Walau tulang-tulang kami sudah kering tertimbun tanah.
Pasir dan papan sudah menjadi rumah kami bertahun-tahun
Nisan tanpa nama berjejer di tanah hutan, yang diatasnya sudah tumbuh ilalang liar
Kami selalu dan telah menjadi tuan rumah bagi sesiapa yang mau bertamu dan berkisah
Walau kami tak punya wajah lagi, arwah kami takkan khianat sampai ketemu Tuhan. Pada badan kami, tak ada susah hati bertemu. Kami bukan pengkhianat.Â
Walau kami mati oleh ledakkan peluru mengoyak tubuh: tiga ratus tahun lalu. Kami bertahan bukan untuk tahta. Melainkan bagi nusa dan tara, anakku. Itulah sumpah kami: tidak serapah apalagi serakah.Â
Walau kami merdeka tanpa medali. Kami tetap bangga nyawa abadi diujung mesiu. Dan berpesta diantara meriam-meriam kolonial.
Walau usang senapan-senapan kami: berkarat bisu. Disitu ada air dan mata. Api kebebasan basah-basah: manusia kita jadi dungu: bertanya untuk apa perjuangan ini?Â
Sabar anakku, kami merdeka.
Kata-kata kami telah dimandikan syahadat. Kafan merah-putih akan menjadi saksi di akhir pembalasan. Tuhan maha adil.Â
Ambon,05/12/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H