Ketika ditanya, bagaimana kelak masa depanmu di akhirat? Mau Surga atau Neraka? Dijawab," Surgalah. Namun, apakah kita sudah benar-benar mempersiapkannya? Atau kita masih sibuk dengan berhala-berhala dunia? Â Jika soal dunia saja kita sungguh-sungguh, kerja banting tulang, tulang patah-patah. Bagaimana untuk akhirat nanti? Kota abadi kita? Kita berasal dari sana, dan kembali juga ke sana. Tapi, untuk tempat kembali ada dua, kembalinya ke mana? Kitalah yang menentukan.
Allah Taala berfirman:Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Hasyr: 18)
Memaknai ayat di atas, Quraish Shihab menafsirkannya, Â Wahai orang-orang yang beriman, berlindunglah kalian dari azab Allah dengan selalu mematuhi-Nya. Hendaknya setiap orang memikirkan apa saja amalan yang dipersiapkan untuk hari esok. Selalu bertakwalah kepada Allah. Allah benar-benar mengetahui dan akan membalas segala sesuatu yang kalian kerjakan. Demikian pula, Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir al-Quran al-'Azhim, menafsirkan juga, "Evaluasilah diri kalian sebelum amal perbuatan kalian dihitung, periksalah amal perbuatan yang kalian simpan untuk diri kalian demi hari di mana kalian akan dikembalikan dan diperlihatkan kepada Tuhan kalian!"
Dengan begitu, ayat ini mengajurkan kita untuk senantiasa menyiapkan diri untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Meraih kesuksesan di dunia dengan ilmu dan amal adalah untuk bekal nantinya. Bukan menimbun harta melimpah di bank atau banker karena takut dicuri.
Banyak manusia yang sadar, bahwa dunia merupakan tempat transit, penyinggahan sementara, namun, adakalanya lupa. Bukan lupa, tetapi ada unsur kesengajaan. Sehingga memungkinkan kita melalaikannya berulang-ulang. Kita kadang menggandaikannya dengan asumsi, kan masih muda, kan masih ada waktu, kan masih sehat, kan kan kan banyak kan-nya. Akhir kan tak mendapat kan apa-apa.
Sungguh, sebagai nasehat bagi pribadi penulis dan kita, ada sebuah kisah dari Ibrahim ibn Muhammad al Basyri, beliau berkata: Umar ibn Abd al Aziz melihat seseorang laki-laki yang warna kulitnya berubah. Lantas Umar ibn Abd Al Aziz berkata kepadanya: Apa yang kamu alami? Laki-laki itu menjawab: Saya sedang menderita sakit, wahai Amir al Mukminin.
Umar ibn Abd al Aziz kembali bertanya dengan pertanyaan yang serupa sebanyak tiga kali. Laki-laki itu pun menjawab seperti jawaban pertanyaan yang sebelumnya. Lantas Umar ibn Abd al Aziz berkata kepadanya: Maukah engkau kuberitahu sesuatu hal? Sesungguhnya aku telah merasakan nikmatnya dunia. Namun semua gebyar dan keindahan dunia ini terasa tidak begitu berarti untukku. Tidak ada bedanya antara batu dan emas bagiku. aku juga melihat orang-orang berbondong-bondong menuju Surga. Sedangkan, aku sendiri merasa sedang menuju Neraka. Sehingga sebagai konsekuensinya, aku tidak tidur pada malam hari dan tidak merasa haus pada siang bolong. Dan semua yang kulakukan, tidak ada artinya disisi ampunan Allah, pahala dan siksa-Nya.
Cerita di atas membawa hikmah bahwa ketakutan para orang-orang shaleh di zaman dulu tersebut telah mengantarkan mereka ke dalam cintaNya. Berbeda dengan kita saat ini. Imaji kita mengatakan ingin bahagia di akhirat, namun tak satupun hal yang kita siapkan menuju ke sana. Pada suatu kesempatan, saya berkesempatan berdiskusi dengan seorang dai di Ambon, sebut saja inisialnya UH. Beliau menyampaikan  bahwa bila kita ingin menuju cintaNya, maka terbanglah besama dua sayap. Sayap pertama adalah raja (harap) dan khauf (takut) Kedua sifat ini harus ada dalam diri manusia. Tidak bisa satu saja.
Keduanya bagaikan dua sisi mata uang, sama-sama mempunyai nilai dan kekuatan. Beliau menganjurkan agar keduanya diseimbangkan dalam bingkai kehidupan.
Olehnya itu, sebelum terlambat dan menutup dosa kita sebanyak debu-debu serta memperbaiki umur sisa ini dengan maksimal, Â ada beberapa hal yang mesti kita lakukan, diantaranya:
1. Menjaga hubungan dengan Allah SWT,
Sifat hubungan antara manusia dengan Allah SWT dalam ajaran Islam bersifat timbal-balik, yaitu bahwa manusia melakukan hubungan dengan Tuhan dan Tuhan juga melakukan hubungan dengan manusia. Tujuan hubungan manusia dengan Allah adalah dalam rangka pengabdian atau ibadah. Tugas manusia di dunia ini adalah beribadah, firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzariat ayat 56: "Dan tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka menyembah kepadaKU.
2. Menguatkan cinta kepada sesama,
KodratNya, manusia adalah makhluk sosial (bermasyarakat) yang telah dianugerahi akal pikiran, untuk berkembang serta dapat dikembangkan. Manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan manusia sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain, manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah manusia.
Sebagaimana firman Allah SWT: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat: 13)
Selain saling mengenal, manusia juga sangat dianjurkan agar dapat menjalin hubungan yang baik antar sesamanya. Meniadakan prasangka negatif. Menghidupkan pikiran positif. Jika kaca telah dipecahkan susah untuk dikembalikan semula. Bila ingin menggabungkan pecahan-pecahannya, tentu banyak tambalannya, dan hal itu tidak bisa disebut kaca lagi. Maka jagalah sikap dan lisan kita. Editlah kata-kata sebelum berucap. Sebab, bilamana suatu kata sudah keluar, maka tidak bisa dikembalikan lagi. Berkatalah yang baik-baik sahaja. Â Lalu damaikanlah satu sama lain jika kedapatan sedang bermusuhan. Hindarilah debat kusir yang tidak membawa manfaat. Bila semua itu kita lakukan secara maksimail, anugerah harmonisasi akan berpihak pada kita.
Allah kuatkan kita dalam firmanNya, surah Al-Hujurat ayat 10-12: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
3. Memaafkan dan sabar menghadapi ujian,
Derajat orang yang memberi manfaat dalam Islam sangatlah besar pahalanya.
Islam selalu mengajarkan manusia untuk saling memaafkan karena setiap manusia pernah melakukan kesalahan. Kesalahan, kekhilafan adalah fitrah yang melekat pada diri manusia, kecuali Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang mashum.
Tidak diperkenankan bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya selama lebih dari 3 hari. Kemudian yang paling baik di antara keduanya adalah yang terlebih dahulu memberi salam sesuai sabda Nabi Muhammad SAW: Barangsiapa senang melihat bangunannya dimuliakan, derajatnya ditingkatkan, maka hendaklah dia mengampuni orang yang bersalah kepadanya, dan menyambung (menghubungi) orang yang pernah memutuskan hubungannya dengan dia (HR Al-Hakim)
Subhanallah, begitulah Islam memberi reward bagi mereka yang mampu berbuat maaf memaafkan dengan hati ikhlas dan ringan. Serta memberikan posisi tinggi bagi pemberi maaf. Karena sifat pemaaf merupakan bagian dari akhlak luhur, yang harus diikuti bagi seorang muslim yang bertakwa.
Pemaaf adalah sifat yang sangat terpuji yang Allah sifatkan kepada hamba-hamba-Nya yang bertaqwa. Karena beratnya amalan ini, sehingga Allah Subhanahu Wataala secara khusus menyampaikan dalam Surat Ali Imron ayat 133-134:Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Kita, pernah merasa kecewa dan marah terhadap seseorang. Meskipun kita tahu bahwa banyak ayat menjelaskan tentang pentingnya memaafkan, namun dalam prakteknya memaafkan bukanlah perkara yang mudah. Betul kan? Berat kan, sob? Maka, kita perlu bergotong-royong memikulnya. Surga milik kita.....:)
Sama halnya dengan memaafkan. Setali tiga uang. Sabar sifat kedua yang mesti kita wariskan dalam jiwa. Perilaku sabar mengantarkan kita pada sikap tanda syukur kepada Allah SWT. Bersama syukur, sabar adalah kunci kebaikan. Seseorang selalu baik di sisi Allah tatkala mampu mengombinasikan sabar dan syukur dalam kehidupannya. Inilah keutamaan sabar.
Dalam Al-Quran banyak ayat yang berbicara mengenai kesabaran, setidaknya ada 103 kali kata sabar disebut dalam Al-Quran, baik berbentuk isim maupun fiilnya. Hal ini membuktikan betapa besarnya pentingnya sabar bagi seorang mukmin dimata Allah SWT. Sebagaimana dalam Al-Quran, dalam hadits banyak sekali sabda Rasulullah yang menjelaskan tentang kesabaran. misalnya Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam an Nawawi mencantumkan 29 hadits yang bertemakan sabar.
Kesabaran merupakan salah satu sifat sekaligus ciri orang mukmin, sebagaimana hadits ini: Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman, karena segala perkaranya adalah baik. Jika ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut adalah memang baik baginya. Dan jika ia tertimpa musibah atau kesulitan, ia bersabar karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut adalah baik baginya. (HR. Muslim)
Kesabaran juga dapat menghapuskan dosa. Rasulullah menggambarkan dalam sebuah haditsnya: Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW. bersabda,"Tidaklah seorang muslim mendapatkan kelelahan, sakit, kecemasan, kesedihan, mara bahaya dan juga kesusahan, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengan hal tersebut. (HR. Bukhari & Muslim)
4. Senantiasa beristighfar dan memusabah diri
Istighfar adalah sebab turunnya rezeki dari langit, dilapangkannya harta dan keturunan, serta dibukakannya berbagai kebaikan untuk hamba, sehingga terhadap masalah apapun yang dihadapi oleh seorang hamba, jalan keluar akan dihamparkan untuknya.
Jika seorang hamba melakukan kesalahan, suatu noda hitam akan tertitik pada hati seorang hamba. Jika hamba beristighfar, dihapuslah noda itu dan hatinya kembali bersih. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Jika seseorang melakukan sebuah dosa, dititiklah satu titik hitam pada hatinya. Jika dia bertaubat, berhenti (melakukan dosa) lalu beristighfar, hatinya akan kembali bersih. Jika dia mengulangi dosanya, ditambahkanlah titik hitam sampai menutupi hatinya, dan jika hatinya sudah tertutup, itulah ar-rain penutup hati yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam Al-Qur`an, Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya sesuatu yang selalu mereka usahakan itu menjadi ar-rain terhadap hati-hati mereka." Â (Al-Muthaffifin: 14)
Sungguh banyak keutamaan beristighfar sebagai peluang kita mendapat rahmat Allah SWT, seperti yang terjadi kepada sang penjual roti di Irak, dengan beristighfar sepanjang hidupnya, berikut petikan percakapannya dengan Imam Ahmad: Imam Ahmad memperhatikan terus. Lalu Imam Ahmad bertanya,"Sudah berapa lama kamu lakukan ini? "Orang itu menjawab,"Sudah lama sekali syaikh, saya menjual roti sudah 30 tahun, jadi semenjak itu saya lakukan". Imam Ahmad bertanya: "Apa hasil dari perbuatanmu ini?" Orang itu menjawab," (lantaran wasilah istighfar) tidak ada hajat yang saya minta, kecuali pasti dikabulkan Allah. semua yang saya minta ya Allah...., langsung diterima". (memang Nabi SAW. pernah bersabda:"Siapa yang menjaga istighfar, maka Allah akan menjadikan jalan keluar baginya dari semua masalah dan Allah akan berikan rejeki dari jalan yang tidak disangka-sangkanya) Lalu orang itu melanjutkan "semua dikabulkan Allah kecuali satu, masih satu yang belum Allah kabulkan".
Imam Ahmad penasaran kemudian bertanya "apa itu?" Kata orang itu,"saya minta kepada Allah supaya dipertemukan dengan Imam Ahmad". Seketika itu juga, Imam Ahmad bertakbir,"Allahuakbar, Allah telah mendatangkan saya jauh dari Bagdad pergi ke Bashrah dan bahkan sampai didorong-dorong oleh marbot masjid itu sampai ke jalanan karena istighfarmu"..(penjual roti terperanjat, memuji Allah, ternyata yang di depannya adalah Imam Ahmad)
Istighfar juga sekaligus menjadi koreksi atas apa yang telah kita lakukan selama hidup kita. Â Sungguh, waktu terus berjalan. Ia tak akan pernah berhenti, apalagi mundur. Apa yang kita rasakan saat ini belum tentu dapat kita rasakan esok hari. Masa depan adalah misteri.
Namun, segala sesuatu yang akan terjadi di masa depan, bisa kita persiapkan dari sekarang, yaitu dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit bekal untuk sesuatu yang tak terduga. Semakin banyak bekal kita, semakin banyak pula kesuksesan yang akan kita raih nantinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H