panjang, titik kemacetan juga bertambah. Tentu arah-arah ke tempat destinasi populer termasuk di dalamnya.
Kita percaya, instansi yang terkait sekarang memeras otak untuk mengurai kemacetan. Hanya saja belum begitu terasa bagi kita sebagai pengguna jalan. Sebagian orang lebih suka menggunakan kendaraan pribadi, daripada naik transportasi umum dengan alasan masuk akal, armadanya kurang memadai, jalurnya tidak sesuai dan lainnya. Menggunakan transportasi online pun sama, selalu ada alasan untuk menangkal. Terlebih bagi orang tua yang berangkat kerja sekaligus mengantarkan anaknya sekolah.
Satu-satunya cara yang bisa dilakukan saat ini adalah kita menikmati kemacetan tersebut sembari berdoa pihak yang terkait bisa mendapatkan ide untuk mengurai kemacetan. Berusaha berangkat kerja lebih pagi, dan pulang agak menjelang sore (berharap macet berkurang).
Bagaimana dengan saya? Saya sendiri masih belum ada buntut (Istri, apalagi anak). Jadi selama bekerja saya menikmati perjalanan dengan menyusuri jalan-jalan gang menggunakan sepeda ontel. Jarak dari tempat kos sampai kantor sekitar 3.5 KM. Jadi cukup dijangkau dengan sepeda, pun aku sudah menikmati selama bertahun-tahun.
Mungkin caraku belum bisa mengurai kemacetan di Jogja. Setidaknya langkah kecil ini mungkin bisa ditiru para pekerja/mahasiswa yang lokasinya terjangkau untuk bersepeda ke ke tempat yang dituju. Bersepeda juga kadang kena macet jika di tengah jalan kota. Hanya saja saya nikmati perjalanan tersebut. Sebab, mau tidak mau kemacetan itu hal yang nyata di Jogja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H