Mohon tunggu...
M. Nasir Pariusamahu
M. Nasir Pariusamahu Mohon Tunggu... Penulis - -

Saya Manusia Pembelajar. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah CPNS 2018 Wujudkan Sila Kelima Pancasila?

13 November 2018   08:19 Diperbarui: 13 November 2018   08:58 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mencermati pro-kontra CPNS 2018 diberbagai media, muncullah ragam ekspresi. Ada yang sedih, marah, galau, biasa-biasa saja. Semua itu bermula dari begitu banyaknya peserta CPNS yang tidak lolos dalam seleksi sistem CAT (Computer Assisted Tes) sebagai tahapan awal alur tes.

Dalam sejarah birokrasi kepegawaian, CAT secara massif telah dilaksanakan sejak tahun 2017. CAT ialah suatu metode seleksi dengan alat bantu komputer yang digunakan untuk mendapatkan standar minimal kompetensi dasar bagi pelamar CPNS. Standar kompetensi dasar ini diperlukan untuk mewujudkan profesionalisme PNS.

CAT hantu bagi pelamar?
Tak dapat dipungkiri bahwa mekanisme CAT bisa dikatakan merupakan "barang baru" dalam seleksi CPNS 2018 yang sedang berlangsung. Walaupun sudah pernah dilaksanakan.

Sebagai warga negara, kita sangat mengapresiasi keprofesionalan pemerintah dalam menjalankan perbaikan kualitas manusia di Indonesia. Kenapa demikian?

Badan Pusat Statistik Pusat telah merilis data tertanggal 16 April 2018 bahwa Pembangunan manusia di Indonesia terus mengalami kemajuan. Pada tahun 2017, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia mencapai 70,81. Angka ini meningkat sebesar 0,63 poin atau tumbuh sebesar 0,90 persen dibandingkan tahun 2016.

Lalu apa hubungannya dengan CAT? Tentu CAT ialah salah satu standar dalam membangun sikap optimis pemerintah dalam membaca data di atas. Artinya, setiap sistem yang dibangun pasti mempunyai arah yang jelas. Sebab, saya yakin tidak mudah CAT bisa "lolos" dari amukan ratusan hipotesa, analisa para pakar berkompeten di negeri ini.

Sehingga, jika ada yang bertanya, CAT itu hantu bagi pelamar? Nah, itu tergantung sudut pandang. Guna menyikapinya ini, tentu kita juga tidak perlu baperan. Melainkan, kita harus berpikir sebagai manusia masa depan Indonesia.

Untuk itu, menyikapi hal ini, kita harus banyak melebarkan ruang ide agar kita tidak "smaput" alias pingsan. Set up your mindset, now. Bahwa PNS bukanlah ladang kehidupan satu-satunya.

Jika kita ingin penghidupan yang layak dari PNS, sebagai gen-Milenial, bahasan ini sudah usang. Coba kita bertanya, siapakah yang menguasai Indonesia? Mereka berprofesi sebagai apa?

Tidak Adilkah Pemerintah?
Untuk menjawab ini, kita butuh kemurniaan pikiran. Mari kita lihat satu-satu. Pertama, tidak dipungkiri praktek orda (orang dalam) telah menjejaring dalam segala lini kehidupan. Baik dalam skala pemerintahan maupun non-pemerintahan.

Sepupu kandung korupsi dan kolusi ini telah menjadi sebuah ketakutan akut bagi setiap pelamar. Sehingga pikiran yang muncul," beta ada orang dalam, ada fulus pasti mulus." Akhirnya, ketika pelamar bersangkutan lolos, dia akan membudayakan hal ini juga.

Nah, sistem CAT hadir guna menimalisir hal-hal itu. CAT menghadirkan semangat kompetitif, sportif, transparan dan tidak berburuk sangka. Secara tidak langsung, CAT memutus mata rantai nepotisme serta klanisme dalam sistem. Pengalaman ketidaklulusan para peserta harus menjadi cambuk untuk keluar dari mindset," sukses itu ya jadi PNS."

Kedua, pikiran ini agak berbeda dari sebelumnya. Ini konstruktifitas ide. Saya membaginya dalam dua hal. Pertama, CAT tetap, tapi standarnya disesuiakan dengan kondisi daerah. Kedua, TKP (tes kepribadian) itu ditiadakan.

Pertama, CAT tetap, tapi standarnya disesuiakan dengan kondisi daerah. Jika kita melihat passing grade (TWK, TIU, TKP) CAT saat ini, bagi sebagian orang hal itu terlalu tingggi. Apalagi ditambah dengan selektifnya nilai yang didapat.

Misalnya, passing grade saat ini total 298 dengan rinciaan TWK 75, TIU 80, TKP 143. Bayangkan saja, jika ada peserta memperoleh nilai 300 dengan TWK 79, TIU 78, TKP 143. Namun, peserta tersebut kurang 2 poin pada TIU, maka peserta itu dinyatakan tidak lolos. Artinya, kategori lulus bilamana peserta mendapatkan nilai 298 dengan rinciaan TWK 75, TIU 80, TKP 143, atau bisa lebih.

Sehingga, seperti dilansir dalam akun facebook Suhfi Majid bahwa menurut Dosen Ar Raniry Aceh, Budi Azhary menyebutkan angka PG  ini "kejam". Bila, Jokowi dan Prabowo mengikuti tes ini belum tentu lulus juga. Hal ini dikarenakan tingkat kesulitan soal tinggi, menuntut kemampuan analisis, sintesis dan evaluasi.

Bahkan, lanjut beliau pada laman akunnya," pendaftar di Maluku ada 2.241 orang. Mereke memperebutkan kouta provinsi 302. Sementara yang lulus hanya 28 orang. Lebih gila lagi, pendaftar untuk memperebutkan formasi 231 di lingkup Kota Ambon ada 2.259, namun naas yang lolos hanya 20 orang saja."

Sedangkan, di Aceh dari 2.750 peserta seleksi di lingkup Kementerian Agama, peserta yang lolos hanya 4 orang. Belum lagi pada daerah lain. Maka, keresahan ini muncul di mana-mana. Begitu banyaknya kouta yang kosong akibat ketidaklulusan ini mengakibatkan tersendatnya normalisasi pelayanan publik ke depan.

Menanggapi hal di atas, tidak salah kalau sistem CAT dipertahankan. Namun, total nilainya dibuat berdasarkan perangkingan sesuai nilai tertinggi tingkat kelulusan di daerah masing-masing.

Kedua, TKP (tes kepribadian) itu ditiadakan. Bila diumpamakan dalam Kurikulum 13 atau K13. K13 memuat empat penilaian yaitu sikap sosial, sikap spritual, pengetahuan dan keterampilan. Sebelum direvisi, penilaian K13 sangat memberatkan guru sebab nilai sikap harus dinilai sama seperti yang lain. Setelah direvisi, penilaian sikap tidak lagi menjadi fokus utama.

Sikap mengacu pada kepribadian seseorang. Maka, saya setuju dengan seorang akademisi Unpatti Ambon, Arman bahwa sebaiknya TKP tidak perlu ada. TKP ini sikap yang dinilai lebih ideal langsung saat wawancara. Hasil penyelesaiaan soal kepribadian dengan tekanan waktu itu tidak objektif. Soal yang sifatnya psikologi itu tidak boleh dikerjakan seperti situasi peperangan.

Coba, lihat peserta tes kejiwaan, berapa kali pengulangan? Mengapa demikian? Apakah mereka benar mengalami gangguan jiwa? Lalu, apakah peserta yang tidak lolos TKP, mereka semua mengalami gangguan kepribadian? 

Bagian akhir ini, kita mesti menyemangati diri dan mengubah mentalitas mindset kita bahwa memang rasa keadilan itu sulit ditakar dan ditimbang dalam bentuk statistik. Keadilan hanya bisa dirasakan, sebab manusia pada dasarnya memiliki sifat tidak puas.

Tentu, Indonesia perlu berbenah lagi. Kata Anis Matta,"kita punya kemampuan terbang tinggi."  Indonesia dapat terus maju, dengan cara mengelola perbedaan yang ada. Apalagi kawasan timur (Indonesia Timur) yang masih tertinggal jauh dengan kawasan lainnya, WIB dan WITA.

Olehnya itu, seharusnya disikapi dengan tiga hal yaitu, politik anggaran yang berkeadilan daerah, penyediaan infranstruktur yang memadai dan penguatan goverment skill di era otonomisasi daerah. Sehingga, kita bisa menikmati kehidupan dalam rahim ibu pertiwi dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh M. Nasir Pariusamahu, Wakabid Indag KNPI Maluku

di atas Benteng Belgica, tampak Gunung Api Banda
di atas Benteng Belgica, tampak Gunung Api Banda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun