Konstelasi politik dalam menyongsong pilkada di Maluku memasuki babak baru. Setelah semua bakal calkada mendaftar ke KPUD Maluku di Tantui, semua timses mulai pasang kuda-kuda.
Pilkada tahun ini merupakan pilkada yang unik. Dikatakan unik, karena ada tiga barisan "grassroot movement" yang sama-sama punya basis jelas. Sementara ini publik masih menunggu kepastian keputusan dari KPUD tentang kandidat mana saja yang akan keluar sebagai petarung di bulan Juni mendatang.
Ada tiga kandidat yang telah melakukan pendaftaran, yaitu Said Assagaf- Anderias Rentanubun (SANTUN) yang didukung PKS, Golkar, Demokrat, PBB. Juga Murad Ismail-Barnabas Orno (Baileo) didukung oleh PDIP, Hanura, PPP, Gerindra, Perindo, PAN, PKB. Serta Herman Koedoeboen-Abdullah Vanath (HEBAT) yang maju lewat jalur independen.
Hakikatnya semua punya peluang sama dalam meraih simpati masyarakat. SANTUN merupakan pemain lama, sementara BAILEO adalah pemain baru, lalu HEBAT pemain baru berasa lama.
Namun, dalam mewujudkan political will dan good governance di Maluku, setiap kandidat dan timsesnya harus memastikan bahwa program yang ditawarkan lewat media kepada publik bukanlah sebatas retorika atau optimisme di ujung tanduk.
Maka, political will harus diartikan sebagai adanya kemauan politik dari semua kandidat untuk bertarung secara jantan dan memberikan kesan baik kepada masyarakat, sehingga ada check and balance, lalu proses keterpilihan tak dipengaruhi oleh fanatisme dan sikap primodialisme, melainkan kebijakan pemilih terlahir dari akumulasi amatan dan pengalaman pemilih atas track record kandidat.
Sementara itu, good governance dalam lingkup masyarakat Maluku, adalah terciptanya sistem pemerintahan yang tidak mandul. Tidak pula berbangga dengan visi misi, tapi pada kerja yang konkrit sesuai harapan masyarakat kepulauan. Konsep Nawa Cita berbasis bangun dari pinggiran bukan menjadi proyek kosong, pertebal amplop para pejabat. Namun, kerja-kerja nyata dan aplikatif serta punya semangat membangun negeri zamrud Siwalima ini.Â
Tujuh puluh dua tahun, database menunjukan, Maluku masih tertinggal jauh daripada daerah lain. Padahal, Maluku merupakan anak sulung NKRI. Maluku masih terkategorikan daerah tertinggal. Olehnya itu, siapapun yang memimpin nantinya harus bisa mengembalikan marwah Maluku dengan politik identitas tanpa petuah-petuah yang absurd. Politik identitas, bahwa keragaman ras, suku dan agama bisa menjadi pilar fundamental dalam memperkokoh rumah besar Maluku.
Secara geografis, Maluku tak seperti provinsi lainnya, olehnya itu visi kandidat harus bisa bersinergi dengan realita dan apa maunya masyarakat. Bukan apa maunya "gue". Apalagi maunya "papa" atau "mami"
Amatan saya pada semua media pendukung kandidat, masing-masing tim masih berkutat pada unsur saling serang, black camping, menjatuhkan-melecehkan, sehingga media menjadi "rerumputan ilalang" yang tak habis masa tanamnya.
Sementara tampilan "jualan produk" program masih jauh dari objektivitas demokrasi. Padahal, dalam demokrasi era baru, Maluku sudah saatnya keluar dari fakta itu. New era yang dimaksud adalah era politik nilai. Â Siapa yang bernilai, maka dia akan ternilai. Sekecil apapun nilainya, tentu ada nilai. Walaupun hanya 0, itulah nilai.Â
Dari perjalanan politik pilkada ini, tak sekedar basa-basi, atau mengarahkan pemilih ke bilik suara dengan iming-iming uang seratus rupiah. Itu akan sangat bodoh, karena dengan sendirinya, kandidat telah menanam "dosa" politik kepada masyarakat, dan akan berdampak pada "miskinnya" inovasi dalam berpolitik.
Sekali lagi, kualitas demokrasi di Maluku sudah saatnya dibuka lebar layarnya. Tak ada penguasa abadi dalam dunia politik. Tak ada raja maupun hulubalang. Yang ada hanya pemilih dan siapa yang dipilih. Untuk itu, siapakah yang dipilih?
Era otonom ini harus dimaknai sebagai pintu masuk bagi Maluku untuk membangun daerahnya secara bertahap dan berkelanjutan. Tentu start awalnya dari tingginya kualitas demokrasi akan sangat mempengaruhinya. Baik dari segi partisipasi publik, proses keberpihakan, dan proses pengawalan.Â
Bukan berkoar-koar dipanggung kampanye sambil minum Wine impor dari Eropa bersama para artis papan atas. Lalu mic mati seketika karena listrik padam, rakyat pun dipaksa goyang patah-patah hingga goyang maut.
Maka bukan dengan janji untuk meraih empati masyarakat di negeri seribu pulau ini untuk memilihmu! But, trust!Â
Mengakhiri coretan hati ini, kututup dengan sebaik puisi:
Andai Tuhan yang punya bilik suara
Tak akan berkata," aku memilih sembarang
Karena aku taat sembahyang
Pada besok, kaki yang berjejak.
Cinta yang tercetak,
Cukup satu tusukan yang merobek kertas
Aku memilih, bukan untuk kerusakan
Andai Tuhan hilang dari bilik suara,
Suara rakyat, hilang ditutup gemuruh fajar,
Tapi esok kan tiba, nuraniku akan bicara,
Cintaku berbara-bara,
Menentang segala sumpah serapah,
Karena aku, bukan manusia kecewa,
Aku adalah hujan,
Aku paku runcing yang menyala.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI