Mohon tunggu...
M. Nasir Pariusamahu
M. Nasir Pariusamahu Mohon Tunggu... Penulis - -

Saya Manusia Pembelajar. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Harga Sebuah Helm

31 Desember 2017   21:12 Diperbarui: 31 Desember 2017   21:33 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Episode 1

Sore tadi, sebelum masuk Magrib. Hujan sedikit mengguyur, mendinginkan aspal. Sebuah sms masuk lewat WA, "Bang,  JMP (Jembatan Merah Putih) ditutup. Wah, "gumanku tak berselera lagi.

Tapi, tak apalah. Lanjut saja.

Episode 2

Semua hal butuh pembuktian. Kupanaskan mesinku, dan bergegas menuju JMP. JMP merupakan jalan singkat menuju areal kegiatan. Tepatnya di Dusun Hulung, Desa Hitumessing, Kabupaten Maluku Tengah.

Dan, Alhamdulillah, jalan tak macet. Bahkan tak tertutupi, hanya kulihat panggung setinggi 2 meter dan lebar 10 meter ditambah lampu-lampu warna. Serta beberapa mobil milik satuan militer dan sipil berjaga. Itu saja.

Episode 3

Selepas itu. Hati lega. Ban dan remku beradu kuat. Jalanan mulus. Hujan yang telah menggoda aspal membuat ban revoku menikmati setiap putarannya.

Episode 4

Azan Magrib memanggil. Sang muadzin dengan suara khasnya mengingatkanku pada kisah Abdullah bin Ummi Maktum. Seorang yang buta, dan gemar adzan.

Usai tiga rakaat tersebut. Kami melingkar dan berdiskusi. Beberapa hal yang diangkat adalah urgensinya perayaan tahun baru.

Episode 5

45 menit saja. Setelah itu kajian ditutup dengan doa penutup majelis. Saya pamit, dan seperti kalimat -kalimat muqadimmah, "hati-hati bang, katanya JMP ditutup.

Episode 6

Lagi-lagi isu JMP ditutup telah menjadi hantu. Tapi tak apalah. Toh ketakutan paling besar itu adalah menaklukan ketakutan dalam diri.

Episode 7

Kali ini saya mengambil rute, Hulung-Poka-JMP-Kebun Cengkeh. Kulihat jam handphoneku baru pukul 21.30 WIT. Dalam perkiraan, saya akan tiba di rumah pada pukul 22.00 WIT.

Episode 8

Rute itu ternyata bergeser. Pas di depan bundaran Patung Leimena Poka, aparat militer telah berjaga. Menutup semua areal yang ingin mengambil rute sepertiku.

Akhirnya, dengan kerelaan hati, berbalik dan mengambil rute Poka-Passo-Kota. Ini rute yang paling mengesakkan dada. Kembali lagi pada zaman old.

Episode 9

Tak apalah. Walau jauh yang penting tiba bisa di rumah. Dengan santai penuh lagu. Saya optimis sebelum pukul 10 malam sudah bisa tiba di rumah. Lalu ambil selimut dan naik ke kasur mimpi.

Episode 10

Baru saja mau bermimpi, sampai di Desa Galala, semua kendaraan ditahan. Dipaksa untuk tidak bisa melajutkan perjalanan ke arah dalam kota.

Terjadilah penumpukan kendaraan tepat di depan dermaga Feri Buru-Ambon.

Dengan senjata lengkap, jalan aspal berlebar 7 meter itu pagari hidup oleh aparat.

Hal seperti ini, pastilah mengundang cek-cok mulut. Namun, walaupun dibiarkan nasi menjadi bubur, titah "penguasa" harus dipenuhi dan ditaati.

Kondisi seperti ini, hanya sabar dan berpikir solutif.

Episode 11

Dalam sesak hati dan padatnya kendaraan yang tertahan. Tiba-tiba kata hati bergumam, "sir, bukankah ada jalan lain menuju kota? Pasti kamu sudah khatam penjelasanku." Bukankah ada banyak jalan ke Roma?

Episode 12

Memang benar ucapan batinku ini. Kondisi ini bukan menjadikan marah. Namun, ungkapan lebih baik mundur selangkah, untuk menyiapkan kemenangan itu, ternyata bermanfaat malam ini. Maka, lebih baik balik lalu penuhi kata batin.

Episode 13

Jalan pintas arah Halong-STAKPN-Galala itu kosong. Sepi dari hiruk-pikuk malam tahun baru. Tak adapun kembang api yang dipecahkan. 

Dengan pujian kepada Tuhan Rabbil 'alamin rute Halong (Diatas Lantamal IX Halong) menuju kampus STAKPN kemudian bermuara di samping SPBU Galala, selamatlah saya dari marabahaya kemacetan dan kemarahan.

Episode 14

Cerita masih berlanjut. Laju revo hitamku kugaskan 60 km/jam. Tetiba saja, macet gelombang kedua menahan lagi. Tepat di depan jembatan Galala, di bawah JMP.

Tapi tak berlangsung lama. Hanya 20 menit motor terdiam bisu. Dan akhirnya panas kembali. Rasaku plong.

Eh, pas masuk pintu jembatan, saya pun dialihkan rutenya, "kamu tidak pakai helm. Silahkan lewat jalan lain. Tidak bisa masuk. "

Hatiku bergumam. Biasanya yang ditanya adalah bawa SIM dan STNK tidak? Kok malam ini beda fon pertanyaannya? Ini gegara malam tahun baru? Jika benar, sungguh tahun baru esok tak ada kasus tilangmenilang lagi.

Episode 15

Cerita ini harus diselesaikan.

Mencari toko helm terdekat tak ada. Mencari ojek helm pun sulit.Pusing-pusing cari jalan keluar tak ada. Sementara jembatan penghubung satunya sudah lama putus.

Tapi, kekuatan Allah itu ada. Alhamdulillah saya dapat tumpangan helm dari seorang warga yang sedang berjalan kaki. Saya pakai dan selamatlah daku ke tempat tujuan.

Happy saja. Hidup santai, mati slow.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun