Mohon tunggu...
M. Nasir Pariusamahu
M. Nasir Pariusamahu Mohon Tunggu... Penulis - -

Saya Manusia Pembelajar. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kesetaraan dalam Berpikir, Mengelola Ketidaksepahaman Bangsa

31 Juli 2018   15:04 Diperbarui: 1 Agustus 2018   04:49 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS/DIDIE SW)

Tepat pukul 09.00 WIB, di atas tanah Bumi Sriwijaya, saya mencoba merenungi kejayaan nusantara di abad silam. Di sana ada sebuah kekuatan maha dahsyat yang terbentuk. Apakah itu? Kekuatan untuk mempertahankan diri sebagai sebuah "negara" yang berdaulat. 

Tentunya kejayaaan masa-masa lalu yang pernah ada di tanah Sumatera ini telah menjadi catatan sejarah yang tak akan bisa dilupakan oleh anak-cucu. 

Sebagai pelanjut estafeta bangsa sudah menjadi kewajiban kita untuk senantiasa mengambil hal-hal terbaik yang pernah dilakukan oleh mereka yang dulu. Agar tangga-tangga sejarah tidak terputus begitu saja.

Sambil berharap, datang jauh-jauh dari Maluku untuk menyaksikan kemegahan Jembatan Ampera di atas Sungai Musi. Saya terus membayangkan di atas sungai saja ada sebuah jembatan untuk sebagai alat penyeberangan ke tempat sebelahnya. Apalagi Indonesia yang sangat luas wilayah teritorialnya ini.

Sejenak aku mengamati konstruksi jembatan yang membelah kota Palembang ini hampir sama dengan Jembatan Merah Putih di kotaku:Ambon. Hal yang membedakan adalah tempat berdirinya saja. 

Jika Ampera membelah sungai di antara kota Palembang; Merah Putih membelah teluk di kota Ambon. Kesamaan inilah sesungguhnya yang menjadikan alur pikirku mencoba menebak, ada apa dibalik semua ini? 

Sembari melepas lelah, arah pandanganku menjadi kompas, sejenak meminta petunjuk kepada sang kuasa. Semua tubuh mengucapkan doa. Doa kesyukuran semoga besok negeriku, Indonesia yang bisa menjadi kebun-kebun indah bagi dunia. Sehingga pulang dari sini, langkah kakiku bisa menjadi saksi sejarah dalam pergulatan Indonesia masa depan.

Kita dilahirkan dari rahim ibu pertiwi adalah takdir. Bukan pilihan. Hal tersebut juga merupakan sebuah anugerah terbesar. Sebab, Indonesia adalah Negara makmur, tanahnya subur dan hijau alamnya.

Sejak kecil, Indonesia telah mengajari anak-anak bangsanya untuk hidup saling gotong royong, bukan gontok-gontokkan. Menjaga etika bukan saling mengundi kejelekan orang lain. Mencintai sesama bukan memata-matai dengan kebencian.

Kabar gembira dari berbagai sumber tentang kejayaan Indonesia masa akan datang. Maka, sudah saatnya segala potensi anak-anak bangsa harus diarahkan untuk menjadikan "kabar gembira" itu sebagai suatu kenyataan hari esok. Bukankah, Hasan Al Banna juga telah mengatakan bahwa kenyataan hari ini adalah mimpi hari kemarin. Dan kenyataan hari esok, adalah mimpi hari ini".

Sumber: nalarpolitik.com
Sumber: nalarpolitik.com
Lalu, tetiba hatiku terguncang. Ternyata anugerah Negeri zamrud khatulistiwa ini juga bisa membawa petaka. Dimulai dari ketidakserasiaan hidup. Pelajaran Kewarganegaraan, yang menjadi dasar harmoni kehidupan di masa kecilku, pudar.

Saksikanlah, Indonesia saat ini. Masyarakat Indonesia telah hilang cita-citanya. Di sana-sini saling mempersoalkan kesejahteraan dan ketertinggalan. 

Di kota-kota besar, ruang kapitalisme mengakar kuat, di desa-desa kekuatan saling meniadakan muncul. Sehingga, anak-anak yang di era 2.0-an kehilangan teladan. 

Teladan tokoh dalam buku-buku biografi dikalahkan artis-artis sinetron dan politisi yang seenaknya berargumen tanpa menjaga kehati-hatian lisannya. Akhirnya, Indonesia sebagai negeri aman, nyaman dan damai terkotori.

Belum lagi, masyarakat sering diadu dalam kubu-kubuan demi kepentingan kelompok tertentu. Hal semacam ini, muncul biasanya dalam pesta demokrasi yang berupa pemilihan kepala Negara, kepala daerah maupun anggota parlemen. Bahkan merambah hingga ke pemilihan ketua RT.

Memang tak mudah menyatukan Indonesia. Seperti pekerjaan para penyulam, kain yang tambal robekan sana-sini. Kadang tangan penyulam yang terkena jarum sulaman; berdarah. Tetapi itulah pekerjaan penyulam. Menghargai proses, mengindahkan hasil dan memuaskan pelanggan

Jika kita menyaksikan realitas yang terjadi dari Sabang hingga Merauke, maka akan jauh dari apa yang diharapkan dalam usia berkah ini. Demikian kobaran kata Bung Karno perlu diamini oleh kita sebagai dasar renungan bersama. 

Apa kata beliau: "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." Bila kita telaah lebih jauh hubungan kalimat sang proklamator dengan fakta yang terjadi saat ini, maka survei rasionalitas publik akan membenarkan.

Perjalanan bangsa yang dimulai secara yuridis tanggal 17 Agustus 1945 dan ditandai dengan bergabungnya 8 provinsi sebagai penyatuan jiwa raga dalam satu tumpah darah Indonesia. 

Perjalanan bangsa ini, bukan hanya sebatas sampai depan pintu gerbang, melainkan sampai pada tujuan didirikan yakni mewujudkan hak-hak rakyat, menjaga ketertiban serta berjuang keras atas nama kemanusiaan untuk menghapuskan penjajahan di muka bumi. Agar takdir Tuhan bisa memposisikan bangsa besar ini menjadi tamadun sekaligus "ibu" bagi bangsa-bangsa di dunia. 

Di tengah hiruk-pikuk kemerdekaan kini, lantunan harapan akan kebangkitan baru oleh seluruh anak bangsa terus berotasi. Seakan tak memerdulikan kikisan-kikisan yang mengikis nasionalisme. Nasionalisme mulai terkubur oleh kekufuran. "Apa yang bisa diucapkan oleh bibirku yang terjajah ?" kata Rendra.

Ya. Perlahan tapi pasti. Nasionalisme seperti anak menangis kehilangan bapa. Tanah sepi kehilangan lelakinya. Apakah kota ribuan pulau ini akan terbakar? Jawabanku tentu tidak. 

Sebagai warga Negara Indonesia, airmataku hanya bisa menetes pelan ketika membaca cerita-cerita fakta api kemarahan yang muncul hampir di seluruh tanah republik ini. 

Hal ini yang kemudian menjadi gejolak besar pada arah dan tujuan bangsa.  Indonesia adalah negara archipelago; terdiri dari gugus pulau. Hampir 92% wilayah laut terpagari dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 

Secara geografis Indonesia terletak di antara dua benua dan dua samudera. Dua benua itu adalah Asia dan Australia, dan dua samudera tersebut adalah Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. 

Tentunya sebagai daerah archipelago, akses transportasi pun menghambat laju arah pembangunan Indonesia  ke depan. Sehingga jangan  disangka Indonesia  akan sulit menasionalismekan masyarakatnya di republik ini, selama arah pembangunan tak ditafsirkan bahwa lautan sebagai pemisah antarwilayah; pendekatan continental.

Maka selama itupula negara pulau yang memiliki 17.000-an ini hanya mengambang di atas ketertinggalan. Padahal, Indonesia kaya perabadan sejarah di masa lalu, walau waktu itu Indonesia masih di kenal sebagai nusantara

Indonesia juga mengalami perang maya yang sangat luar biasa dahsyat. Era reformasi mengalihkan perhatian kita pada suatu model masyarakat baru (New Society) Masyarakat baru ini mempunyai orientasi untuk berkembang bebas dan mempunyai gaya individualistik, lebih terbuka atau blak-blakan, bahkan bisa menjadi "hakim" atas sebuah kasus yang sedang popular. 

New society terbentuk oleh beragam karakter individu-individu bukan sekedar tampilan wallpaper dalam galeri, tetapi ada juga sebuah bentukan nilai yang sedang diperjuangkan oleh sebagian individu lewat sebuah ruang yang diprakarsai oleh teknologi.

Maka lahirlah masyarakat baru dalam era maya. Masyarakat baru tersebut menjadikan kemajuan teknologi sebagai sarana interaksi antarmanusia, yang tidak bisa lagi disekat-sekat oleh jarak, wilayah negara, bahkan wilayah waktu. 

Bumi terasa datar. Setiap putaran detik semua peristiwa yang terjadi di belahan bumi lainnya sudah terketahui waktu itu juga. Pertemuan-pertemuan mereka lewat interaksi digital tak terlepas dari rasa ketergantungan atas faktor pergerakan uang, barang dan kepentingan. Sehingga, sosial media kini menjadi saluran "breaking news" baru karena kecepatan dan banyaknya orang yang terlibat.

Fenomena gelombang keterbukaan juga mengakibatkan pantulan yang maha dahsyat ke dalam ruang-ruang privasi individu. Hal tersebut merupakan akar dari interaksi masyarakat yang heterogen. Maka, dunia maya seringkali menghadirkan keunikan etik dan nilai dari hasil lintasan interaksi. 

Keunikan yang dimaksud tentunya berkaitan dengan sikap kebebasan memilih teman serta begitu transparansinya dalam berpendapat. Sehingga, tak ayal aksi-aksi sarkasme, radikalisme, primordialisme, separatisme menjadi kumpulan efek yang bisa merubah nilai pergaulan dalam kehidupan manusia maya

Memang pekerjaan merawat keharmonisan merupakan hal yang paling sulit. Apalagi dalam dunia maya, yang serba misteri, penuh sengketa. Sangatlah susah. Tak semudah membalikan telapak tangan. Namun, pada hakikatnya tak ada yang bisa meretakan sebuah persaudaraan yang dilandasi oleh sikap saling percaya serta dilandasi keimanan yang mendalam. "

Perumpamaan dua orang bersaudara adalah seperti kedua belah tangan, yang satu membasuh yang lain". (HR. Abu Naim) Maka, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Maka, bersatu itu adalah pangkal keberhasilan. " Attihaadu asaasunnajaah".

Tak ada yang tidak bisa. Karena yang tidak bisa tidaklah berbuat. Dengan demikian ekspresi rasa syukur atas desain sunnatullah (hukum Tuhan) yang menciptakan perbedaan, dengan menjunjung tinggi kesetaraan dan kemuliaan manusia, dengan mengembangkan sikap positif terhadap kemajemukan bangsa, melalui perwujudan demokrasi permusyawaratan yang berorientasi keadilan sosial.

Sebagaimana sila ketiga persatuan Indonesia harus diliputi dan dijiwai oleh sila-sila ke-Tuhanan yang Maha Esa serta kemanusiaan yang beradab, meliputi dan menjiwai sila-sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Notonagoro, 1974)

Tentunya segala kekacauan ini merupakan masalah besar yang harus dipecahkan. Dan dicari solusi atas semua itu. Sejauh ini kita menginginkan sebuah perubahan. 

Saya kira semua orang butuh perubahan. Namun menuju perubahan itu bukanlah semudah membalik telapak tangan. Butuh waktu. Butuh kesabaran. Butuh kekuatan untuk saling menguatkan. Kadang saya ingin menulis khayalan saya tentang " Indonesia Masa Depan".

Indonesia yang rakyatnya damai, aman, sentosa. Indonesia tanpa diskriminasi. Indonesia yang menghargai perbedaan dan toleransi seperti dalam undang-undang yang dibuat. 

Tapi, sementara saya ingin menulisnya sebagai fakta kemajuan. Saya merasa risih akan perbedaan jamuan zaman yang membuat saya terpaku dan kadang merasa pesimis. Tapi, sekali lagi, daya kuat pegangan untuk memajukan bangsa besar ini terus terikat sampai daya khayal itu bisa terwujud. Entah satu tahun, lepas lima tahun, sewindu, ataupun seabad. Itu menjadi khayalku hingga saya tertimbun tanah di bawah nisan. 

Atas dasar itu, saya mencoba membangun sebuah kesepahaman bersama. Pemahaman bersama itu saya istilahkan equality of mindset atau kesamaan pandangan dalam membangun Indonesia. 

Perlu disadari, Indonesia adalah hasil karya komunitas pengalaman bersama. Orang asing, dan tak jarang juga orang Indonesia sendiri, bertanya apa yang membuat keanekaragaman etnik, budaya, ras dan agama menyatu dan bisa menghuni wilayah kepulauan Nusantara dari Sabang hingga Merauke menjadi satu Negara?

Bahwa Indonesia ada dan menjadi Negara, semuanya itu karena cinta. Cintanya orang-orang Sumatera, pedulinya orang-orang Jawa, kuatnya orang-orang Kalimantan, rekatnya orang-orang Kepulauan Maluku, solidnya orang-orang Sulawesi, kepercayaan orang-orang Nusa Tenggara Bali, dan menyatunya orang-orang Papua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun